checkup-dokter keuangan
checkup-dokter keuangan
octa vaganza

Lewat Alya, Tiwi Lestarikan Batik Bunga Cengkeh Trenggalek

Tiwi Pontjowati mempelrihatkan batik bunga cengkeh dari Trenggalek-Foto: Irvan Sjafari.

TANGSEL—Seperti halnya sejumlah daerah di Pulau Jawa lainnya, Kabupaten Trenggalek juga punya budaya membatik yang sudah dilakukan secara turun temurun oleh sebagai mata pencaharian. Ciri khas batik di kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Timur, yaitu dominasi motif bunga cengkeh, kemudian serta bunga kapas dan batang daun.

Berdasarkan sejarah sekitar 1970-an kabupaten ini sebetulnya sudah mempunyai sentra batik di wilayah Kelurahaan Sumbergedong dan Kelurahaan Surondokan.

Para perajin mengerjakan batik secara berkelompok dan sudah ada paguyuban batik. Sayangnya, pada 1980 -an pengaruh budaya Barat mengubah selera masyarakat terhadap busana. Sejumlah perajin batik gulung tikur dibuatnya.

Tergerak untuk melestarikan batik di daerahnya, Tiwi Ponjowati, 50 tahun, seorang ibu rumah tangga mengikuti pelatihan pembuatan batik di Yogyakarta pada 2016.

Sekembalinya ke Trenggalek tamatan Fakultas Hukum, Universitas Islam Kediri  memutuskan untuk berwirausaha membatik dengan modal Rp100 juta dan dua puluh karyawan.  Para karyawan umumnya direkrut dari ibu rumah tangga.

Perempuan kelahiran 27 September 1968 ini sudah punya modal dengan meneruskan usaha toko milik keluarganya, yang juga bergerak di bidang pakaian.   Dia juga  pernah berbisnis busana muslimah.

Pengalaman di dunia wirausaha membuat ibu dari empat anak ini mampu mengembangkan UMKM Batik dengan Brand Alya Batik. Dia punya filosofi dari nama yang katanya diambil dari Bahasa Arab berarti gunung, rezeki seperti gunung.

Dalam dua tahun Batik Alya meningkat produksinya. Tiwi memusatkan pada batik “handmade” ditulis dengan bahan warna alami yang pengerjaannya membutuhkan waktu hingga lima hari. Bahannya diambil dari tanaman, seperti daun-daunan dan akar.

“Bahan-bahan itu direbus dan diendapkan. Risiko kerusakannya tinggi,  dari lima yang dibuat, dua di antaranya rusak hingga akhirnya malah terbuang,” tutur Tiwi kepada Peluang di sebuah pameran di ICE, Serpong, Tangerang Selatan, Jumat (6/7/2018).

Dia juga menyebut, selain batik tulis, dia juga membuat batik cap. Namun untuk yang kedua hanya dibuat kalah ada pesanan.  Setiap bulan, Alya Batik membuat 60 hingga 70 helai batik tulis dengan 40 tenaga kerja pada 2018 ini.

Sehelai batik ini dibandoll dengan harga Rp 200 ribu hingga Rp1,5 juta per helai. Batik cap yang dibuat dari bahan kimia sintetis diperuntukkan segmen menengah ke bawah dan batik tulis untuk menengah atas.

“Saya juga ingin menunjukkan jadi perempuan harus mandiri, tidak bergantung pada suami. Kalau terjadi sesuatu pada suami hingga tidak bisa memberi nafkah, saya sudah punya bekal.  Alhamdullilah saya juga bisa memberi nafkah bagi orang lain, ” tutup Tiwi lagi (Irvan Sjafari).