hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Fokus  

Menanti Realisasi 5 Agenda Prioritas BUMN

Transformasi digital dan peningkatan kualitas tata kelola menjadi poin utama pembenahan BUMN di bawah kepemimpinan Erick Thohir.

Di tengah sorotan publik terhadap kinerja perusahaan BUMN dan praktik tata kelola yang memburuk, optimisme tetap dilambungkan. Ini terlihat dari lima agenda prioritas yang diusung.

Menteri BUMN Erick Thohir mengungkapkan, ada lima program strategis yang akan dijalankannya selama menjabat. Pertama, peran BUMN akan menjadi seimbang antara pelaksanaan bisnis dengan tanggung jawab sosial.

Rencananya, Kementerian BUMN akan melakukan pemetaan untuk menentukan klasifikasi BUMN mana yang akan sepenuhnya fokus kepada bisnis, kemudian yang berfokus untuk seimbang antara bisnis dan dampak sosial, serta yang konsentrasi dampak sosialnya lebih besar.

Menilik UU BUMN Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, ide tersebut bukanlah hal yang baru. Dalam UU itu, BUMN terdiri dari dua bentuk, yaitu badan usaha perseroan (Persero) dan badan usaha umum (Perum).

Persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% sahamnya dimiliki oleh Pemerintah dan tujuan utamanya mengejar keuntungan. Contoh BUMN ini adalah PT Bank Mandiri Tbk, PT Kimia Farma Tbk, dan lainnya.

Sementara Perum adalahBUMN yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham. Perum menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyedia barang dan jasa berkualitas dengan harga yang dapat dijangkau masyarakat menurut prinsip pengelolaan badan usaha yang sehat. Artinya, dampak sosialnya lebih besar dibandiung aspek profit. Contohnya adalah Perum Bulog.

Sekadar catatan, pada praktiknya Pemerintah tidak konsisten menjalankan klasterisasi BUMN tersebut. Ambil contoh, peralihan Pegadaian dari Perum menjadi Persero pada 1 April 2012 berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2011. Perubahan status ini tentunya akan mengubah model bisnis dan orientasi para direksi dalam menjalankan perusahaan.

Agenda kedua adalah perusahaan BUMN didorong untuk melakukan perubahan baik ekosistem, kolaborasi bisnis, dan juga kemitraannya. Ini untuk mengantisipasi tantangan zaman sebagai dampak dari disrupsi teknologi digital.

Agenda ketiga hampir mirip dengan kedua yaitu BUMN didorong untuk menjadi pemain yang bisa membuat terobosan di era teknologi. Dengan begitu, BUMN bukan hanya sekadar penonton tetapi menjadi market leader melalui transformasi digital.

Prioritas keempat, lanjut Erick, adalah menegaskan kembali nilai tata kelola korporasi yang baik dan bersih (good corporate governance/GCG). Ini untuk mencegah praktik korupsi di BUMN yang kini sedang ramai diperbincangkan serta menggenjot daya saing.

Dalam hal ini, sebenarnya sudah banyak perangkat GCG yang ada di BUMN. Kini tinggal bagaimana para pejabat Kementerian BUMN konsisten dengan agenda sendirinya untuk tidak melakukan intervensi kepada para direksi BUMN dalam mengambil keputusan. Biarkan direksi mengeksekusi kebijakan murni dengan pertimbangan bisnis alih-alih politis.

Agenda kelima, Kementerian BUMN akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Ini penting karena BUMN tidak saja akan bersaing dengan korporasi swasta lokal tetapi juga berkompetisi dengan perusahaan asing. Tanpa SDM yang bermutu, cita-cita BUMN sebagai perusahaan kelas dunia hanya omong kosong.

Kinerja BUMN

Perusahaan-perusahaan BUMN di sektor perbankan, telekomunikasi, dan konstruksi berkontribusi positif.  Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, sektor perbankan  masih mendominasi sebagai penyumbang dividen terbesar.

Dalam daftar 2.000 perusahaan publik global terbesar 2019 versi Forbes, setidaknya ada 4 BUMN yang terpilih. Pertama, adalah Bank BRI yang menempati posisi 363 dengan kapitalisasi pasar (market cap) sebesar USD38,8 miliar. Fokus bisnis UMKM menjadikan performa BRI tetap konsisten sebagai BUMN pendulang laba terbesar.

Pada 2019, laba BRI sebesar Rp34,41 triliun, tumbuh 6,15% dibanding 2018 senilai R 32,4 triliun. Perolehan laba ditopang oleh beberapa segmen, salah satunya penyaluran kredit yang mencapai Rp908,88 triliun. Pertumbuhan kredit BRI sebesar 8,4% itu diatas rata-rata industri yang naik 6,08%.

Posisi selanjutnya, adalah Bank Mandiri di peringkat 481. Bank Mandiri memiliki kapitalisasi pasar sebesar USD25,9 miliar. Pada 2019, laba bersih Bank Mandiri sebesar Rp27,5 triliun atau tumbuh 9,9% persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Pertumbuhan laba didukung pertumbuhan kredit sebesar 10,7% senilai Rp907,5 triliun. Pendapatan bunga bersih sebesar Rp59,4 triliun atau naik 8,8%. Selain itu, Bank Mandiri juga telah memperbaiki kualitas kredit yang disalurkan sehingga rasio NPL gross turun menjadi 2,33%.  Akibatnya, cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) ikut melandai sebesar 14,9% menjadi Rp12,1 triliun.

Tempat ketiga BUMN dengan market cap terbesar di Indonesia diisi oleh PT Telkom Indonesia yang menempati posisi 747. Nilai kapitalisasi pasar perusahaan telekomunikasi itu dilaporkan mencapai USD27,2 miliar. Posisi berikutnya adalah Bank BNI yang berada di peringkat 835 dengan nilai kapitalisasi pasar sebesar USD13,1 miliar.

Pada sisi lain, ada pula BUMN yang kinerjanya jeblok. Ambil contoh PT Krakatau Steel (KRAS) yang pendapatan per kuartal III 2019 menurun 17,32% menjadi USD1,05 miliar. KRAS juga mencatatkan kerugian sebesar USD211,91 juta, membengkak dari periode yang sama di tahun lalu yang sebesar USD37,38 juta. Terpuruknya KRAS tidak lepas dari banjir impor baja yang dipicu oleh kebijakan Pemerintah sendiri.

Selain itu masih ada  BUMN lain yang kinerja amsyong yaitu PT Dok Kodja Bahari, PT Sang Hyang Seri, PT PAL, PT Dirgantara Indonesia, PT Pertani, dan Perum Bulog. Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di akhir tahun lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani membeberkan penyebab anjloknya BUMN tersebut.

Kerugian Perum Bulog, dikarenakan terdapat kelebihan pengakuan pendapatan atas penyaluran Rastra. Seingga Bulog harus melakukan pembebanan koreksi pendapatan di tahun 2018. Sementara, kerugian yang terjadi pada PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani disebabkan karena inefisiensi bisnis, beban bunga, dan perubahan kebijakan pemerintah dalam mekanisme pengadaan benih.

Untuk kerugian PT Dirgantara karena adanya pembatalan kontrak dan order yang tidak mencapai target dan pada PT Dok Kodja Bahari merugi karena beban administrasi dan umum yang terlalu tinggi yakni 58% dari pendapatan.

Publik tentu menunggu sejauh mana tangan dingin Erick Thohir sebagai mantan CEO yang sudah malang melintang di pentas internasional dapat menyehatkan perusahaan-perusahaan BUMN tersebut. Akankah lebih baik atau justru lebih buruk dibanding menteri BUMN sebelumnya yang ditolak DPR? (Kur).

pasang iklan di sini