hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

MEMAHAMI GAGASAN “EKONOMI RAKYAT” BUNG HATTA

“…Bagi kita rakyat itu yang utama, rakyat umum yang mempunyai kedaulatan, kekuasaan, (souvereinitet). Karena rakyat itu jantung hati bangsa. Dan rakyat itulah yang menjadi ukuran tinggi rendah derajat kita. Dengan rakyat itu kita akan naik dan dengan rakyat kita akan turun. Hidup atau matinya Indonesia Merdeka, semuanya itu bergantung kepada semangat rakyat. Penganjur-penganjur dan golongan kaum terpelajar baru ada berarti, kalau di belakangnya ada rakyat yang sadar dan insyaf akan kedaulatan dirinya…”. (Mohammad Hatta, Daulat Ra’jat, 20 September 1931).

Pengantar

Kekaguman Prof Sritua Arief terhadap pemikiran ekonomi Bung Hatta dituangkan dalam bukunya berjudul “Bung Hatta Bapak Ekonomi Kerakyatan Indonesia”, diterbitkan oleh Universitas Muhammadiyah Press, Surakarta, 2002. Pendapat guru besar ekonomi di berbagai perguruan tinggi itu tidak bisa diingkari karena istilah “ekonomi rakyat” dan “perekonomian rakyat” memang diciptakan oleh Bung Hatta. Sekadar merujuk pemikiran yang amat pro rakyat tersebut, kiranya dapat kita telusuri melalui karya-karya Bung Hatta yang ditulis di majalah Daulat Ra’jat (1931-1934), khusus menyebut istilah “ekonomi rakyat” meliputi:

“Pengaroeh Koloniaal Kapitaal di Indonesia” (untuk pertamakali digunakan istilah ekonomi rakyat (Daulat Ra’jat, 20 November 1931); “Pendirian Kita” (Daulat Ra’jat, 10 September 1932); “Krisis Dunia dan Nasib Ra’jat Indonesia” (Daulat Ra’jat, 20 September 1932); 
“Ekonomi Ra’jat” (Daulat Ra’jat, 20 November 1933);   “Ekonomi Ra’jat dalam Bahaja” (Daulat Ra’jat, 10 Juni 1934) 


Di samping tulisan-tulisan yang tersebar antara 1931 dan 1934, Bung Hatta juga menulis banyak mengenai ekonomi rakyat dan kesengsaraan rakyat di bawah Cultuurstelsel (Tanam Paksa) sebagai eksploitasi negara (staats exploitatie). Kejahatan ekonomi terhadap rakyat berkelanjutan oleh cengkeraman particulier initiatief atau kapitalisme modern. Digambarkan kejamnya liberalisme ekonomi di zaman penjajahan terhadap perekonomian rakyat. Perekonomian koloniaal kapitaal (kapitalisme kolonial) ini bermula dengan perompakan-perompakan oleh VOC, berlakunya Cultuurstelsel van den Bosch dan pelaksanaan UU Agraria 1870 oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Hatta menggambarkan ekonomi rakyat sebagai kegiatan-kegiatan kehidupan ekonominya anak-negeri (Inlander, pribumi) yang makin tergusur-gusur dan terlunta-lunta oleh kebengisan sistem penjajahan dan malaise ekonomi tahun 1930-an.

Perlu dicatat konsistensi Bung Hatta ketika merumuskan Pasal 33 UUD 1945, ketiga ayatnya sangat people-based (berdasar kemampuan dan kapasitas rakyat) dan people-centered (berdasar kepentingan rakyat). Tidak heran ketika Bung Hatta memimpin Panitia Pemikir Siasat Ekonomi (1947) ekonomi rakyat dan kepentingan rakyat mendapat prioritas. Kemudian ketika Bung Hatta menjabat sebagai Perdana Menteri (1949), secara eksplisit Program Kabinet-nya (butir 4) menegaskan untuk “…Berusaha memperbaiki ekonomi rakyat…”, dst.

Paham Strukturalisme Ekonomi

Bung Hatta adalah seorang tokoh ekonomi berpaham strukturalisme, oleh karena itu beliau merumuskan makna “demokrasi ekonomi” dalam UUD 1945. Ditegaskan dalam paham demokrasi ekonomi, a.l. bahwa “kemakmuran masyarakat lebih utama dari kemakmuran orang- seorang.

Strukturalisme adalah paham yang menolak ketimpangan-ketimpangan struktural sebagai sumber ketidakadilan sosial-ekonomi. Kaum strukturalis mengungkap dan mengusut ketimpangan-ketimpangan struktural yang berkaitan dengan pemusatan penguasaan dan pemilikan aset ekonomi, ketimpangan distribusi pendapatan, produktivitas dan kesempatan ekonomi. Demikian pula Bung Hatta.

Dari pandangan ekonomi strukturalistik ini maka tidak perlu ada ambivalensi konvensional tentang trade-off antara pertumbuhan dan pemerataan, karena membangun ekonomi rakyat, langsung berarti pula terjadi pertumbuhan di sektor ekonomi rakyat itu, yang artinya pemerataan terjadi sekaligus dengan pertumbuhan. Pandangan bahwa pemerataan atau perbaikan kesenjangan ekonomi harus menunggu berjalannya trickle-down mechanism yang memberi rembesan ke bawah adalah kepada rakyat suatu bualan yang tidak masuk akal. Lagi pula menganggap rakyat yang berada di bawah hanya berhak rembesan dari atas, yang tak lain merupakan suatu moral crime.

Saya sempat menyampaikan kepada Presiden Soeharto bahwa Presiden Korea Selatan, Park Chung-Hee, telah melaksanakan Saemaul Undong (pembangunan perdesaan). Kemudian Presiden Soeharto juga mengeluarkan Inpres Desa Tertinggal (IDT) sebagai strategi people-based dan people-centered. Sementara kampus-kampus kita belum berani “menceraikan” diri dari mindset “liberalisme” yang mereka peroleh dari ruang kelas kampus-kampus mereka.

Ekonom Indonesia masih belum terpanggil untuk mencari jalan baru dan melakukan perubahan paradigmatik ke arah pembangunan yang people-centered dan resources-based, yang sejak tahun 1970-an telah mulai dilaksanakan di banyak negara berkembang dengan berhasil, yang lebih menjamin rakyat dan membentuk nilai-tambah ekonomi di dalam- negeri serta lebih efektif memperluas pasaran dalam-negeri.

Apa Itu Ekonomi Rakyat?

Yang saya ketahui tidak ada mata kuliah Ekonomi Rakyat di kampus-kampus kita. Bahkan ada seorang guru besar mengatakan bahwa ekonomi ya ekonomi, tak ada itu ekonomi rakyat. Barangkali juga banyak yang berpikiran demikian.

Ekonomi Rakyat atau grass-roots economy adalah derivat dari Doktrin Kerakyatan Indonesia. Doktrin Kerakyatan adalah doktrin berdasarkan gospel “Tahta untuk Rakyat”. Ekonomi rakyat adalah wujud dari ekonomi berbasis rakyat (people-based economy) dan ekonomi terpusat pada kepentingan rakyat (people-centered economy) yang merupakan inti dari Pasal 33 UUD 1945, terutama ayat (2) dan ayat (3).

Ekonomi rakyat adalah riil dan konkret. Oleh karena itu lebih tepat apabila kita meninjaunya dari segi kenyataan yang ada secara sederhana, melalui common sense, yaitu bahwa kita memiliki pertanian rakyat, perkebunan rakyat, perikanan rakyat, tambak rakyat, pelayaran rakyat, kerajinan rakyat, industri rakyat, penggalian rakyat, pertambangan rakyat, pertukangan rakyat, bahkan yang teramat penting bagi kehidupan sehari-hari adalah bahwa kita memiliki dan hidup dari pasar-pasar rakyat. Kita kenal pula ekonomi rakyat yang berbasis komoditi seperti kopra rakyat, kopi rakyat, karet rakyat, cengkeh rakyat, tembakau rakyat, dan seterusnya, yang menjadi penyangga/sokoguru bagi industri prosesing di atasnya.

Keberadaan ekonomi rakyat justru tidak boleh dilihat dari segi pemihakan semata-mata, apalagi dari segi caritas-filantropis. Ekonomi rakyat justru mempunyai peran strategis di dalam sistem dan struktur ekonomi.

Dengan peran strategisnya ekonomi rakyat memberikan kontribusi sangat besar terhadap kehidupan ekonomi, baik nasional maupun daerah. Melaksanakan pembangunan ekonomi rakyat pada hakikatnya melaksanakan Doktrin Kebangsaan dan Doktrin Kerakyatan. 

Penulis adalah Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia

pasang iklan di sini