hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Nurdin Halid: Nasionalisme Ekonomi Harus Jadi Arah Kebijakan Negara

Nurdin Halid. Foto: tv.unhas.ac.id
Nurdin Halid. Foto: tv.unhas.ac.id

PeluangNews, Jakarta – Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Nurdin Halid menegaskan bahwa Indonesia harus mengusung prinsip Indonesia First sebagai bentuk nyata nasionalisme ekonomi di tengah tekanan global. Hal ini disampaikannya dalam Rapat Kerja Komisi VI DPR RI bersama Menteri Perdagangan dan Kepala BPKN di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (16/7/2025).

“Kalau Amerika mengusung America First, kita juga harus berani menggaungkan Indonesia First. Kepentingan ekonomi nasional harus menjadi pijakan dan orientasi utama semua kebijakan perdagangan,” kata Nurdin.

Ia menegaskan bahwa regulasi dan kebijakan pokok Kementerian Perdagangan harus berpihak pada kepentingan nasional, pelaku UMKM, dan penguatan ekspor nasional.

“Kita bisa kembali pada prinsip Trisakti Bung Karno: berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan,” lanjutnya.

Menurut Nurdin, semangat nasionalisme ekonomi bukan hanya gagasan, tetapi telah menjadi visi yang dipegang teguh Presiden Prabowo Subianto. “Presiden Prabowo secara konsisten menyuarakan semangat kemandirian dan ekonomi konstitusi berdasarkan Pasal 33 UUD 1945,” ujarnya.

Dalam forum tersebut, Nurdin membeberkan tiga modal besar yang dimiliki Indonesia untuk menjalankan Indonesia First dan mencapai Ekonomi Berdikari.

“Modal pertama adalah ideologi Pancasila, Pasal 33 UUD 1945, dan Tap MPR Nomor XVI Tahun 1998 yang menempatkan UMKM dan koperasi sebagai pelaku utama ekonomi nasional,” jelasnya.

Ia menyebut, wujud konkret dari ekonomi konstitusi ini adalah program hilirisasi, eksistensi lebih dari 100 BUMN dan 800 subholding-nya, serta penguatan koperasi termasuk 80.000 Kopdeskel Merah Putih yang kini mulai digulirkan.

“Modal kedua adalah kekayaan sumber daya alam dan budaya kita yang luar biasa. Ini memberi kita keunggulan komparatif di pasar global,” kata Nurdin.

Sedangkan modal ketiga adalah jumlah penduduk Indonesia yang besar, baik sebagai produsen maupun konsumen.

“Kita sedang menikmati bonus demografi. UMKM saja jumlahnya 62 juta, dan mereka punya kemampuan menghasilkan berbagai produk unggulan seperti pertanian, kerajinan, makanan olahan, dan lain-lain,” ungkapnya.

Nurdin menyebut, nilai ekspor UMKM pada Semester I 2025 sudah menembus Rp1,41 triliun. “Potensinya luar biasa besar kalau dikelola dengan benar,” tegasnya.

Senada dengan Nurdin, Menteri Perdagangan Budi Santoso (Mendag Busan) menyampaikan apresiasinya terhadap capaian ekspor UMKM sepanjang semester pertama 2025, yang dinilai sebagai bukti keberhasilan pendekatan konkret dalam menjembatani pelaku usaha kecil dengan pasar internasional.

“Selama Januari–Juni 2025, business matching telah mencatatkan total transaksi senilai USD 87,04 juta. Ini bukan sekadar angka, tapi bukti bahwa UMKM Indonesia mampu bersaing secara global jika diberi akses dan kesempatan,” papar Mendag Busan.

Ia menjelaskan, sebanyak 356 kegiatan business matching telah dilakukan dalam enam bulan pertama tahun ini, mencakup 241 sesi pitching dan 115 pertemuan langsung antara UMKM dan buyer dari berbagai negara. Seluruhnya dilaksanakan melalui program UMKM Berani Inovasi, Siap Adaptasi Ekspor (UMKM BISA Ekspor) yang dijalankan bersama 46 perwakilan perdagangan RI di 33 negara mitra.

“Business matching menjadi strategi konkret yang kami fasilitasi untuk mengakselerasi ekspor UMKM. Ini adalah bentuk keberpihakan kami terhadap ekonomi rakyat agar UMKM bisa naik kelas dan berdaya saing global,” jelas Mendag Busan.

Oleh karena itu, Nurdin menekankan pentingnya Kementerian Perdagangan menjadi “motor penggerak” yang memperjuangkan produk UMKM di pasar internasional. Salah satunya, melalui peran aktif dalam diplomasi perdagangan dan perlindungan pasar domestik dari serbuan barang impor.

“Strategi makro Kemendag harus jelas: mendorong produksi dalam negeri yang berdaya saing global, memperluas akses pasar luar negeri, dan memperkuat regulasi untuk melindungi produsen dan konsumen dalam negeri,” tegasnya.

Namun demikian, Nurdin mengkritik beberapa kebijakan yang dinilai justru menyulitkan pelaku usaha. Ia mencontohkan kewajiban menjual timah lewat bursa yang dianggap merugikan karena harga lebih rendah daripada penjualan langsung.

“Kita butuh regulasi yang adaptif. Jangan sampai fleksibilitas perusahaan hilang karena kebijakan yang tak sesuai realita pasar,” ungkapnya.

Ia juga menyoroti penghapusan pertek (persetujuan teknis) yang justru menyulitkan ekspor. “Ekspor harusnya dipermudah, bukan malah dibatasi. Kemendag harus terbuka—mana yang butuh pertek, mana yang bisa langsung jalan,” pungasnya.

pasang iklan di sini