
Peluangnews, Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, kondisi nilai tukar rupiah masih relatif cukup baik di tengah dolar Amerika Serikat yang menguat. Hal itu terlihat dari tingkat depresiasi nilai tukar yang relatif rendah ketimbang banyak negara lainya.
“Dengan langkah-langkah stabilisasi yang ditempuh Bank Indonesia, depresiasi nilai tukar rupiah relatif lebih baik, yakni 2,34% secara year to date (ytd/tahun berjalan),” ujarnya dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Jumat (3/11).
Menkeu menyebutkan, penguatan dolar AS secara signifikan mendorong pelemahan berbagai mata uang negara lain. Indeks nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama (DXY) pada 27 Oktober 2023 berada di level 106,56 atau menguat 2,93% (ytd).
Peningkatan indeks DXY memberikan tekanan depresiasi terhadap mata uang utama, seperti Yen Jepang dan Dolar Australia yang melemah masing-masing 12,61% (ytd) dan 6,72% (ytd), serta depresiasi mata uang kawasan, seperti Ringgit Malaysia dan Baht Thailand masing-masing 7,82% (ytd) dan 4,39% (ytd).
“Ke depan, langkah stabilisasi nilai tukar rupiah terus diperkuat agar sejalan dengan nilai fundamentalnya dan mendukung upaya pengendalian imported inflation,” ungkap Sri Mulyani.
Selain itu, upaya lain jjuga terus diperkuat untuk meningkatkan mekanisme pasar dalam manajemen likuiditas institusi keuangan domestik dan menarik masuknya aliran portofolio asing dari luar negeri. Itu juga akan dibarengi dengan upaya peningkatan dan perluasan koordinasi dalam rangka implementasi instrumen penempatan Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA).
Penguatan harmonisasi kebijakan fiskal, moneter dan sektor keuangan, lanjut mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu, juga akan terus dilakukan untuk memperkuat efektivitas bauran kebijakan makro baik dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan maupun untuk mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi.
Di kesempatan yang sama, Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan, BI akan terus memperkuat respons bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kebijakan moneter terus diarahkan untuk menjaga stabilitas, sementara kebijakan makroprudensial, sistem pembayaran, pengembangan pasar uang dan pasar valas, serta ekonomi-keuangan inklusif dan hijau, tetap diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Sejalan dengan arah bauran kebijakan tersebut, kata Perry, bank sentral akan terus memperkuat kebijakan moneter untuk memitigasi dampak gejolak ekonomi global terhadap stabiltas nilai rupiah. Diketahui dalam Rapat Dewan Gubernur BI pada Oktober 2023, bank sentral menaikkan BI7DRR sebesar 25 bps menjadi 6,00%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 5,25%, dan suku bunga Landing Facility sebesar 25 bps menjadi 6,75%.
“Kenaikan ini untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah dari dampak meningkatnya ketidakpastian global serta sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi dampaknya terhadap inflasi barang impor, sehingga inflasi tetap terkendali dalam sasaran,” terang Perry.
Kebijakan suku bunga tersebut didukung oleh penguatan stabilisasi nilai rupiah melalui intervensi di pasar valas pada transaksi spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), serta pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder; penguatan strategi operasi moneter untuk efektivitas kebijakan moneter, termasuk optimalisasi Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan penerbitan Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) serta Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI); dan penguatan koordinasi dengan Pemerintah, perbankan, dan dunia usaha untuk implementasi penempatan valas DHE SDA sejalan dengan PP Nomor 36 Tahun 2023. (Aji)
Baca Juga: Indikator Ekonomi Indonesia Membaik Pada Maret 2022