hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Fokus  

Nostalgia Swasembada Pangan 1984

SAMPAI dengan krisis multidimensi 1997/1998, kebijakan yang terkait dengan pertanian Indonesia terbagi dua. Pertama, pascamerdeka hingga medio 1960-an. Pada periode ini, kita berfokus pada pemenuhan kebutuhan pangan. Dikenal kebijakan Kasimo Plan, yanng penerapan teknologi terbaru antara lain lewat bibit unggul.

Kedua, di masa Orde Baru, Indonesia benar-benar sudah menjalankan program Revolusi Hijau. Berbagai aspek yang terkait dengan usaha peningkatan produksi pertanian ditingkatkan seperti program subsidi pupuk, subsidi benih, dan pembanunan irigasi. Pada puncaknya, 1984, Indonesia mencapai swasembada pangan/beras.

Pada tahun 2016, Indonesia membukukan GDP sebesar US$932,25 miliar atau 1,25% dari GDP dunia secara keseluruhan. Sektor pertanian menyumbangkan 13,9% dari total GDP. Pada tahun 2016, porsi penduduk Indonesia yang bekerja pada sektor pertanian masih dominan, yakni 31,9%, .

Perekonomian Indonesia berdasarkan besaran PDB atas dasar harga berlaku triwulan I-2020 mencapai Rp3.922,6 triliun dan atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp2.703,1 triliun. Kini, dari populasi 270,2 juta jiwa (nomor 4 terbear di dunia), sekitar 26,42 juta penduduk masih hidup di bawah garis kemiskinan. Tanpa perluasan bansos yang signifikan, 5,5-8 juta orang bisa saja jatuh miskin karena guncangan Covid-19.

Meski pada tahun 2017 Indonesia mampu menurunkan angka stunting hingga 27,6%, masih banyak pe-er yang harus dilakukan. Upaya tersebut sangat penting untuk memastikan sumber daya manusia Indonesia yang kuat dan produktif. Saat ini, menurut Indeks Modal Manusia Bank Dunia, generasi penerus Indonesia hanya akan produktif 54% dengan kesehatan dan pendidikan yang lengkap.

Pencapaian swasembada pangan/beras tahun 1984 diganjar penghargaan FAO 1984 yang dihelat di Roma. Padahal, sepanjang dasawarsa 70-an, Indonesia salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia. Tahun 1977, Indonesia mengimpor 2 juta ton beras. Jumlah itu sepertiga dari beras yang tersedia di pasar internasional. Soeharto membenahi perekonomian negeri dari kondisi di titik nadir; inflasi tinggi, utang menumpuk, harga barang-barang melambung, daya beli masyarakat anjlok, dan seterusnya. Prestasi masa lampau itu seyogianya menginspirasi. Basis untuk itu sangat rasional. Kita penghasil biji-bijian nomor 6 di dunia. Penghasil beras nomor 3, setelah Cina dan India; Penghasil kopi nomor 4; Penghasil coklat nomor 2; setelah Pantai Gading dan Ghana; Penghasil lada putih nomor 3; Penghasil karet alam nomor 4; Penghasil cengkeh nomor 1; Penghasil sawit nomor 2.

pasang iklan di sini