hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Fokus  

Mengapa Merger Kurang Diminati Koperasi ?

Tahun 2017 saya pernah menulis koperasi Indonesia mengalami sindrom small and medium scale trap (SMEST). Sekarang sudah empat tahun lewat, apakah masih sama atau sudah berubah? Mari kita lihat datanya (Kemenkop dan UKM), per Desember 2020 total aset dari 127.124 koperasi sebesar 221 triliun rupiah. Bila kita bagi rata hasilnya hanya di angka 1,7 miliar rupiah per koperasi.

Bagaimana dengan jumlah anggota dan omsetnya? Total anggota koperasi mencapai 25 juta orang, maka rata-ratanya hanya di angka 196 orang/koperasi. Dan dengan omset rata-rata 1,3 miliar rupiah. Perlu dicatat, data per 2020 sudah “bersih”, di mana Kemenkop lima tahun sebelumnya telah membubarkan 81 ribuan koperasi tidak aktif, sehingga angka itu bisa kita gunakan sebagai baseline penghitungan.

Hasilnya, tahun 2021 ini potretnya masih sama. Secara makro skala koperasi masih berada pada kecil. Kita bisa acu UU No.20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah sebagai basis kategorisasi. Usaha kecil yakni usaha perseorangan atau badan dengan volume usaha Rp 300 juta sampai Rp 2,5 miliar per tahun. Disusul kemudian usaha menengah 2,5 miliar sampai 50 miliar rupiah per tahun.

Itulah fakta yang tidak mengenakkan. Satu sisi kita memiliki jumlah badan hukum koperasi yang banyak, konon terbanyak di dunia. Di sisi lain, skalanya kecil-kecil sehingga tidak menjadi pelaku ekonomi yang berdampak sistemik secara nasional. Meski demikian, data itu juga mengisahkan bagaimana masyarakat atau komunitas masih giat mendirikan dan membangun koperasi-koperasi baru.

Restrukturisasi

Berbagai terobosan saat ini telah dilakukan Kemenkop untuk menaikkelaskan koperasi. Yang terbaru adalah dengan upaya modernisasi, salah satunya lewat restrukturisasi dengan menggalakkan merger dan amalgamasi. Restrukturisasi kelembagaan diharapkan dapat menaikkan skala serta manfaat yang tinggi bagi anggotanya. Sayangnya, sedikit koperasi yang mau melakukan merger atau amalgamasi itu. Boleh jadi mereka lihat biayanya terlalu besar, tak sebanding manfaatnya.

Organisasi akan selalu melihat cost and benefit ratio suatu pengambilan keputusan tertentu. Benefit lebih besar daripada biaya, cenderung akan dilakukan. Sebaliknya, bila biaya lebih besar daripada benefit, akan ditinggalkan. Hal itu sangat rasional, maka agar restrukturisasi kelembagaan itu bisa massif, kita harus bisa menyajikan timbangan cost and benefit yang menarik.

Lantas apa saja benefit serta biaya dari restrukturisasi kelembagaan?

BenefitCost
Peningkatan jangkauan skala penjualanPengambilan keputusan/ politik organisasi
Efisiensi operasional dan layananTanggungan beban/ hutang dari koperasi lain
Peningkatan sumber pendanaanAdministratif (pengurusan legalitas dan keuangan)
Efektivitas pengelolaan asetKesejaharan pendirian masing-masing koperasi
Peningkatan sumberdaya (termasuk SDM, keterampilan, dll)Restrukturisasi SDM (Pengurus, Pengawas, Pengelola)

Dari segi manfaat, restrukturisasi memberi manfaat besar bagi perusahaan. Hal ini terkonfirmasi dari berbagai riset dan kajian, baik di koperasi maupun perusahaan swasta lainnya. Tahun 2012 McKinsey, perusahaan konsultan internasional, merilis kajian tentang bagaimana koperasi tumbuh. Mereka mengambil 47 sampel dari Asia, Eropa dan Amerika dengan beragam sektor (asuransi, keuangan, ritel dan pertanian). Mereka bandingkan dengan 54 perusahaan publik di negara dan sektor yang sama. Mereka menemukan bahwa ada tiga pattern pertumbuhan koperasi: market-share, portfolio momentum dan merger and acquisition.  Dua yang pertama adalah cara organik, sedangkan yang terakhir adalah cara inorganik.

Temuannya, bahwa kinerja koperasi sebanding dengan perusahaan publik lainnya dalam tiga cara itu. Khusus pada restrukturisasi, yang sering digunakan adalah skema merger, terlihat pertumbuhannya juga signifikan meski di bawah perusahaan swasta, namun hanya terpaut 0.2 basis poin. Hal itu membuktikan bahwa restrukturisasi menjadi pilihan menarik bagi koperasi yang ingin tumbuh. Lantas mengapa merger tidak digandrungi koperasi di Indonesia?

Bottle neck

Bila kita tengok tabel di atas antara benefit dengan cost cukup imbang. Bahkan bisa dikatakan, di atas kertas, benefit dari merger itu sangat besar dibanding biayanya. Koperasi  hasil merger akan mengalami pertumbuhan signifikan sebab adanya efisiensi operasional, di mana jangkauan terhadap pasar/ anggota makin luas. Secara agregat, penurunan biaya operasional tersebut dapat meningkatkan keunggulan kompetitifnya. Biaya layanan menjadi lebih murah/ rendah yang pasti disukai anggota.

Termasuk juga dengan adanya merger, berbagai sumberdaya dapat disatukan. Selain aset, terpenting adalah SDM dengan segenap keahlian/ keterampilan yang mereka miliki. Sehingga koperasi akan mengalami transformasi budaya perusahaan, dari yang awalnya rendah menjadi lebih disiplin dalam eksekusi. Ini merupakan cara inorganik bagi koperasi meningkatkan standar operasi dibandingkan dengan cara organik: pencarian dan pelatihan SDM yang memakan waktu panjang.

Dengan serangkaian manfaat itu, pasti ada bottle neck yang menghambat koperasi sehingga jarang memilih opsi merger. Dari tabel di atas ada dua variabel non-bisnis yang kemungkinan besar menjadi kendala. Pertama adalah kesejarahan pendirian koperasi, yang mana hal ini bersifat melekat terutama pada para pendirinya. Kemelekatan ini dapat dipahami sebagai bagian dari suatu pencapain visi atau cita-cita besar mereka.

Kedua adalah faktor restrukturisasi SDM koperasi, baik level Pengurus, Pengawas dan juga para Pengelola. Bila direstrukturisasi, jabatan-jabatan tersebut berkurang. Seringkali jabatan di sini, dalam suasana kebatinan orang koperasi, bukan soal benefit material belaka. Melainkan pemilikan status sosial tertentu ketika mereka menjabat. Hal itu bisa mengonfirmasi bila banyak koperasi kecil dan kurang berkinerja, namun Pengurus tak juga lakukan regenerasi. Ini berhubungan dengan sebagian besar koperasi yang masih dikelola sebagai aktivitas sambilan (samben).

Mengapa pengambilan keputusan/ politik organisasi tidak saya masukkan sebagai bottle neck, sebab seringkali anggota justru berpikiran sederhana, alih-alih transaksional: sejauh koperasi memberi manfaat besar bagi dirinya, itu bagus. Artinya proposal akan mudah diterima bila manfaat pasca merger lebih besar daripada sebelumnya. Sebutlah penurunan biaya layanan, penurusan jasa, peningkatan kuota/ plafon, penambahan layanan dan sebagainya.

Skenario

Kita perlu menyiapkan sekenario yang apik untuk mendorong restrukturisasi menjadi pilihan rasional dan strategis. Pertama dengan skema di mana satu koperasi menengah atau besar melakukan pendekatan kepada beberapa koperasi kecil untuk merger. Itu bisa dinotasikan dengan M + S + S + S + n atau B + S + S + S + n. Di mana M (medium) adalah koperasi skala menengah, B (big) adalah koperasi skala besar dan S (small) adalah koperasi skala kecil.

Dalam formula itu koperasi skala menengah atau besar berperan sebagai lembaga jangkar dan pengungkit yang memiliki basis kelembagaan dan bisnis yang kokoh. Sehingga koperasi-koperasi kecil yang melebur akan terungkit operasional serta budaya perusahaannya. Bagi koperasi menengah/ besar, cara bacanya sama dengan memperluas pasar dengan investasi yang lebih rendah daripada cara organik. Sebab, mereka telah memiliki cabang-cabang yang telah menguasai medan/ teritorialnya.

Di atas kertas, skema itu lebih mungkin workable daripada skema S + S + S + n, yang mana mereka berada pada level, sumberdaya serta kultur yang sama. Pun skema M + M + M + n atau B + B + n, yang cenderung memiliki brand positioning kuat dengan ego kelembagaan yang sama-sama besar. Itu diperkuat dengan riset yang menemukan adanya capital constraint (kendala permodalan) menjadi sebab koperasi melakukan merger (Timothy J. Richards, 2003).

Kedua, yang mana dapat diperankan oleh Kemenkop, adalah melakukan sosialisasi intensif tentang manfaat restrukturisasi kepada koperasi. Dengan melihat bottle neck di atas, peran pemimpin (Pengurus dan Pengawas) menjadi krusial dalam mendorong agenda ini. Di mana berbagai isu dapat disolusikan secara win-win. Penting juga untuk memberi simulasi/ studi kasus bagaimana menjamin berbagai pihak memperoleh manfaat yang tinggi dari proses ini. Bagaimana pun peran Pengurus sangat menentukan ke arah mana koperasi akan dikembangkan.

Ketiga, Kemenkop dan Dinkop Kota/ Kab. dapat membuat pilot project merger dengan skema di atas. Bayangkan pemerintah sebagai mak comblang antara koperasi menengah/ besar dengan beberapa koperasi skala kecil di suatu wilayah tertentu. Tak perlu banyak-banyak, setiap Dinkop Kota/ Kab. cukup mendorong dua proyek merger dengan koperasi yang terlibat 5-10 koperasi per merger. Agar sinambung, agenda seperti itu dibuat multi years, sebab butuh waktu bagi koperasi untuk belajar dan mengambil keputusan.

Bila skenario-skenario di atas kita lakukan bersama, tahun-tahun mendatang merger akan menjadi hal yang lumrah. Maka pada 5-10 tahun berikutnya, kita berharap koperasi tak lagi mengalami  SMEST Syndrome. Jika setiap merger ada 10 koperasi yang melebur, maka jumlah koperasi akan turun menjadi memiliki 12 ribu, tapi dengan rata-rata aset 25 milyar/ koperasi. Itu artinya koperasi kita sudah naik skala dari kecil menjadi menengah. [Firdaus Putra HC]

pasang iklan di sini