hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Fokus  

Menakar Dampak Kenaikan Suku Bunga Acuan

Meski bertujuan baik seperti mengendalikan inflasi dan menahan aliran modal keluar, namun peningkatan suku bunga acuan juga berisiko mengerek bunga kredit yang akan memberatkan nasabah dan dunia usaha.

Setelah 45 bulan terakhir Bank Sentral tidak menaikan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) atau suku bunga acuan akhirnya dalam Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 22-23 Agustus 2022, otoritas moneter itu menaikan  sebesar 25 bps menjadi 3,75%.

Dalam keterangan resminya, BI beralasan kenaikan suku bunga acuan sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) nonsubsidi dan inflasi volatile food.

“Kenaikan suku bunga acuan juga untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya di tengah ketidakpastian pasar keuangan global,” ujar Gubernur BI, Perry Warjiyo.

Dari laporan terbaru lembaga ekonomi internasional, diperkirakan perekonomian global diprediksi akan  tumbuh lebih rendah dari prakiraan sebelumnya, disertai dengan peningkatan risiko stagflasi dan masih tingginya ketidakpastian pasar keuanganIni terlihat dari pertumbuhan ekonomi berbagai negara, seperti Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, berisiko lebih rendah dari proyeksi sebelumnya.

Berbagai indikator dini Juli 2022 mengindikasikan berlangsungnya perlambatan konsumsi dan kinerja manufaktur di AS, Eropa, dan Tiongkok. Sementara itu, tekanan inflasi global masih tinggi seiring dengan ketegangan geopolitik dan kebijakan proteksionisme yang masih berlangsung, serta perbaikan gangguan rantai pasokan yang masih terbatas.  Hal ini mengakibatkan masih terbatasnya aliran modal asing dan menekan nilai tukar di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

BI mengklaim, kebijakan mengerek suku bunga acuan tepat di tengah tekanan inflasi yang meningkat. Data  Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, laju inflasi tahunan pada Juli 2022 tembus 4,94% secara year on year (YoY). Inflasi pangan jadi pemicu utama kenaikan, yang memberikan andil sebesar 1,92% terhadap inflasi tahunan. Adapun secara komponen, inflasi harga pangan bergejolak atau volatile foods per Juli 2022 mencapai 11,47%..

Perry Warjiyo menilai, angka inflasi pangan itu terlampau besar, sehingga mengancam langsung kesejahteraan rakyat. “Kita pecah kalau inflasi panga mustinya tidak boleh lebih dari 5%, paling tinggi 6%. Inflasi pangan itu masalah perut dan masalah rakyat,” ujar Perry.

BI juga yakin kenaikan suku bunga acuan itu tidak akan mengganggu kinerja industri perbankan nasional. Ini lantaran pada Juli 2022, rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masih tinggi mencapai 27,92%, sehingga tetap mendukung kemampuan perbankan dalam penyaluran kredit.

Semetera pertumbuhan kredit tercatat sebesar 10,71% (yoy), ditopang oleh peningkatan di seluruh jenis kredit dan pada sebagian besar sektor ekonomi.  Dari sisi permintaan, peningkatan intermediasi ditopang oleh pemulihan kinerja korporasi, tercermin dari tingkat penjualan dan belanja modal yang tetap tumbuh tinggi, terutama di sektor Pertanian, Pertambangan, Industri, dan Perdagangan. Konsumsi dan investasi rumah tangga yang membaik sejalan dengan meningkatnya mobilitas dan optimisme konsumen juga mendukung peningkatan permintaan kredit perbankan. Di segmen UMKM, pertumbuhan kredit UMKM tercatat sebesar 18,08%, terutama didukung oleh segmen mikro dan kecil.  

Menanggapi kenaikan suku bunga acuan tersebut, ekonom menyebut pasti akan berdampak baik positif maupun negatif dalam jangka pendek dan jangka menengah. Ekonom Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengatakan, kenaikan suku bunga acuan BI berpotensi membuat mata uang rupiah perkasa. Sebab, akan membuat modal asing masuk ke Indonesia karena investor akan tertarik dengan imbal hasil surat utang Indonesia yang menjadi menarik. “Itu bisa mencegah aliran modal keluar sehingga rupiahnya bisa lebih stabil,” ujar Bhima.

Dengan kenaikan suku bunga acuan ini maka surat utang Indonesia dapat mengecilkan selisih bunga atau imbal hasil dengan surat utang Amerika Serikat (AS). Imbal hasil dari surat utang kita dianggap semakin menarik karena mengikuti tingkat suku bunga di negara-negara maju yang cenderung naik.

Dapat positif lain yang diharapkan dari kenaikan suku bunga acuan itu adalah mengompensasi penurunan devisa hasil ekspor. Langkah BI itu dinilai sebagai bentik kewaspadaan terhadap pembalikan harga komoditas yang selama ini melambung tinggi dan menguntungkan Indonesia sebagai pengekspor komoditas pangan dan energi seperti CPO dan batu bara. Sebab, jika harga komoditas turun maka permintaan dari devisa hasil ekspor dapat tertekan sehingga aliran modal dapat keluar.

Tujuan pengendalian inflasi baru akan terasa jangka panjang. Sebab inflasi saat ini bukan disebabkan banyaknya uang beredar tetapi lebih disebabkan oleh kenaikan harga bahan makanan dan energi global. Sayangnya, pemerintah kurang gesit dalam mengantisipasi terhadap risiko kenaikan harga pangan ini.

Kenaikan suku bunga acuan juga akan memicu perbankan untuk mengerek suku bunga deposito. Ini tentu akan menguntungkan deposan terutama pemilik dana besar di bank. Selain itu, bank juga akan diuntungkan karena likuiditas aman. Namun demikian, jika sisi permintaan kredit mandek, ini akan memberi tekanan bagi bank karena biaya dana (cost of fund) pasti naik.  

Pada sisi lain, naiknya suku bunga acuan juga akan mengerek bunga kredit. Faktanya selama ini, perbankan lebih gercep menaikkan suku bunga pinjaman daripada suku bunga simpanan. Ini tentu akan memberatkan nasabah, karena angsurannya bakal naik. Apalagi mereka juga baru saja “bernafas” setelah pandemi.

Pertumbuhan kredit perbankan juga bisa terganggu karena kenaikan bunga kredit membuat nasabah menahan pinjaman dari perbankan. Pelaku usaha juga akan bersikap wait and see dalam pengajuan kredit daripada harus menanggung kerugian. Apalagi perbankan saat ini masih belum selesai dengan restrukturisasi pinjaman saat pandemi di mana masih ada debitur yang belum mampu melakukan pembayaran kredit meski sudah diberikan relaksasi. Ini berisiko meningkatkan kredit bermasalah. Pada akhirnya, jika risiko kredit naik dan fungsi intermediasi melambat akan terjadi perlambatan ekonomi. Belum lagi jika harga BBM jadi dinaikkan oleh pemerintah maka dipastikan laju pertumbuhan ekonomi akan terkoreksi. (Kur).

pasang iklan di sini