hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Fokus  

Menjebol Dari Dalam Sistem

Ini masalah besar. Masalah besar sekali karena menyangkut kepercayaan. Tidak mungkin uang bisa hilang Rp13 triliun tanpa perampokan. Maka, yang pertama dan utama adalah bagaimana (wajib) mengembalikan uang nasabah yang dirampok oleh perampok.

DAMPAK sistemik yang ditimbulkan kasus Jiwasraya dan Asabri sangat dapat melunturkan kepercayaan publik terhadap asuransi. Problem yang membelit kedua asuransi pelat merah itu bersumber dari masalah yang sama. Keduanya ‘sakit’ dan tersungkur lantaran pengelolaan manajemen investasi yang keliru.

Baik PT Asuransi Jiwasraya (Persero) maupun PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Persero) sama-sama terjebak dalam permainan ‘saham gorengan’ (pembodohan publik) atau saham-saham lapis ketiga dengan fundamental di bawah standar dan produk reksadana berkinerja negatif.

Jiwasraya ditengarai main saham di 14 reksa dana dengan total investasi Rp9 triliun dan nilai kepemilikan 50%-100% pada masing-masing emiten. “Sebanyak 99,64% dana kelolaan investasi Jiwasraya dikucurkan pada instrumen saham,” ujar Pengamat Asuransi, Irvan Rahardjo. Pertaruhan terbesar Jiwasraya jatuh pada investasi di perusahaan niaga ikan hias, PT Inti Agri Resources Tbk. Nilainya Rp6 triliun, jauh melampaui asetnya yang hanya Rp332 miliar.

Di Asabri pun demikian: memegang saham 17 perusahaan. Portofolio saham terbesar Asabri dipegang PT Hanson International Tbk. sebanyak 4,7 miliar saham. Pada akhir 2017, sahamnya melorot 56,1% dari Rp114 menjadi Rp50 per lembar. Mayoritas harga saham yang dimiliki Asabri lainnya turun 50% hingga 90%.

Dalam bahasa yang gamblang, Said Didu, Sekmen BUMN 2005-2010, menyebut ini perampokan. Pasalnya, produk yang sama yang dipasarkan oleh lembaga asuransi lain tidak mengalami krisis seperti Jiwasraya. Perubahan status yang drastis dari sehat ke sakit dan berdarah-darah terjadi secara mendadak, tidak menurut degradasi yang wajar. Padahal, tidak ada goncangan ekonomi apa pun dalam kurun 2014-2018.

Siapa perampoknya? Yang bisa melakukanya hanya orang yang tahu di dalam dan kerja sama dengan pihak luar. Ini perlu diselesaikan segera agar tidak makin berdarah-darah. “Saya dapat informasi ada Rp300 triliun (uang negara ‘menguap’ dengan modus kongkalikong seperti ini). Padahal, perusahaan asuransi melaporkan keuangannya ke OJK tiap bulan dan triwulan. Hasil laporan itu diapain aja, padahal gaji dan fasilitas OJK itu tinggi sekali, lima kali gaji Presiden,” ujarnya.

Bagi Faisal Basri, pemerintah abai dalam mengantisipasi kedua permasalahan sehingga bisa terjadi. OJK, kata ekono senior itu, telah diberi kekuasaan penuh oleh undang-undang. Di antaranya, kewenangan memberi izin operasi perusahaan asuransi, mengeluarkan izin berbagai produk asuransi, mengawasi perusahaan asuransi, hingga membuat aturannya.

Persoalan likuiditas Asabri masih relatif tertolong karena masih memperoleh dana iuran dari peserta. Sedangkan kasus Jiwasraya semakin membesar karena praktis premi jatuh tempo terus bertambah. Di saat yang sama, ujar Faisal, dana dari premi baru praktis terhenti karena masyarakat jera berinvestasi di produk-produk investasi Jiwasraya.

“Wajar jika banyak kalangan mulai mempertanyakan kiprah OJK. Bukan saja kewenangannya terhadap perusahaan asuransi, melainkan juga terhadap perbankan, lembaga keuangan bukan bank, pasar modal, dan fintek,” ujarnya. Lebih jauh, sangat layak dipersoalkan siapa yang mengawasi OJK dan kepada siapa OJK harus melapor. Artinya, langkah penguatan institusi jadi sedemikian mendesak, karena OJK merupakan organ perekonomian yang vital.

Tapi mengapa Kementerian Keuangan sampai sekarang belum kunjung merealisasikan UU No. 40/2014 tentang Perasuransian, yang seharusnya sudah hadir pada Oktober 2017 dalam hal penyelenggaraan program penjaminan polis? “Bukankah Kemenkeu sudah diingatkan oleh berbagai pihak tentang amanat undang-undang itu? Tidak perlu menunggu kehadiran Omnibus Law untuk menyelesaikan masalah yang mendera Jiwasraya dan Asabri,” ucap Faisal Basri.

Modus perampokan berlangsung dengan penjebolan dari dalam sistem. Yakni melalui surat utang jangka menengah atau Medium Term Notes (MTN), Benny Tjokrosaputro meminjam uang Jiwasraya hingga ratusan miliar. Benny sudah belajar main saham sejak umur 19 tahun. “Tapi MTN bukan satu-satunya transaksi antara Jiwasraya dan perusahaan Benny. Pembelian saham Hanson International milik Benny juga berlangsung lewat pasar modal,” kata Menteri BUMN 2011-2014, Dahlan Iskan.

Dahlan Iskan menyebut Jiwasraya belanja saham Hanson International ketika harganya Rp1.300 per lembar, sebanyak Rp760 miliar. Banyak pihak menilai itu kemahalan, tapi itulah harga resmi di pasar modal. Setahun kemudian, harga saham itu melonjak jadi Rp1.865 per lembar.

Di saat inilah mestinya Jiwasraya jual saham, karena bisa untung lebih Rp100 miliar. “Tapi itu tidak dilakukan Jiwasraya, mungkin menunggu harga naik lagi. Padahal, yang terjadi setelah itu, nilai saham Hanson terjun bebas. Anjlok ke dasar jurang yang paling dalam tinggal Rp50 per lembar. Hitung sendiri berapa ratus miliar uang Jiwasraya hilang,” ujar Dahlan Iskan.

 Mau tak mau, suka tak suka, harus ada audit investigatif untuk mengetahui ke mana larinya investasi dari dua perusahaan itu. “Malah mungkin audit forensik, untuk memastikan ke mana larinya investasi-investasi ini sehingga kita bisa me-recovery nilai-nilai investasi yang sudah akhirnya mengorbankan jutaan nasabah dan pensiunan TNI dan Polri,” saran Sandiaga Salahuddin Uno.

“Saya mendukung pemulihan secara bisnisnya ini harus segera dilakukan. Isu pertama adalah memisahkan mana portofolio yang masih baik dan yang sudah rusak. Yang masih baik ini dikelola dengan lebih profesional, ditunjuk manajemen baru, agar dua institusi keuangan kebanggaan kita ini bisa kembali bangkit,” ujarnya.

Kasus besar Jiwasraya dan Asabri—juga BUMN lain yang terpapar virus sejenis—perlu penyelesaian yang komprehensif. Said Didu menawarkan langkah simpel dan logis. Yakni, periksa semua pihak yang terkait dengan produk ini; periksa semua saham-saham yang dibeli; periksa semua perusahaan yang sahamnya dibeli; periksa semua properti yang dibeli: itu milik siapa, siapa pembeli dan penjual, siapa yang menyuruh membeli; periksa ke mana saja mengalir dari hasil transaksi tersebut.

Membedah kasus ini lebih mudah dibanding kasus Bank Century karena semuanya terdeteksi, tercatat semua melalui pasar modal dan obligasi. Tahap terakhir, tegakkan hukum. Gunakan UU Pencucian Uang, bukan menggunakan UU Tipikor yang ujung-ujungnya hanya hukuman penjara untuk beberapa pelaku.

“Kalau langkah-langkah di atas dilakukan, sedikitnya 70% uang yang dirampok itu bisa kembali,” ujar Said Didu. Sebab, di atas segalanya, prioritas yang sangat perlu diselamatkan adalah uang nasabah. Ini masalah besar sekali. “Yang pertama dan utama adalah bagaimana mengembalikan uang nasabah yang dirampok oleh perampok”.●(dd)

pasang iklan di sini