Lama tak terdengar kabarnya, polemik kepemilikan Gudang Lantai, Jemur dan Kios milik Koperasi Unit Desa (GLK KUD) kembali muncul. Sarana usaha yang dibeli dengan pemotongan fee pangan itu kini diklaim milik sejumlah pihak. Naasnya, KUD pun tidak punya bukti legal kepemilikan GLK.
PERTEMUAN para pimpinan wilayah Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) se Jawa dan Bali itu bak membuka album lama. Sejumlah pihak yang hadir masih pelaku yang sama, sehingga dialog sehari di Solo, Jawa Tengah, Jumat (21/9/18) itu tak ubahnya mendengarkan persaksian sejarah. Langkah Dekopin mengangkat kembali masalah kepemilikan Gudang Lantai Jemur dan Kios Koperasi Unit Desa (GLK KUD) patut diapresiasi, kendati upaya ini ibarat mengangkat batang terendam. Kesulitannya lantaran pihak pemerintah seolah menutup rapat kasus ini yang dianggap warisan buruk masa lalu. Tetapi fakta di lapangan menunjukkan lain, status rancu GLK terus bermunculan dan jadi polemik. Ada GLK yang diklaim milik pribadi ketua pengurus KUD sehingga dianggap sebagai warisan oleh anak keturunannya. Ada yang dikuasai oleh Pemda setempat, dan tidak sedikit pula lahan GLK terbengkalai yang diserobot pihak lain. Status quo tersebut bagi KUD ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Koperasi top-down warisan Orde baru ini tidak saja menyandang stigma masa lalu, usahanya pun masih mendapat label ‘merah’ dari Bank Indonesia karena tuduhan mengemplang Kredit Usaha Tani (KUT). Bagi KUD yang hendak mendapatkan pinjaman kredit perbankan disyaratkan menunjukkan bukti lunas KUT.
Masa keemasan itu berlangsung pada era 80 an, bendera KUD berkibar kencang sebagai mitra pemerintah dalam pengadaan pangan nasional sekaligus bumper ekonomi tingkat pedesaan. Jumlahnya mencapai 10.000 unit yang tersebar di seluruh Indonesia. Sebagai upaya menopang peran KUD, pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden RI Nomor: 11 Tahun 1981 Tanggal 9 September 1981 tentang Pengadaan dan Pembinaan Sarana Lepas Panen bagi KUD, yang antara lain diwujudkan dengan membangun GLK untuk KUD. Menurut Herman, salah seorang peserta di temu wicara Dekopinwil se Jawa Bali itu, pembangunan GLK dilaksanakan secara bertahap sejak tahun 1981 hingga 1989. Jumlah keseluruhan 7.163 unit dengan rincian kapasitas 30 ton (5.724 unit), 130 ton (1.232 unit) dan 1.000 ton (207 unit). GLK tersebut tersebar di 17 provinsi, dengan jumlah KUD penerima 2.640 unit.
Total biaya dikeluarkan membangun GLK tersebut tercatat sebesar Rp 182, 548 miliar bersumber dari Departemen Keuangan dengan Mata Anggaran XVI, sedangkan pencairannya melalui BRI.
“Sebagai contoh, apabila ada lahan pertapakan yang akan dibeli untuk tempat GLK dibangun, maka BRI langsung membayarnya secara kontan. Tapi, BRI dalam hal ini tak lebih semacam kasir pembayar, sedang dananya milik Depkeu,” ujar Herman.
Namun begitu, GLK tidak gratis untuk KUD. Sarana usaha itu diangsur secara tanggung renteng melalui fee sebesar 2 rupiah yang didapat dari hasil transaksi penjualan beras dari KUD ke Bulog. Angsuran ini terkumpul di BRI dan Bank Bukopin, selaku bank yang ditunjuk menghipun dana fee.
“Artinya setiap kg beras yang disetor KUD ke Bulog di sana sudah ada komponen sebesar 2 rupiah untuk mengangsur kepemilikan GLK. Sayangnya catatan-catatan transaksi setoran beras ke Bulog inilah yang tidak jelas lagi dimana keberadaannya,” kata Herman yang mantan pegawai di Kementerian Koperasi dan UKM.
Namun demikian, menurut catatan yang ada di Kementerian Koperasi dan UKM, angsuran GLK yang sudah disetor KUD ke kas negara secara keseluruhan tercatat sebesar Rp 71,840 miliar. Rinciannya sebesar Rp63,481 miliar melalui BRI dan Rp8, 358 miliar di bank Bukopin.
“Itulah jumlah angsuran GLK-KUD melalui fee yang ada dalam catatan kami,” kata Abdul Kadir Damanik Deputi Bidang Restrukturisasi Usaha Kemenkop UKM, nara sumber yang hadir dalam acara tersebut.
Meskipun pembangunan GLK terkesan seperti dikreditkan ke KUD dan kemudian diangsur melalui fee, namun hingga sekarang tidak pernah terjadi akad kredit, baik antara Kementerian Keuangan dengan KUD, maupun antara BRI dengan KUD. Jadi prosesnya berjalan begitu saja sesuai kebijakan.
Berbeda Data
Berbeda dengan penjelasan Damanik, Ketua Umum Pusat KUD Jawa Timur Mardjito GA punya hitungan lain. Nilai angsuran GLK melalui fee pangan menurut data yang dimilikinya sudah mencapai Rp199 miliar. Jadi angsurannya sudah lebih besar dari biaya pembangunan GLK sebesar Rp182 miliar. Karenanya, tidak ada lagi alasan bagi pemerintah untuk tidak menyerahkan GLK menjadi milik seutuhnya KUD-KUD. Ia berharap pemerintah punya kebijakan khusus untuk menyelesaikan permasalahan GLK yang sudah 35 tahun lamanya.
Khusus Jawa Timur, Mardjito mengatakan jumlah KUD yang masih terdata sebanyak 2010 unit tersebar di 33 Kabupaten/Kota dengan nilai kredit total Rp 49,78 miliar. Kondisinya bervariasi, antara lain ada yang sudah bersertifikat, baik atas nama KUD maupun nama pengurus KUD, ada yang masih berupa girik, dan ada pula yang tidak ada suratnya sama sekali. Sebagian GLK masih beroperasi dengan baik dalam menopang usaha KUD, namun tidak sedikit yang rusak, tidak terawat bahkan ada yang sudah hilang.
Mardjito mengakui, sejumlah KUD memang agak teledor dalam mengurus surat tanah kepemilikan GLK ini, sehingga buntutnya kini menjadi sulit. Tidak saja karena banyak pengurus yang sudah meninggal dunia, tetapi pengurus saat ini pun tidak banyak mengetahui seajrah KUD. Terlebih dengan dicabutnya program pengadaan pangan melalui KUD. Sesi terakhir pertemuan tersebut Dekopinwil se Jawa bali mengeluarkan rekomendasi kepada pemerintah, ditujukan langsung kepada Presiden Joko Widodo. Mereka meminta agar pemerintah memberikan kepastian hukum terhadap kepemilikan GLK oleh KUD. Kita tunggu saja, apakah memang masih ada niat baik dan keberpihakan terhadap koperasi itu. (Irsyad Muchtar)