Oleh : Dr. Dewi Tenty Septi Artiany, SH, MH, M.Kn
Notaris dan Pengamat Perkoperasian
Berawal dari rasa keprihatinan terhadap sistem perekonomian di Indonesia dimasa penjajahan. Salah seorang pendiri republik Indonesia, Bung Hatta, akhirnya menemukan solusi dari sengkarut perekonomian melalui koperasi, yang berpijak pada usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi rakyat berdasarkan tolong-menolong.
Konsep koperasi seperti ini sejalan dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat yang inklusif, mendorong usaha rakyat melalui usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Koperasi yang dikenalkan oleh Bung Hatta merupakan bagian integral dunia usaha nasional yang mempunyai potensi dan peran yang sangat penting dan strategis bagi tujuan pembangunan dan menyelesaikan masalah ekonomi nasional.
Di Indonesia, koperasi menjadi pondasi ekonomi selain UMKM. Indikatornya adalah jumlah koperasi aktif.
Tahun 2021, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah koperasi mencapai 127.864 unit dengan volume usaha mencapai Rp 182,35 triliun.
Jumlah tersebut meningkat 0,56 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 127,124 unit.
Di sisi lain, keberadaan koperasi sudah mulai terdegradasi dengan hilangnya tata koperasi sebagaimana diamanatkan di pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Parameter degradasi tersebut mulai dari salah pengelolaan hingga gugatan pailit.
Eksistensi koperasi menurut organisasi buruh sedunia (International Labour Organization/ILO) mensyaratkan enam elemen.
Pertama, koperasi adalah kumpulan orang-orang. Kedua, penggabungan orang-orang tersebut berdasarkan kesukarelaan. Ketiga, terdapat tujuan ekonomi yang ingin dicapai. Keempat, koperasi berbentuk organisasi bisnis yang diawasi dan dikendalikan secara demokratis.
Kelima, terdapat kontribusi yang adil terhadap modal yang dibutuhkan dan keenam yakni anggota koperasi menerima risiko dan manfaat secara seimbang.
Banyaknya jumlah koperasi membutuhkan pengawasan khusus guna memastikan jalannya koperasi sebagaimana tujuan awal yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Apabila dikaitkan dengan salah satu elemen eksistensi koperasi sebagaimana disyaratkan ILO. Yakni koperasi adalah organisasi bisnis yang diawasi dan dikendalikan secara demokratis.
Tentunya hal tersebut menjadi bahan pertanyaan dikaitkan dengan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) alias Omnibuslaw keuangan.Yang salah satunya adalah pembahasan mengenai pengawasan koperasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Kebijakan ini menjadi kontradiktif karena menurut ILO ataupun UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, koperasi adalah badan usaha yang dikelola secara mandiri dan demokratis.
Perjalanan koperasi di Indonesia memang tidak melulu tercatat dengan tinta emas. Apalagi belakangan ini banyak sekali koperasi yang salah tata kelola dan digugat pailit. Misalnya yang menimpa pada 8 koperasi simpan pinjam (KSP), antara lain KSP Sejahtera Bersama, KSP Indosurya, KSP Pracico Inti Sejahtera, KSPPS Pracico Inti Utama, KSP Intidana, Koperasi Jasa Wahana Berkah Sentosa, KSP Lima Garuda dan KSP Timur Pratama Indonesia.
Fakta tersebut membuat nama koperasi tercemar dan terpinggirkan. Seperti kata pepatah, karena nila setitik, rusak susu sebelanga.
Dengan adanya 8 koperasi bermasalah tersebut, seolah-olah mencoreng lebih dari 127 ribu koperasi lainnya, yang kemudian berujung pada isyu pengawasan KSP akan dialihkan kepada OJK.
Idealnya, koperasi tidak saja mensejahterakan anggota, tetapi juga memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat sekitar.
Bukan malah sebaliknya, keberpihakan koperasi justru dirasakan menyulitkan masyarakat. Padahal, jika bicara tentang koperasi, sudah berkali-kali dibahas.
Bahwa koperasi yang baik adalah koperasi yang bermanfaat untuk anggota. Di mana kemanfaatan itu salah satunya ditimbulkan karena penerapan prinsip identitas ganda (dual identity). Yakni di mana anggota koperasi adalah pengguna sekaligus pemilik.
Konsep identitas ganda yang tidak diterapkan menunjukkan lemahnya pengawasan dari kementerian yang terkait.
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KemenKopUKM) mempunyai tugas penting, yakni pengesahan pendirian, pembinaan, dan pengawasan koperasi.
Sekarang, pendirian dan perubahan anggaran dasar (AD) koperasi dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Artinya, sepertiga kewenangan KemenKopUKM sudah dialihkan kepada Kemenkumham.
Aspek yang tersisa adalah pembinaan dan pengawasan. Memang idealnya pembinaan dan pengawasan adalah seiring dan sejalan.Apa yang dibina itu yang diawasi. Tidak memisahkan pembinaan dan pengawasan karena itu akankontraproduktif dan berujung pada tindakan saling menyalahkan.
Di UU PPSK, juga muncul kalimat pembinaan dan pengawasan. Kata pembinaan, dan pengawasan tersebut, jika diterjemahkan, akan menghilangkan kewenangan dan tugas penting KemenKopUKM.
Misalnya saja di Bab 12 dari 191 UU PPSK, agak sedikit kebablasan. Karena dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nompr 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi, menyebutkan bahwa KSP adalah koperasi yang berdiri sendiri dan usahanya hanya KSP.
Tapi di pasal 192 ayat 1 UU PPSK, koperasi dijelaskan memiliki kegiatan usaha simpan pinjam sebagai salah satu atau satu-satunya kegiatan. Berarti di sini, KSP dapat beriringan dengan jenis usaha koperasi lain.
Kacaunya lagi, di Pasal 44 A, kegiatan usaha simpan pinjam hanya dilaksanakan oleh KSP yang mendapatan izin dari OJK. Jadi di sini, selain pengawasan, OJK juga memberikan izin.
Hal yang membingungkan adalah, kegiatan koperasi yang memiliki usaha simpan pinjam disebut sebagai salah satu-atau satu-satunya kegiatan. Kalau Pasal 44 A seolah-olah itu satu-satunya, namun kalau salah satu, maka dia akan bisa masuk ke dalam unit simpan pinjam, yang mana pasti akan menyulitkan lagi pengawasannya.
Selanjutnya, di Pasal 44 C, koperasi yang sudah berbadan hukum dan akan memperluas usahanya ke simpan pinjam wajib mengadakan perubahan anggaran dasar.
Hal itu akan merepotkan OJK, karena tidak hanya mengurus koperasi saja, tetapi koperasi yang mengubah AD-nya, baik unit simpan pinjam atau unit usaha lain.
Begitu juga dengan Pasal 44E, yang seolah-olah mengulang kejadian yang menimpa pada UU Nomor 17 Tahun 2021 tentang Perkoperasian yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasal 44 E mengatur tentang penyediaan modal. Jumlah modal sendiri, sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, tidak boleh berkurang.
Dulu UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian menyatakan hal serupa. Ini dibuktikan dengan adanya sertifikat simpanan. Jadi seperti sertifikat saham.
Dengan demikian, anggota yang mau keluar harus menawarkan terlebih dahulu sertipikatnya tersebut kepada anggota lain. Tujuannya supaya tidak ada pengurangan modal.
Tetapi, hal itu jadi salah kaprah, yang menyamakan modal koperasi dengan modal Perseroan Terbatas (PT).
Berbicara tentang pembinaan, terdapat di Pasal 44 I dan J. Pasal 44 I menyebut bahwa pembinaan dan pengawasan KSP dilakukan oleh OJK. Kemudian, di Pasal 44 V, kebijakan pemberdayaan sebagaimana dimaksud ayat 1 termasuk dalam dalam bentuk program pendampingan, pelatihan kewirausahaan, teknologi, pembukuan, alokasi pengadaan barang dan jasa serta fasilitas pertemuan KSP dengan potensi pasar.
Artinya secara tidak sadar, tugas, fungsi, dan kewenangan KemenKopUKM sudah terdegradasi. Dari tiga kewenangan kementerian itu yaitu pengesahan, pembinaan, dan pengawasan, semuanya terdegradasi.
Kalau sudah demikian, yang menjadi pertanyaan adalah: apa yang akan dilakukan Kementerian Koperasi?
Seharusnya apabila KemenaKopUKM paham apa yang harus dilakukan, maka kembali saja ke PP Nomor 9 tahun 1995 yang dengan tegas menyebutkan bahwa menteri mengawasi koperasi dan koperasi harus memberikan laporan setiap tahunnya kepada menteri.
Hal itu tidak pernah dilakukan oleh masyarakat koperasi karena sistemnya sendiri tidak dibangun oleh KemenKopUKM. Jadi, apa yang diamanatkan PP Nomor 9 tahun 1995 tidak pernah dilaksanakan.
Sekarang dengan adanya kasus 8 KSP yang digugat pailit, KemenKopUKM seperti kebakaran jenggot. Hanya saja yang disayangkan adalah seperti tikus di gudang. Gudangnya yang dibakar, bukan tikusnya yang dimatikan.
Melihat fakta-fakta di atas, maka dapat dikatakan bahwa kewenangan KemenKopUKM sudah tergerus sedemikian rupa.
Meskipun demikian, sebagaimana kata pepatah “Buruk muka, cermin dibelah”. Ketidaksiapan dan inkompetensi tersebut tidak lantas menggadaikan kewenangan KemenKopUKM dan mendelegasikannya kepada OJK.
Harusnya KemenKopUKM interospeksi dan berbenah diri. Berbenah diri seperti apa? Bikin blue print, sebagai acuan, tapak dasar pembuatan kebijakan, penetapan tujuan, sasaran, strategi, langkah-langkah dan implementasi yang bisa dilaksanakan KemenKopUKM.
Karena tanpablue printtersebut, KemenKopUKM akan pincang, tidak jelas apa maunya, tergantung pembisiknya.
Adapun langkah berikutnya, yakni laksanakan saja UU Nomor 25 Tahun 1992 dan PP Nomor 9 Tahun 1995 tentang pengawasan sebagaimana mestinya.
Karena dari situlah akan menjadi titik awal pengawasan yang prudent terhadap koperasi. Begitu juga dengan pembahasan UU PPSK, seharusnya tidak menafikan dasar filosofi yang melatarbelakangi UU tersebut, serta unsur sosiologis dari 127.864 koperasi di Indonesia.
Apakah UU tersebut sudah tersosialisasi dengan baik? Jangan-jangan nasibnya seperti UU yang lain: dibatalkan MK.