
Capaian Kinerja Ekonomi versi Pemerintah
- Pertumbuhan ekonomi stabil tinggi di 5 persen, salah satu tertinggi di G20
- Inflasi terjaga di 2 persen, salah satu terendah di G20
- Defisit APBN terjaga di bawah batas 3 persen dari PDB, salah satu terendah di G20
- Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tembus 8.000, tertinggi sepanjang sejarah
- Angka kemiskinan turun ke 8,47 persen, terendah sepanjang sejarah
- Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) turun ke 4,76 persen, terendah sejak krisis 1998
- Untuk pertama kalinya, terbentuk sistim Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) untuk tingkatkan ketepatan bantuan sosial.
Masalah Ekonomi yang dihadapi Rakyat
- Pengangguran usia muda dan Gen Z
- Ketimpangan ekonomi melebar
- Daya beli menurun
- Beban pajak dan pungutan tinggi
- Krisis iklim dan pangan — cuaca ekstrem memukul produktivitas petani dan nelayan; distribusi pangan terganggu, harga naik
- Sektor pariwisata lesu
- Mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan
- Proyek infrastruktur besar (PSN) belum memberi multiplier effect signifikan ke ekonomi daerah, terutama di sektor riil dan lapangan kerja.
- Penegakan hukum ekonomi lemah — maraknya praktik rente, monopoli, dan korupsi dalam pengadaan publik memperburuk iklim usaha dan kepercayaan investor.
20 Oktober 2025, Genap setahun Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI. Apa saja catatan penting di bidang ekonomi dari kinerja pemerintahan Presiden-Wapres yang memenangi Pemilu 2024 dengan perolehan suara 58,6% itu?
Tentu banyak catatan tentang pencapaian. Yang disampaikan pemerintah adalah pertumbuhan ekonomi yang stabil tinggi di 5%, ini menjadi salah satu yang tertinggi di G20. Inflasi terjaga di 2%, juga menjadi salah satu yang terendah di G20. Defisit APBN juga terjaga di bawah batas 3% dari PDB, salah satu terendah di G20. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tembus 8.000, tertinggi sepanjang Sejarah. Angka kemiskinan turun ke 8,47%, terendah sepanjang Sejarah. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) turun ke 4,76%, terendah sejak krisis 1998. Dan untuk pertama kalinya, terbentuk sistim Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) untuk meningkatkan ketepatan bantuan sosial. Masih ada lagi inisiatif pembentukan sovereign wealth fund BP Danantara serta pembentukan koperasi desa.
Itu di atas kertas. Realitasnya?
Kelas menengah sampai hari ini menjadi segmen yang paling sulit. Daya beli masyarakat menurun, karena inflasi pangan belum diimbangi kenaikan pendapatan. Tantangan ekonomi nasional semakin terasa di lapisan bawah masyarakat. Pengangguran usia muda dan Gen Z terus meningkat, terutama akibat lambatnya penciptaan lapangan kerja baru dan ketidaksesuaian keterampilan dengan kebutuhan industri digital. Ketimpangan ekonomi melebar, dengan kelompok 20% teratas menguasai sebagian besar pendapatan nasional, sementara kelas menengah ke bawah makin tertekan oleh kenaikan harga pangan dan energi.
Di sisi lain, beban pajak dan pungutan dianggap semakin berat bagi UMKM dan pekerja informal, sementara bantuan sosial belum sepenuhnya tepat sasaran. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang jadi andalan pemerintah masih carut marut saja pelaksanaannya. Jangan dulu bicara soal menggerakkan ekonomi rakyat, soal keracunan MBG saja masih terus terjadi.
Transformasi digital memunculkan disrupsi dan ancaman otomatisasi di sektor padat karya, membuat UMKM tradisional sulit bersaing. Sementara itu, krisis iklim menekan produktivitas pertanian dan perikanan, menyebabkan harga pangan naik. Sektor pariwisata juga masih lesu, dengan pemulihan yang timpang antarwilayah. Belum lagi persoalan beban biaya pendidikan dan kesehatan meningkat, mempersempit ruang konsumsi rumah tangga. Di sisi lain, proyek infrastruktur besar belum memberi efek berganda signifikan terhadap ekonomi daerah dan penciptaan kerja. Masalah struktural seperti praktik rente, monopoli, dan lemahnya penegakan hukum ekonomi turut memperburuk iklim usaha dan mengikis kepercayaan publik.
Tetap Optimistis
Purbaya Yudhi Sadewa yang baru saja ditunjuk menjadi Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani pada 8 September lalu menyampaikan catatan pencapaian Pemerintahan Prabowo di bidang ekonomi dan keuangan.
Secara umum, Purbaya memaparkan bahwa saat ini fundamental ekonomi relative terus menguat, stabilitas makroekonomi terjaga, dan kesejahteraan meningkat menjadi catatan penting selama periode tersebut.
Pembantu Presiden ini mengungkapkan bahwa pada Triwulan II-2025, pertumbuhan ekonomi Indonesia stabil tinggi di 5,12%, salah satu tertinggi di antara negara G20. Dia optimistis kinerja ekonomi nasional akan terus membaik hingga akhir tahun.
“Jadi ini semua sebagian angka pertumbuhan triwulan kedua. Saya yakin triwulan ketiga akan turun sedikit, tapi enggak apa-apa. Triwulan keempat tumbuhnya akan lebih cepat,” ujarnya pada Kamis lalu (16/10).
Pencapaian positif menurut dia juga bisa dilhat dari angka Inflasi yang terjaga rendah di 2,65% (yoy) dengan defisit APBN hanya di 1,56% dari PDB. Masing-masing termasuk yang terendah di antara negara G20. Menurut dia, pencapaian ini tidak lepas dari strategi pengelolaan kas negara melalui penempatan Rp200 Triliun di Bank Himbara yang bertujuan produktif mendukung aktivitas ekonomi.
“Dampaknya ke perekonomian beda. Karena tadi di sistem yang tadinya kering mulai ada uang yang cukup, anda hajar lebih jauh. Itu yang menimbulkan optimisme di ekonomi,” ujarnya.
Dari sisi perdagangan,Purbaya melihat Indonesia juga berhasil meningkatkan kinerja dengan mencatatkan surplus neraca perdagangan selama 64 bulan berturut-turut, dengan pertumbuhan 45,8% sepanjang Januari hingga September 2025.
Sementara indikator kesejahteraan masyarakat menurut dia juga menunjukkan perbaikan. Tingkat pengangguran turun menjadi 4,76% pada Februari 2025, terendah sejak krisis 1998. Sementara angka kemiskinan turun menjadi 8,47% pada Maret 2025, yang merupakan capaian terendah sepanjang sejarah.
Demikian pula, pasar modal juga merespons positif. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatat rekor tertinggi sepanjang masa di level 8.257,86 pada 10 Oktober 2025. Menurut Purbaya, hal ini mencerminkan keyakinan pelaku pasar terhadap arah kebijakan ekonomi pemerintah.
“Walaupun sekarang ada koreksi naik sebentar-sebentar ya, tapi yang perlu diperhatikan adalah perbaikan ekonomi yang akan kita ciptakan ke depan, bukan cuman sesaat,” ujarnya.
Catatan Kritis
Sejumlah Lembaga studi memberikan catatan kritis atas pencapaian pemerintahan Prabowo Gibran di bidang ekonomi. Prasasti Center for Policy Studies adalah salah satunya.
Menurut Piter Abdullah, Direktur Riset Prasasti Center for Policy Studies, pada tahun belum tampak gebrakan besar karena sebagian program—seperti food estate, pembangunan rumah rakyat, serta lanjutan hilirisasi minerba—masih berada di tahap perencanaan dan penyesuaian fiskal. “Namun stabilitas ekonomi berhasil dijaga. Pemerintah mampu menahan dampak eksternal, menjaga inflasi, dan mengarahkan belanja negara agar tetap produktif,” ujarnya.
Dari sisi makro, ekonomi Indonesia tumbuh sekitar 5% sepanjang 2025. Inflasi terkendali di bawah 3%, sementara nilai tukar rupiah sempat tertekan oleh penguatan dolar AS. Defisit APBN juga masih aman di kisaran 2,3% terhadap PDB. Pemerintah dinilai cukup disiplin menjaga ruang fiskal, sembari menyalurkan subsidi dan bansos untuk menopang daya beli masyarakat.
Ekonom Prasasti Gundy Cahyadi menilai tantangan utama bukan pada stabilitas, melainkan pada percepatan investasi dan penciptaan lapangan kerja. Reformasi struktural, penyederhanaan izin, dan kepastian hukum disebut penting agar target pertumbuhan 6% dalam lima tahun mendatang realistis tercapai. “Transformasi ekonomi tidak cukup hanya hilirisasi tambang. Pemerintah perlu memperluas ke sektor pertanian, perikanan, dan manufaktur berbasis teknologi,” tegasnya.
Gundy juga menekankan perlunya arah baru dalam pembiayaan pembangunan, agar tidak sepenuhnya bergantung pada APBN. Optimalisasi peran BUMN, sektor swasta, serta kemitraan publik-swasta (PPP) menjadi solusi mempercepat proyek strategis dan infrastruktur hijau.
Lembaga riset CELIOS juga menilai kinerja ekonomi masih jauh dari harapan publik. Pertumbuhan ekonomi memang stabil di kisaran 5%, namun belum cukup menciptakan efek kesejahteraan. Daya beli masyarakat menurun akibat inflasi pangan dan beban biaya hidup yang belum tertangani optimal. Sebanyak 84% responden survei CELIOS menilai pajak dan pungutan makin berat, sementara 53% menilai stimulus dan bantuan sosial belum tepat sasaran. Kebijakan hilirisasi juga dinilai belum memberi manfaat nyata bagi lapangan kerja dan UMKM, sedangkan sektor industri dan ekspor masih lesu. Di sisi fiskal, belanja pemerintah belum cukup produktif, dan koordinasi lintas kementerian dianggap lemah. CELIOS menyoroti perlunya perbaikan tata kelola fiskal, reformasi subsidi, serta penataan ulang prioritas pembangunan agar lebih menyentuh kebutuhan dasar masyarakat dan memperkuat fondasi ekonomi nasional.








