Awal 2020 lalu, DKI Jakarta dihajar banjir hebat. Awal tahun ini giliran Kalimantan Selatan (dan Timur). Kerusakan dan kerugian yang ditimbulkannya fantastis. DKI merugi sedikitnya Rp70 triliun. Angka kerugian Provinsi Kalsel diprediksi Rp1,35 triliun.
SETAHUN lalu. Pada hari pertama, Rabu, 1 Januari 20, banjir besar melanda wilayah Jabodetabek. Bencana alam, termasuk banjir, selalu mendatangkan kerugian dan kerusakan. Dampak banjir adalah kerugian yang menimpa masyarakat akibat kerusakan rumah, mobil maupun kehilangan barang berharga. Kerugian tersebut masih ditambah dengan aktivitas ekonomi yang lumpuh akibat banjir. Salah satunya, kerugian peritel di wilayah DKI Jakarta sedikitnya Rp960 miliar.
Kerugian tersebut, kata Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey, berdasarkan eskalasi perhitungan jumlah toko ritel yang tutup akibat banjir. Selain itu, perhitungan juga dibuat dengan melihat jumlah penduduk yang terdampak banjir dan pengeluaran mereka pada setiap tahun baru. Dalam cakupan area Jakarta saja, tercatat ada 300 toko yang tutup akibat banjir.
Diasumsikan dengan pengeluaran berbelanja terkecil, yakni Rp100.000, yang mana jumlah penduduk terdampak langsung sebanyak 32.000 jiwa, kalkulasi kerugian mencapai Rp960 miliar. Lantas, berapa nilai kerugian total banjir di Jakarta selama beberapa tahun terakhir? Bukankah sepanjang 20 tahun terakhir terjadi beberapa kali banjir besar ‘kiriman’ pada tahun 2002, 2007, dan 2013—yang jauh lebih spektakuler dibanding banjir 1 Januari 2020?
Dari setiap peristiwa bencana banjir, berbagai kendala selalu saja muncul pada tahap penanggulangannya. Satu hal yang niscaya, musibah air bah itu selalu berbanding lurus dengan nilai kerugian ekonomi. Banyak aspek lain yang patut diperhitungkan dengan cermat, tentu saja, tapi kalkulasi aspek ekonomi cenderung membetot perhatian karena nilai kumulatif yang dihadirkan lewat satuan rupiah. Hal tersebut setidaknya tergambarkan dari pengalaman banjir skala besar di Ibu Kota dalam siklus 5 hingga 6 tahunan sejak tahun 2002.
Berapa kerugian akibat banjir siklus 5-6 tahunan, 2002, 2007, dan 2013? Berikut dikutip publikasi media yang, sayangnya, rada abai memperjelas kredibilitas narasumbernya. Dikkatakan bahwa pada tahun 2002 ditaksir kerugian total mencapai Rp5,4 triliun. Jumlah tersebut setara dengan 57 persen dari total APBD DKI Jakarta pada tahun yang sama. Lima tahun berikutnya, tahun 2007, banjir mengakibatkan kerugian di DKI Jakarta senilai Rp5,2 triliun. Lebih kurang seperempat dari total APBD DKI Jakarta tahun itu.
Pada 2013, proporsi kerugian akibat banjir terhadap APBD DKI lebih rendah ketimbang dua periode banjir akbar sebelumnya, yakni lebih kurang 15 persen. Hanya saja, besaran kerugiannya secara nominal meningkat signifikan, mencapai Rp7,5 triliun. Total jenderal, kerugian di tiga banjir besar terakhir di provinsi dengan gubernur visioner Anies Baswedan tak kurang dari Rp18,1 triliun. Nilai itu setara dengan dana untuk membangun 19.381 desa. Atau seperempat (25,8 persen) dari total alokasi dana desa nasional 2019 yaitu Rp70 triliun.
Kerugian lain yang harus ditanggung warga adalah kerugian dari sisi terhentinya kegiatan perekonomian. Sektor riil. Proporsi kerugian ekonomi karena terhentinya aktivitas warga pada 2020 mencapai separuh lebih dari seluruh nilai kerugian banjir 2007. Nilai kerugian yang berdampak pada swasta dan masyarakat Ibu Kota akibat banjir tahun 2007 mencapai 87 persen dari total kerugian banjir.
Pihak Menkeu menghitung kerugian banjir 2020, tapi tak pernah diumumkan, berdasarkan laporan dari BNPB. Bersama dengan Kementerian PUPR, BNPB, Kemensos, pemprov dan pemda akan tetap berkoordinasi untuk bergerak mengatasi kerugian bencana banjir. “Inilah salah satu pekerjaan rumah kita. Meminimalkan risiko lanjutan, apakah itu di wilayah perumahan, fasilitas umum, infrastruktur, agar masyarakat lebih peduli dan proaktif mengantisiasi perubahan pola bencana alam/pola iklim yang telah menyebabkan dampak terbesar,” kata Sri Mulyani.
BANJIR merupakan problem global. Mau negara maju mau negara berkembang, banjir bekerja tanpa pilih bulu. Beberapa kajian menunjukkan bahwa tidak hanya Jakarta yang menghadapi peningkatan risiko banjir pada masa depan. Kota-kota besar negara tetangga seperti Bangkok, Thailand dan Manila, Filipina juga akan menderita nilai kerugian banjir yang semakin besar pada masa mendatang.
Laporan Bank Dunia tahun 2010 menyebutkan, nilai kerugian banjir di Kota Bangkok akan meningkat sebesar 73% karena akibat dari perubahan iklim saja. Hal yang sama terjadi pada Kota Manila. Perubahan iklim juga diproyeksikan meningkatkan nilai kerugian dari banjir di kota tersebut sebesar 72.8%. Apabila perubahan tutupan lahan dan penurunan muka tanah juga dipertimbangkan dalam penghitungan proyeksi risiko banjir pada masa depan, risiko banjir di kedua kota tersebut akan lebih besar.
Indonesia mengawali tahun 2020 dengan musibah ‘percikan air’ Nabi Nuh AS yang terjadi di beberapa provinsi. Ibu Kota Jakarta, Banten, dan Jawa Barat adalah wiayah ‘tradisional’ musibah banjir. Jakarta yang dilintasi 13 sungai dilaporkan sebagai daerah yang terdampak paling sengsara. BNPB memperkirakan, di Jabodetabek, setidaknya 67 korban jiwa tewas dan 300.000 orang harus mengungsi karena air merendam sebagian wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi awal Januari tahun lalu.
Khusus di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, risiko kerugian banjir diprediksi naik 322% hingga 402% pada 2050. Riset itu menghitung nilai kerugian banjir bisa mencapai Rp7 triliun per tahun saat ini dengan kondisi tidak ada intervensi kebijakan untuk menangani perubahan iklim di Jakarta, ataupun perubahan pada perkembangan daerah permukiman, pada saat yang sama hujan ekstrem terjadi di seluruh daerah aliran sungai (DAS) di Jakarta. Jika asumsi ini benar, nilai kerugian yang harus dibayar Jakarta dari banjir akan mencapai Rp35 triliun pada tahun 2050, atau naik lima lipat.
BENCANA banjir yang melanda Provinsi Kalimantan Selatan (dan Timur) di awal tahun ini mencakup wilayah yang begitu luas dan mencekam. Data BNPB per 17 Januari 2021 menyebut, setidaknya 24.379 rumah terendam banjir, 39.549 warga mengungsi dan menyebabkan 15 orang meninggal. Kerugian ekonomi yang ditimbulkannya tentu jauh lebih kecil dibanding kasus banjr di kota metropolitan DKI Jakarta, meski luasan wilayah terdampak banjir di Kalsel berlipat-lipat.
“Estimasi dampak kerugian banjir Kalsel per 22 Januari 2021 dari sektor pendidikan, kesehatan dan sosial, pertanian, perikanan, infrastruktur, dan produktivitas ekonomi masyarakat sekitar Rp1,349 triliun,” kata anggota Tim Reaksi Cepat Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya Wilayah BPPT, Nugraheni Setyaningum.
Rinciannya, nilai kerugian di sektor pendidikan sekitar Rp30,446 miliar, sektor kesehatan dan perlindungan sosial sekitar Rp27,605 miliar, sektor infrastruktur sekitar Rp424,128 miliar, sektor perikanan sekitar Rp46,533 miliar, sektor produktivitas masyarakat sekitar Rp604,562 miliar, dan sektor pertanian sekitar Rp216,266 miliar.
“Estimasi saat ini cukup representatif menggambarkan kemungkinan kerugian,” kata Nugraheni.
Data yang digunakan dalam menghitung estimasi kerugian antara lain data luas area yang tergenang berdasarkan citra spasial, data penggunaan lahan berdasarkan Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI), data BBNPB, data umur padi dari Kerangka Sample Area (KSA) Badan Pusat Statistik, serta data-data yang tertuang dalam Peraturan Daerah.
Perhitungan tak luput memperkirakan nilai kerugian gagal panen akibat lahan sawah yang tergenang di sektor pertanian dan di sektor perikanan. Perhitungan dilakukan untuk mengetahui nilai kerugian akibat hilangnya ikan budi daya di empang, kolam, dan tambak akibat banjir—selain sektor infrastruktur. Tapi memang belum memperhitungkan dampak banjir pada kegiatan pariwisata, transportasi, pertanian palawija dan holtikultura, kerusakan lingkungan, sarana sanitasi, dan kondisi perekonomian dalam jangka panjang.
Citra satelit radar menunjukkan luas wilayah yang tergenang sekitar 164.090 ha. BPPT menyebut alasan curah hujan ekstrem dan penurunan tutupan lahan (vegetasi kerapatan tinggi/hutan), terutama di daerah hulu yang menjalankan fungsi penyimpanan air. Dalam pandangan versi lain, persoalan kerusakan hutan di Indonesia dinilai telah sampai pada fase yang paling buruk di dunia yang ditandai dengan sejumlah kerugian dalam skala besar secara ekologis, sosial-ekonomis, dan bahkan politis.
Dihitung kasar saja, kerusakan hutan di Indonesia telah mencapai lebih dari 2 juta ha/tahun dengan nilai kerugian secara sosial ekonomi dan ekologis berupa perubahan iklim, longsor, banjir dan rusaknya habitat hutan/alam mencapai Rp530 triliun. Dan mimpi buruk seperti awal 2021 kemarin teramat mungkin berkelanjutan, jika tanpa usaha serius melakukan semua yang mesti dilakukan. Utamanya keniscayaan meninjau ulang kebijakan deforestasi—terkait perkebunan sawit dan perizinan tambang batu bara—untuk menyelamatkan Borneo dari kerusakan ekosistem dalam skala dan intensitas yang lebih memusnahkan.●(dd)