Janji-janji program pro rakyat Presiden Prabowo dihadapkan pada problematika domestik dan global yang kompleks. Mampukah terealisasi atau sekadar omon-omon?
Pemerintahan baru yang dikomandoi Presiden Prabowo Subianto bertekad meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Ini terlihat dari beberapa program quick win yang populis dimana paling ikonik adalah makan siang bergizi gratis senilai Rp71 triliun. Hal itu diiringi dengan upaya mencegah kebocoran anggaran dari praktik korupsi.
Ujung dari kebijakan ekonomi pemerintahan baru ini atau sering disebut Prabowonomics adalah pertumbuhan ekonomi sebesar 8% dalam lima tahun mendatang. Sepintas terlihat ambisius karena faktanya dalam 10 tahun terakhir ekonomi nasional hanya tumbuh di level 5% an saja. Bahkan sempat mengalami kontraksi saat terjadi pandemi Covid-19.
Namun demikian, target pertumbuhan 8% itu bukan hal mustahil. Sekadar mengingatkan, semasa Orde Baru berkuasa, pada periode 1986-1997, rata-rata pertumbuhan ekonomi menyentuh 7,3%. Bahkan pernah tumbuh sebesar 8,2% pada 1995. Keberhasilan masa lalu itu diharapkan dapat menginspirasi sehingga Indonesia tidak masuk dalam middle income trap.
Seperti diketahui, istilah Prabowonomics merujuk pada pendekatan kebijakan ekonomi yang dilakukan Prabowo Subianto yang berfokus pada pembangunan ekonomi berbasis kedaulatan pangan, energi, dan peningkatan daya saing industri nasional.
Dalam Kemandirian Ekonomi dan Nasionalisme Ekonomi, mantan Danjen Kopassus itu bertekad mengurangi ketergantungan pada impor dan memperkuat kemampuan dalam negeri untuk memproduksi barang-barang kebutuhan vital. Ketergantungan pada produk impor akan memperlemah ketahanan nasional.
Tekad ini sebenarnya melanjutkan pemerintahan sebelumnya yang ingin membatasi keran impor, termasuk dalam urusan pangan. Namun realitasnya, angka impor bahan pangan terus menanjak. Data BPS menyebutkan impor bahan pangan naik selama Januari-Agustus 2024, dibanding periode yang sama pada tahun lalu. Impor bahan pangan yang naik itu di antaranya gandum dan meslin, gula, serta beras yang menyumbang sebesar 5,07%, terhadap total impor non migas.
Komoditas beras yang menjadi makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia saja masih impor. Padahal, negeri ini dikenal sebagai agraris. Impor beras mencapai 3,05 juta ton, melonjak sebesar 91,85% dibanding periode yang sama tahun lalu seberat 1,59 juta ton. Nilai impor beras mencapai US$1,91 miliar atau naik 121,34% dari sebelumnya US$ 863,62 juta. Impor ini terbanyak dari Thailand, Vietnam dan Pakistan.
Prabowonomics juga akan diterapkan dalam memperkuat Ketahanan Pangan Dan Energi. Sumber daya alam Indonesia, asalkan dikelola dengan benar, diyakini dapat memberikan manfaat bagi seluruh rakyat. Selain itu, juga akan melaksanakan Reindustrialisasi dan Hilirisasi Sumber Daya Alam untuk menciptakan nilai tambah, membuka lapangan kerja, dan meningkatkan penerimaan negara.
Program reindustrialisasi padat karya ini cukup relevan dengan kondisi kekinian. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sekitar 53.993 tenaga kerja di-PHK per Oktober 2024. PHK tersebut sebagian besar terjadi di industri manufaktur dengan 3 provinsi mencatatkan angka terbesar yaitu Jawa Tengah, Banten, dan Jakarta.
Gelombang PHK yang terjadi telah berdampak pada penurunan kelas menengah. Kelompok masyarakat yang dielu-elukan punya kemampuan daya beli itu anjlok dari 21,4% pada 2019 menjadi 17,1% pada 2024. Ini merupakan tantangan serius yang perlu dijawab segera oleh pemerintahan Prabowo.
Prabowonomics juga berkomitmen dalam memajukan UMKM dan Ekonomi Kerakyatan melalui pemberian insentif, akses permodalan yang lebih mudah, dan pengurangan regulasi yang menghambat. Janji Presiden untu memutihkan utang 6 juta nelayan, petani, dan UMKM merupakan bagian dari komitmen tersebut.
Infrastruktur Berkelanjutan yang merata hingga ke pelosok juga menjadi program prioritas dalam Prabowonomics. Ini agar pembangunan ekonomi lebih inklusif dan mengurangi angka kesenjangan yang kian melebar.
Tantangan makro yang jelas di depan mata dalam mengimplementasikan Prabowonomics antara lain utang. Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah mencapai Rp8.461,93 triliun per Agustus 2024 atau setara 38,49% terhadap produk domestik bruto (PDB). Sementara utang jatuh tempo pemerintah pada 2025 sebesar Rp800,33 triliun, naik dari 2024 sebesar Rp433,49 triliun.
Dalam proyeksi IMF, utang pemerintah akan mencapai Rp12.900 triliun dalam lima tahun mendatang. Tanpa diimbangi dengan kenaikan penerimaan negara, utang ini akan menjadi bom waktu yang berpotensi meluluhlantakan ekonomi nasional. Oleh karenanya, diperlukan cara-cara kreatif tanpa memberatkan masyarakat dalam menggenjot penerimaan negara.
Selain faktor domestik, implementasi Prabowonomics akan dihadapkan pada dinamika global. Pemenang kontestasi Presiden Amerika Serikat akan menentukan arah perekonomian dunia yang akan berdampak pada ekonomi Indonesia. Perkembangan geopolitik juga akan memberikan imbas terhadap rencana-rencana yang sudah disiapkan pemerintah.
Singkatnya ekonomi dan pasar finansial global masih penuh ketidakpastian. Ini ditambah dengan ketegangan dan eskalasi perang di beberapa wilayah yang diprediksi masih akan berlanjut pada tahun mendatang.
Publik memberikan kesempatan kepada kabinet Prabowo untuk bekerja dan akan menagih janji ekonomi-politik, setidaknya dalam 100 hari pertama sebagaimana tradisi di negara-negara demokratis. Oleh karenanya, diperlukan profesionalitas dan integritas dalam bekerja agar Prabowonomics bukan sekadar omon-omon. (Kur).