hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Optimisme Perbankan Menguat di Penghujung 2025

Di tengah tekanan global dan situasi ekonomi yang cukup menantang, Industri perbankan nasional optimistis dapat menutup 2025 dengan optimistis. menyampaikan hasil Survei Orientasi Bisnis Perbankan OJK (SBPO) Triwulan IV-2025 yang menunjukkan meningkatnya keyakinan pelaku industri terhadap kinerja perbankan hingga akhir tahun.

Survei yang dirilis OJK pada November 2025 itu melibatkan 102 bank dengan total aset mencapai 99,25% aset perbankan nasional. Hasilnya, Indeks Orientasi Bisnis Perbankan (IBP) tercatat sebesar 66—berada di zona optimistis. Pelaku industri menilai perbaikan kondisi makroekonomi, penurunan BI Rate, serta penguatan nilai tukar Rupiah akan menopang kinerja perbankan.

“Survei SBPO Triwulan IV-2025 menunjukkan pelaku industri tetap optimistis bahwa kinerja perbankan akan solid hingga akhir tahun. Optimisme ini didukung ekspektasi perbaikan ekonomi domestik serta kemampuan bank dalam mengelola risiko,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae.

Dalam kajian tersebut diungkapkan pula bahwa Indeks Ekspektasi Kondisi Makroekonomi (IKM) naik ke level 63, sejalan dengan proyeksi meningkatnya konsumsi pada momentum Natal dan Tahun Baru, serta dampak stimulus 8+4+5 Pemerintah terhadap daya beli masyarakat. Namun, kenaikan aktivitas ekonomi diperkirakan turut mendorong inflasi.

Dari sisi risiko, mayoritas responden menilai kondisi masih terkendali. Indeks Persepsi Risiko (IPR) tercatat 57, mencerminkan kepercayaan terhadap kualitas kredit dan posisi devisa bersih yang tetap aman. Meski demikian, net cashflow perbankan diproyeksikan menurun akibat peningkatan penarikan dana nasabah dan belanja pemerintah daerah di akhir tahun.

Optimisme juga terlihat pada Indeks Ekspektasi Kinerja (IEK) yang mencapai 78, ditopang proyeksi pertumbuhan kredit pada triwulan IV-2025. Permintaan pembiayaan diperkirakan meningkat, terutama pada industri pengolahan yang tumbuh 8,64% (yoy) per September 2025, serta sektor pertambangan dan penggalian (19,15% yoy) dan pengangkutan dan pergudangan (19,32% yoy). Penghimpunan DPK juga diperkirakan membaik untuk menjaga likuiditas perbankan.

Menjelang akhir tahun, mayoritas bank yang disurvei OJK tersebut optimistis target kredit dan DPK dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) 2025 dapat tercapai.

Trend Penyaluran Kredit

Kendati optimistis terhadap prospek perbankan hingga akhir 2025, tren kinerja pada Oktober sebetulnya sedikit tertekan.

Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada November 2025 mencatat pertumbuhan kredit Oktober 2025 sebesar 7,36% (yoy), melambat dari 7,70% pada September. Pelemahan ini dipengaruhi sikap wait and see pelaku usaha, tingginya suku bunga kredit, dan optimalisasi pembiayaan internal korporasi. Undisbursed loan masih besar, mencapai Rp2.450,7 triliun atau 22,97% dari total plafon.

Di sisi pasokan, kapasitas pembiayaan bank tetap kuat. Rasio alat likuid terhadap DPK meningkat menjadi 29,47%, sementara DPK tumbuh 11,48% (yoy), didorong ekspansi keuangan pemerintah dan kebijakan pelonggaran likuiditas BI. Namun, persyaratan kredit konsumsi dan UMKM masih ketat, berkontribusi pada kontraksi kredit UMKM sebesar -0,11% (yoy) pada Oktober 2025. BI memproyeksikan pertumbuhan kredit 2025 berada pada batas bawah kisaran 8–11% dan meningkat pada 2026.

 

Fondasi Tetap Kokoh

Ketahanan perbankan terjaga dengan rasio kecukupan modal (CAR) 26,15% pada September 2025. Rasio kredit bermasalah (NPL) masih rendah—2,24% (bruto) dan 0,87% (neto). Meski NPL UMKM meningkat dari 4,46% pada September menjadi 4,51% pada Oktober, stress test BI menunjukkan perbankan tetap resilien.

Ke depan, BI dan OJK memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dan KSSK untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan mendorong penyaluran kredit,

Langkah terobosan yang dilakukan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang memindahkan dana dari Bank Indonesia ke sektor perbankan sepertinya cukup efektif untuk menstimuli roda ekonomi.

Ekonom Senior INDEF Aviliani mengatakan ekspansi fiskal berhasil menopang pertumbuhan ekonomi dan menjaga momentum investasi. Tetapi, belanja pemerintah belum optimal mendukung sektor riil dan cukup banyak dana mengendap di daerah, misalnya APBD yang mengendap di BPD.

“Pemerintah dapat mengajak dunia usaha untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional,” ujarnya saat berbicara dalam seminar Prospek Ekonomi Indonesia tahun 2026 yang digelar INDEF, 20 November lalu.

Melalui Langkah tersebut, pada tahap awal, pemerintah telah mengucurkan dana SAL dan SILPA sebesar Rp200 triliun ke 5 bank Himbara, yaitu Bank Mandiri, BNI, BRI, BTN dan BSI. Yang sudah terserap sebesar Rp167,6 triliun, yaitu 84% dari alokasi yang diberikan.

Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintah menambah injeksi dana SAL dan SILPA sebesar Rp76 triliun ke 3 bank Himbara, yaitu Bank Mandiri, BNI dan BRI ditambah 1 Bank BPD, yaitu bank DKI. Hingga saat ini Bank Mandiri 100%, BNI 68%, BRI 100%, BTN 41%, BSI 99%.

Tentu ini telah menjadikan persaingan penyaluran kredit semakin ketat di kalangan perbankan. Karena itulah, dibutuhkan lebih banyak lagi stimulus dari pemerintah untuk menggairahkan sektor riil. Itu akan mendorong ekonomi bergerak lagi dengan lebih cepat. (drp)

pasang iklan di sini