
Sebagai penghasil nikel nomor 1 di dunia, penghasil timah nomor 1, penghasil tembaga nomor 2, pemilik tambang emas terbesar nomor 2, penghasil batubara nomor 3. Jangan lupa, produsen CPO/kelapa sawit nomor 1, karet nomor 2, udang nomor 2, kayu nomor 5, masa iya negeri Zamrud Khatulistiwa ini hanya mampu menghimpun 17,1% (Rp513,6 triliun) dari volume APBN 2025 sebesar Rp3.005,1 triliun? Artinya, 82,9% (Rp 2.490,9 triliun) denyut nadi negeri ini bergantung pada pajak. Masa iya?
Dari tambang emas saja, selain Freeport yang masyhur, negeri ini punya 5 gold mine project yang dahsyat: Gosowong di Halmahera, Pani di Gorontalo, Toka Tindung di Minahasa Utara, Martabe di Tapanli Selatan, Tujuh Bukit di Bangyuwangi. Naasnya pembodohan massal digelontorkan secara TSM, terstruktur, sistemik dan massif, sejak 2022—ketika si pendusta nyebut 70% hasil Freeport masuk APBN, yang diklarifikasi Menkeu Purbaya: hanya 0,03% sesuai kontrak.
Struktur dominasi pajak (80-20) ini konsisten terlihat dalam realisasi APBN. Hingga April 2025, realisasi pendapatan negara menunjukkan komposisi serupa dengan sekitar 68,7% dari total berasal dari pajak, 12,4% dari kepabeanan dan cukai, serta 18,9% dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Data Kemenkeu menunjukkan, industri pengolahan dan sektor perdagangan merupakan dua penyumbang terbesar penerimaan pajak, diikuti sektor jasa keuangan dan asuransi.
Ketika kita sangat bergantung pada penerimaan pajak, sederet dampak terasa: meningkatnya ketimpangan ekonomi (bahkan ditandai penyusutan populasi kelas menengah), mendorong perilaku penghindaran pajak, terhambatnya pertumbuhan usaha, dan munculnya tekanan pada stabilitas fiskal itu sendiri. Era itu telah kita lalui selama 14 tahun Menkeu Sri Mulyani, hingga digantikan Purbaya Yudhi Sadewa, 8 September 2025.
Sistem pajak yang tidak adil hanya menguntungkan wajib pajak kaya (konglomerat dan perusahaan besar) yang memiliki akses pada tax planning dan celah hukum (tax avoidance), sedangkan pajak konsumsi (seperti PPN) justru memberatkan masyarakat berpenghasilan rendah. Ketidakpercayaan pada pemerintah atau anggapan sistem tidak adil mendorong pelanggaran ilegal (tax evasion) seperti menyembunyikan pendapatan.
Mencapai sistem perpajakan yang ideal merupakan proses penuh tantangan. Pemerintah seringkali menghadapi dilema antara mengejar efisiensi ekonomi, mewujudkan keadilan (baik vertikal maupun horizontal), dan memaksimalkan kesejahteraan rakyat. Kebijakan yang dirancang untuk menyejahterakan masyarakat, seperti insentif pajak, terkadang justru secara tidak sengaja melanggar prinsip keadilan.
Pertanyaan terpenting di titik ini: seberapa cepat kita bisa keluar dari income middle trap? Netizen punya moto: Belanda tidak punya gunung, Swiss tidak punya pantai dan lautan, Jepang miskin sumber daya dan mineral, Singapura tidak punya sawah dan Arab Saudi tidak punya hutan, sedangkan kita punya segalanya; tapi kenapa negara mereka jauh lebih makmur ketimbang kita?●
Salam,
Irsyad Muchtar







