Mencoba, gagal, lalu bangkit. Itulah yang yang dilakukan Abdul Azis Adam Maulida. Berawal dengan niat jadi peternak belut. Garis tangan menuntunnya sukses jadi pembudidaya cacing tanah, dengan omzet Rp300 juta/bulan.
KELUAR dari pekerjaannya di sebuah perusahaan kimia tahun 2010, ia sempat nganggur setahun. Sarjana teknik industri ini lalu belajar cara membudidayakan belut. Di sinilah dia pertama kali kenal cacing. “Cacing adalah makanan terbaik belut,” kata Abdul Azis Adam Maulida (41). Segampang itu? Nyatanya tidak. Beternak belut nyatanya tak semudah yang dia bayangkan.
Warga Sukun, Kota Malang, itu pun banting setir. Ia masuk ke ternak sapi, dengan menggandeng peternak sebagai mitra kerja. Langkah di jalur ini pun tak mulus. Meski bergonta-ganti jenis usaha, ada satu yang dipertahankan Adam: budidaya cacing. Harapannya, bila suatu saat membuka usaha yang butuh cacing sebagai salah satu pakannya, ia tak lagi kesulitan.
“Prosesnya mudah, ramah lingkungan, merawatnya gampang, makanannya pun tak perlu beli, cukup limbah/sampah dapur dihaluskan,” katanya. Makanan dasar cacing adalah semua jenis limbah nonkimia. Artinya, keberadaan cacing sangat dibutuhkan bagi keseimbangan alam. Yang istimewa, meski cacing mmakan limbah atau kotoran, dagingnya justru sangat higienis.
Adam mengembangkan budi daya cacing jenis Lumbricus rubelus tahun 2013. Cukup membuat kandang sederhana. Siklus masa panen cacing juga pendek: sebulan. Ilmu beternak cacing dia peroleh sambil jalan, belajar dari banyak orang. Cacing hasil ternaknya dia pasarkan ke peternak ikan dan udang di kawasan Banyuwangi hingga Tuban (Jawa Timur). Kali ini, pilihan Adam tepat. Usahanya berkembang baik. Tahun 2014, dia mendirikan CV Rumah Alam Jaya Organik.
Dituntun nasib baik, Adam bertemu Prof. Karsono dari Madiun, seorang peneliti yang anggota Komite Dewan Pupuk Nasional. Dari Prof. Karsono inilah Adam tahu bahwa jika cacing diolah menjadi bentuk cair atau jus, juga jadi bahan kebutuhan industri mulai industri farmasi, pupuk tanaman organik sampai bahan alat kecantikan.
Berkat info itu, dia mengurangi pasokan cacing untuk budidaya ikan. “Dengan sedikit diolah menjadi jus atau difermentasikan dalam waktu tertentu, harga jualnya makin mahal. Saya beli cacing dari masyarakat Rp25 ribu/kg. Untuk tambahan modal, saya mendapat bantuan pinjaman modal dari Bank BRI.
Ditopang 200-an mitra aktif yang tersebar di Jawa Timur, plus 20 karyawan di lokasi pembudidayaan seluas 3.000 m², omzetnya sekitar Rp 300 juta/bulan, dengan laba bersih 10 persen. “Sebulan saya menjual rata-rata 15 ton, dari budidaya sendiri 3 ton, selebihnya pasokan dari masyarakat mitra kerja,” katanya. Adam berbagi tips, “Tidak boleh berhenti belajar; bisa bekerja team work, karena kita pasti punya keterbatasan; dan harus menjalin relasi dengan banyak kalangan,” katanya.
Kini, perusahaannya meneken kerja sama dengan sebuah korporasi yang memiliki cabang di belasan negara di Asia. Dalam sebulan, Adam memasok sekitar 60 ton jus cacing ke Myanmar, Malaysia, India, Nepal, Vietnam, Tiongkok, Bangkok, dan negara lainnya.●(Nay)