checkup-dokter keuangan
checkup-dokter keuangan
octa vaganza

Museum Bank Indonesia Gelar Pekan Numismatik

Seminar Sejarah Krisis di Indonesia di Museum Bank Indonesia-Foto: Dokumentasi Ikatan Alumni Sejarah UI.

JAKARTA—Museum Bank Indonesia bekerja sama dengan Club Oeang Revolusi (CORE) mengadakan perhelatan Pekan Numismatik Indonesia  bertemakan “Kilasan Numisnatik dalam Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia”.  Kegiatan ini juga digelar dalam rangka Peringatan HUT RI ke 73 dan Asian Games 2018.

Dalam Siaran Pers yang dirilis oleh Departemen Komunikasi Museum Bank Indonesia disebutkan kegiatan ini berupaya untuk membangun kesadaran bersama tentang pentingnya sejarah numismatic Indonesia.  Acara ini digelar pada 23 hingga 26 Agustus 2018 di Museum Bank Indonesia.

Sejarah numismatik adalah salah satu bagian penting dari perkembangan sejarah ekonomi Indonesia. Bicara numismatik berarti bicara tentang uang, yang memiliki makna yang sangat penting bagi masyarakat dan negara, yang melebihi fungsinya sebagai alat pertukaran semata.

Uang adalah produk lembaga negara, yang memprersentasikan kepentingan besama masyarakat dalam kebijakan publik sebuah negara.

Setiap spesimen mata uang memiliki makna tertentu, yang merefleksikan kekayaan sosial kultural maupun kepentingan masyarakat dan negara, serta jiwa zaman ketika uang tersebut diterbitkan.

Seminar Sejarah Krisis  

Pada acara ini juga digelar Seminar Sejarah krisis di Indonesia dan Peran Bank Indonesia dalam Mengatasi Krisis yang diselenggarakan pada Kamis, 23 Agustus 2018.

Hadir sebagai pembicara sejarawan DR Andi Achdian yang berbicara mengenai Melaise Politik Kolonial dan krisis Ekonomi, serta Ketua Museum Bank Indonesia Yiyok T Herlambang mengenai “Krisis Moneter 97-98 dan Peran Bank Indonesia dalam Mengatasinya”.

Andi Achdian membicarakan dua hal, pertama malaise jadi dasar perubahan kebijakan  ekonomi  kolonial yang tidaklagi tergantung dengan pasar dunia, melainkan  menjadi ekonomi yang berupaya memenuhi kecukupan sendiri. Hindia Belanda setelah kejadian itu  tidak tergantung lagi bergantung pada ekspor.

“Kedua secara sosial Melaise menajamkan jarak rasial antara Bumi Putera dan Eropa, terutama  golongan Indo-Eropa. Pengangguran di kalangan orang-orang Eropa semakin menurunkan prestise kulit putih di kalangan penduduk Bumi Putera. Sementara kebijakan Indonesianisasi di birokrasi kolonial semakin membuat warga Indo-Eropa merasa terancam posisinya dengan gelombang tenaga kerja pribumi yang mau dibayar lebih rendah dibanding orang Eropa,” papar alumni Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UI dan  School of Politics, Nottingham University, Inggris ini.

Sementara Yiyok mengungkapkan salah satu masalah yang paling berat dalam krisis ekonomi Indonesia pada 1997/1998 ialah ketidakpercayaan masyarakat pada perbankan nasional,karena masyarakat kita irasional.  Ketika Bank Indonesia mengumumkan penutupan 16 bank,  masyarakat berpikir jangan-jangan bank lain juga begitu.

“Akibatnya terjadi antrean pengambilan uang (rush).  Kalau sekarang sudah ada Lembaga Penjamin Simpanan untuk menjaga kepercayaan itu, “ ujar pria yang pernah menjabat mantan Deputi Pimpinan BI di sejumlah daerah ini (van).