Dampak pandemi COVID-19, meningkatnya biaya hidup, disrupsi, serta kebijakan subsidi yang salah sasaran menjadi kombinasi yang sempurna untuk menambah berat beban masyarakat kelas menengah agar dapat survive. Diperlukan keberanian berpikir out-of the box, peran dunia usaha dan tentu saja kebijakan pemerintah yang tepat untuk dapat menyelamatkan kelas menengah dari keterpurukan.
Yusuf (45 tahun), sudah lebih dari 20 tahun menjalani profesi sebagai jurnalis foto di media ekonomi berskala nasional. Sebagai seorang pekerja media, hidupnya selama ini praktis tak menemui banyak masalah ekonomi. Selain mendapatkan gaji bulanan dari media tempatnya bekerja, dia juga sering mendapatkan side job untuk mengerjakan proyek pemotretan untuk korporasi.
Masalah mulai timbul ketika bisnis media tak lagi sehat. Trend digitalisasi media menjadi senjakala bagi bisnis media konvensional. Satu per satu media tutup. Media tempat Yusuf bekerja tidak tutup, tetapi perusahaan itu terpaksa melakukan pengurangan karyawan. Dia pun menjadi salah satu karyawan yang harus dirumahkan oleh perusahaan.
Hidupnya mulai berubah. Dia mencoba bertahan selama beberapa bulan dengan menghabiskan tabungannya yang tak seberapa. Dalam waktu singkat, Yusuf mulai berubah status dari kelompok masyarakat kelas menengah menjadi masyarakat rentan. Berbagai cara di
lakukan, mulai dari menjalankan usaha kuliner hingga berjualan secara online. Setahun terakhir, dia mulai menjalani profesi sebagai driver taksi online. “Apa saja harus saya lakukan untuk dapat bertahan hidup. Anak-anak saya masih harus sekolah,” ujarnya masygul.
Lain lagi cerita Wisnu (48 tahun). Sebagai seorang manajer di salah satu bank swasta, Wisnu juga merupakan salah satu warga penghuni kelompok kelas menengah. Sehari-hari dia menggunakan mobil untuk mengantarkan anak-anaknya ke sekolah. Untuk ke kantor, dia memilih menggunakan sepeda motor agar lebih hemat. Kendati masih dapat terus bekerja, toh dia juga merasakan belakangan biaya hidup semakin berat. Sejak beberapa bulan lalu, dia memberanikan diri untuk memanfaatkan halaman kosong di depan rumahnya untuk membuka kafe. Untuk modalnya, dia meminjam KTA dari bank tempatnya bekerja. Sukses? Ternyata tidak semudah itu.
“Ya begini, kenyataan memang sering tak seindah mimpi,” ujarnya. Bisnis kafenya tak lantas berhasil memberikan tambahan pendapatan. Sekali waktu kafenya memang ramai, tapi lebih sering sepi pengunjung, padahal lokasinya cukup strategis. Tetapi, itu pilihan yang coba diambil Wisnu untuk bertahan hidup menjadi bagian dari masyarakat kelas menengah.
Tak Mudah
Perjuangan untuk bertahan hidup tak selamanya mudah. Hanya segelintir orang yang diberikan keuntungan untuk dapat cepat melakukan recovery. Sisanya harus terseok-seok, berjuang meningkatkan taraf hidupnya dan keluarganya.
Kisah Yusuf dan Wisnu adalah sebagian potret dari fenomena besarnya beban yang harus dihadapi masyarakat kelas menengah kita. Sebagian yang kurang beruntung harus terpental posisinya ke kelompok masyarakat rentan, sebagaimana disampaikan dalam laporan Badan Pusat Statistik yang baru-baru ini dilansir oleh lembaga tersebut.
Di tengah beratnya beban yang harus dipikul kelas menengah tersebut, banyak diantara mereka yang kondisinya menjadi semakin parah karena harus mencari jalan pintas: mencari bantuan kredit, baik dari perbankan maupun dari pinjaman online untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tentu saja, kondisinya jadi semakin parah jika mereka tidak segera mencari solusi penyelamat yang sesungguhnya, baik dengan mencari pekerjaan baru yang penghasilannya lebih baik atau dengan mencari tambahan penghasilan.
Nah, banyak diantara masyarakat kelas menengah itu yang akhirnya terus berupaya mengasah kreativitasnya dengan menambah pekerjaan di sektor informal atau dengan berwirausaha. Sebagian menolak menyerah, meski hal itu tidak mudah memang.
Mencari Solusi
Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiawandono mengungkapkan fenomena penurunan kelas menengah ini menjadi perhatian khusus pemerintah. Namun menurut dia penurunan kelas menengah itu bukan diakibatkan oleh kebijakan tertentu yang diambil pemerintah.
“Ini merupakan dampak lanjutan dari pandemi COVID-19. Seperti kita ketahui, akibat pandemi tersebut banyak perusahaan yang terpaksa tutup atau harus melakukan PHK. Di sisi lain, resesi tersebut juga semakin membuat daya beli masyarakat tertekan,” ujarnya ketika berbicara dalam taklimat media, akhir September lalu.
Thomas meyakinkan bahwa pemerintahan terus berupaya mencarikan solusi jangka panjang untuk menyelamatkan kelas menengah.
Pemerintah saat ini mengklaim telah meluncurkan berbagai kebijakan yang di antaranya berupa program perlindungan sosial, insentif pajak, Kartu Prakerja, Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), Kredit Usaha Rakyat (KUR), serta subsidi dan kompensasi energi yang sebagian menyasar kelas menengah.
Langkah strategis yang diambil ini selain untuk menjaga daya beli kelas menengah, juga untuk mencegah penurunan kelas menengah ke kelompok rentan serta memastikan pertumbuhan inklusif dan berkelanjutan bagi seluruh lapisan masyarakat.
“Pemerintah memutuskan memberikan kembali insentif PPN DTP sebesar 100% untuk September 2024 sampai Desember 2024. Insentif tetap diberikan paling banyak atas bagian DPP sampai dengan Rp2 miliar dari harga jual rumah paling tinggi Rp5 miliar,” ujar Menko Perekonomian Airlangga Hartanto.
Direktur Pengembangan Big Data INDEF Eko Listiyanto merekomendasikan pemerintah untuk menunda kenaikan harga-harga barang dan jasa yang bisa dikendalikan pemerintah. Selain itu, dia juga merekomendasikan peningkatan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk menstimulasi kegiatan ekonomi. Industri padat karya juga harus dilindungi agar fenomena penurunan kelas menengah bisa teratasi.
Eko menyarankan pemerintah untuk menunda kenaikan harga barang, meningkatkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), melindungi industri padat karya, dan mengakhiri tren suku bunga tinggi guna mendorong sektor riil dan UMKM.
Apa yang bisa dikerjakan ke depan? Ini tentu menjadi pekerjaan rumah pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran. Apa solusi dan program yang akan digulirkan pemerintahan baru? Menarik untuk kita tunggu. Tentu saja, ini tak bisa terlalu lama, karena himpitan ekonomi sudah semakin berat. (drp)