BANJAR—–Mereka yang melewati masa kanak-kanak pada 1990-an di sejumlah tempat di Jawa Barat mengenal jajanan yang disebut mi lidi. Hanya saja dulu mi lidi hanya ada rasa asin dan pedas. Salah satu penikmat jajanan mi lidi itu ialah warga Banjar, Jawa Barat, Iqbal Fauzi Rahman ketika masih duduk di bangku SD.
Di tangan alumni Universitas Siliwangi Tasikmalaya ini mi lidi dikemas dengan lebih modern, terutama pengemasannya menggunakan alumnium foil dan varian rasa yang lebih beragam, mulai dari original ayam bawang, cabe jeruk, balado, keju, yang semua delapan rasa. Harganya dibandroll Rp15 ribu per pieces dengan berat sekitar 100 gram.
“Saya memulai usaha ini pada 2014 dengan modal Rp900 ribu dengan 50 pieces. Kemudian pelan-pelan berkembang. Kini omzet kami berkisar Rp50 hingga Rp70 juta per bulan dengan produksi sekitar lima ribu pieces. Saya dibantu empat karyawan, ” ungkap Iqbal ketika dihubungi Peluang, Rabu (14/8/19).
Pengalamannya sebgaai reseller sebuah produk membuat Iqbal mengetahui seluk-beluk membuat kemitraan yang lebih adil dalam soal harga. Hingga dia bisa membuat jaringan tersendiri. Produknya sudah masuk ke Carrefour, Padjajaran Group, Asia Plaza dan Yogya Departemen Store ke berbagai kota di Indonesia.
Pria kelahiran 1993 ini menggunakan brand produknya Mih Iteung terkait dengan cerita rakyat populer di Tanah Jawa Barat. Dengan terinspirasi dari dongeng itu pula ia mendirikan Iteung Balad Kabayan (IBK) Movement yang membantu para wirausaha untuk memasarkan produknya hingga masuk pasar swalayan nasional.
“Saya menulari UKM-UKM di Kota Banjar dan Tasikmalaya untuk belajar dari langkah yang kami lakukan. Tentunya setiap produk berbeda. Pada 2019 ini kami mendampingi dua UKM menjadi konsultan. Di antaranya ada sebuah UKM yang mempunyai produk roti, tentu saja langkah yang dilakukan berbeda,” pungkas Iqbal (Irvan Sjafari).