Bencana alam pada umumnya memicu naluri kedermawanan sosial. Negeri ini mengalami serangkaian dukalara sejak tsunami NAD-Nias di pengujung 2004. Sejumlah Aksi Cepat Tanggap lalu mengkristal jadi komunitas Masyarakat Relawan Indonesia.
FITRAH manusia sebagai makhluk sosial bercirikan saling membutuhkan dan saling membantu. Jika sekelompok warga didera kemalangan, terlebih musibah itu berdampak serius, biasanya di sana sini muncul relawan. Maka, amat dimaklumi jika di tengah masyarakat ditemukan beraneka kegiatan sosial. Baik yang lahir spontan sekonyong-konyong maupun yang (kemudian) permanen dan terlembagakan.
Di antara paguyuban peduli kemanusiaan itu Komunitas Masyarakat Relawan Indonesia (MRI) atau Indonesian Volunteer Society. Nama yang mungkin tak kelewat populer. Yang pasti, komunitas ini terbentuk dari serangkaian inisiasi program sosial dari lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT). MRI hadir sebagai wadah yang dibentuk oleh ACT untuk mengkoordinir sumber daya manusia yang memiliki beragam kompetensi di tengah masyarakat.
Anggota MRI terdiri dari individu-individu relawan. Tak ada sekat-sekat pembatasan, tapi umumnya dari kalangan Muslim. Khususnya lagi, mereka yang memiliki komitmen dan kontribusi dalam menciptakan perubahan positif pada lingkunganya, baik lingkungan mikro maupun makro, berdasarkan prinsip kesukarelaan. Kiprah mereka sepenuhnya mewujudkan rasa tanggung jawab sosial sebagai individu, warga masyarakat, warga negara, dan warga dunia.
Masyarakat Relawan Indonesia didirikan 22 Mei 2005 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Terwujudnya wadah ini berkaitan erat dengan aroma kerelawanan pascatsunami Aceh. Pada kenyataannya, relawan yang berkumpul di Banjarmasin saat itu rata-rata adalah para ‘veteran’ tsunami Aceh. Volunteer dari berbagai pelosok negeri ini—bahkan dari luar negeri—berdatangan ke wilayah paling barat Indonesia tanpa diperintah, tanpa diminta, tanpa berharap imbalan, bahkan tanpa tahu kapan kerja-kerja kemanusiaan mereka akan berakhir.
Pascatsunami Aceh-Nias, 26 Desember 2004, Nusantara dilanda bencana beruntun. Banjir bandang Januari 2006 di Jember, Jatim; hanya berselang satu hari dengan longsor yang melanda Banjarnegara, Jateng; menyedot banyak relawan beraksi di kedua daerah bencana tersebut. Selanjutnya, para relawan ini jadi tenaga yang mobile dari satu bencana ke bencana lainnya sepanjang tahun 2006. Banjir bandang di Manado, gema dan letusan Gunung Merapi Yogyakarta, gempa di Jateng, banjir bandang Sangihe, banjir besar Jakarta, hingga gempa Sumatara Barat; adalah tempat-tempat para relawan mengukir bakti dalam aksi kemanusiaan mereka.
Kiprah MRI terbukti berbagai aksi nyata yang sudah dilakukan selama beberapa tahun terakhir. Bersinergi dengan banyak pihak, MRI mampu membuat program dengan sukses dan pertanggungjawaban yang baik dalam pelaporan keuangan maupun pemberitaan di media. Bicara soal kemandirian, para relawan berkontribusi aktif dengan mengorbankan waktu, harta dan semangat mereka dalam mewujudkan suksesnya kegiatan sosial yang dilakoni ACT.
Di samping donatur dan para dermawan, baik perseorangan maupun berbagai korporasi dan institusi, menyalurkan kepedulian mereka. Unjuk kepedulian itu mulai dari relawan emergency mencakup rescue, relief dan medis, hingga relawan pendamping pascabencana untuk penanganan trauma. Mereka yang memulai kerja kemanusiaan di fase emergency pada umumnya berlanjut sampai ke fase pemulihan (recovery).
Eksisnya MRI tentu dimaksudkan untuk menyinergikan beragam bentuk kepedulian. Di sini diwadahi para relawan dengan berbagai latar belakang dan bermacam keahlian serta konsentrasi. Apa pun jenis keahlian, skills dan konsentrasi mereka, selama dalam bingkai kemanusiaan, di sini dinaungi dalam satu komunitas kerelawanan. Sehingga, keseluruhan potensi relawan yang berserakan dapat terhimpun menjadi satu sinergi kemanusiaan. “Jika dulu Indonesia butuh pahlawan untuk mengusir penjajah, kini negeri ini membutuhkan para relawan,” ujar Ahyudin, Direktur Eksekutif ACT, salah satu pendiri MRI.
Untuk terlibat penuh dalam kerja sosial guna perbaikan kondisi masyarakat dan bangsa di MRI, peserta disyaratkan menjalani serangkaian pelatihan. Di antaranya: Orientasi Kerelawanan; Managerial & Leadership Training; Paket Pelatihan Total Disaster Management (Penanganan bencana terpadu mulai dari mitigasi, emergency hingga recovery) mulai level basic hingga advance dilakukan secara bertahap; Pelatihan Pengelolaan Program Kemanusiaan; Pelatihan Jurnalistik Kemanusiaan; Pembekalan berjenjang dalam “Universitas Kerelawanan”
Pelatihan dan pembekalan skill saja belumlah memadai untuk mengasah kepekaaan relawan terhadap lingkungan sosialnya. Maka tahap lanjutan pascapelatihan adalah pelibatan relawan dalam pelbagai aksi kemanusiaan. Relawan diberi kesempatan untuk terlibat aktif dan terjun langsung merespons dan berperan aktif meringankan penderitaan korban atas bencana alam dan bencana kemanusiaan di dalam negeri ataupun di dunia internasional.
Keterlibatan dalam aksi-aksi bersama ACT mungkin ibarat menu utama. Menu lainnya, relawan juga diberi kesempatan untuk terlibat penuh dalam program-program pendampingan ataupun pemberdayaan masyarakat (community development), dengan model kegiatan: Kuliah Kerja Relawan atau Bakti Kerja Relawan, Relawan Pendamping Masyarakat, dan Mobile Volunteer.
Sebagai wadah volunteer terlembaga dan berkelanjutan, MRI pun senantiasa membuka diri, di samping mendorong keikutsertaan peran serta segenap warga masyarakat. Apa pun status anda saat ini. Entah itu pelajar, mahasiswa, guru, pekerja/buruh, profesional (dokter, pengacara, manajer), nelayan, tani, militer, ataupun profesi lainnya.
Jika mungkin, ada Hari Relawan dalam kalender. Hari Relawan Sedunia diperingati setiap tanggal 5 Desember. Tanggal ini cukup akrab di kalangan relawan domestik. Maka, 26 Desember–tanggal terjadinya tsunami Aceh—layak diajukan sebagai Hari Relawan Indonesia. Mengingat itulah penanda dimulainya aksi terdahsyat kerelawanan, sekaligus menjadi pemicu munculnya bentuk-bentuk kerelawanan di berbagai bencana sesudahnya.●(dd)