hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Opini  

Menghitung Jumlah Orang Miskin

Oleh: Imam Faturrahim

Kabar baiknya, jumlah orang miskin di Indonesia menurun. Sumber yang layak kita percaya, tentu saja Badan Pusat Statistik (BPS). Lembaga milik pemerintah ini,  melaporkan  jumlah penduduk  miskin berkurang 1,6 juta  berdasarkan perhitungan akumulatif sejak Maret 2021 hingga Maret 2023; sehingga kalau ditotal, tinggal  25,90 juta orang atau 9,36% saja yang masih tergolong miskin di republik.yang 78 tahun merdeka ini.

Kabar tak menariknya, garis kemiskinan yang jadi dasar penentuan penduduk miskin justru naik 2,78%. Prosentase ini merujuk pada mereka yang kemampuan belanja rumah tangganya hanya Rp 550 ribu an saja per kapita per bulan. Berdasar acuan gini ratio, ketimpangannya mencapai 0,388 dari batasan standar miskin 0,4. Makin tinggi koefisien gini dengan rentang skor 0 sampai 1, semakin tinggi pula ketimpangan.   Di tahun terakhir kepemimpinanya, Presiden  Joko Widodo memasang target optimistis  nilai ratio gini  bakal 0,374-0,377

Jika kita ingin jujur dengan data yang ada, penurunan jumlah orang miskin hanya artifisial belaka. Sebab daya beli mereka lebih banyak ditopang oleh kebijakan pemerintah melalui program bantuan sosial (bansos).  Jumlahnya gak tanggung-tanggung. Besaran dana APBN yang mengucur untuk urusan bansos sepanjang semester I -2023 sebesar Rp 492 triliun. Dengan guyuran dana tersebut pemerintah berhasil mematut sejumlah orang yang berhasil dari kriteria miskin. Namun tanpa adanya peluang dan kesempatan kerja memadai, maka mereka sebenarnya masih tergolong miskin. Pemerintah seolah hanya pura-pura puas dengan pujian mampu menekan angka kemiskinan.

Dalam praktek di lapangan, tidak sedikit dana bansos mengucur kepada  pihak yang salah. Ini karena adanya  oknum pimpinan daerah yang memang sengaja membuat masyarakat miskin dadakan. Menteri Keuangan Sri Mulyani bukannya tidak tahu praktek-praktek curang tersebut, hanya saja ia mengaku sulitnya mengelola data masyarakat miskin di berbagai daerah. Lebih tegas Sri Mulyani tidak sungkan menuding  bansos salah sasaran itu terkait dengan penyaringan suara dalam pilkada maupun pemilu. Ini memang konsekuensi dari sistem politik di Indonesia yang menganut sistem demokrasi bebas, selain itu juga ada mekanisme desentralisasi supaya pemda dapat mandiri mengelola masyarakatnya.

Menyelesaikan kemiskinan memang butuh waktu yang tidak cukup hanya sekadar seremoni sesaat, Apalagi pengentasan orang miskin sudah menjadi agenda bersama bangsa-bangsa di dunia, tertuang  di tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Mengakhiri kemiskinan ekstrim dalam segala bentuknya, dengan target  tingkat kemiskinan ekstrim di seluruh dunia dapat diturunkan pada 2030. Untuk ukuran Indonesia, seseorang dikatagori miskin ekstrim apabila pengeluarannya di bawah Rp10 ribuan  per hari atau Rp300 an ribu  per bulan. Mereka yang bernasib sial seperti itu  lantaran kesulitan akses pada sumber ekonomi, infromasi dan pendidikan, keterbatasan pemenuhan gizi seimbang dan hidup sehat.  Sejak tahun lalu, Indonesia menetapkan target pengurangan kemiskinan ekstrem 0% pada 2024, enam tahun lebih cepat dari target SDGs. Untuk mencapai target di 2024 tersebut,  diperlukan sinergitas antara pemerintah dengan berbagai pihak  agar mendapat hasil yang diinginkan.  Tetapi, Menteri  Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mewanti-wanti   penanganan kemiskinan ekstrem tidak cukup dengan skema bansos saja. Perlu langkah lebih komprehensif  dengan banyak pendekatan. Ibarat obat, kata Muhajir, bansos itu hanyalah balsam. Bisa meringankan rasa sakit  tapi tidak menyembuhkan.

pasang iklan di sini