Sampai akhir 2017, banyak bank belum mampu memenuhi target pencapaian kredit bagi UMKM. Di antara penyebabnya, sanksi hukum untuk bank-bank yang tidak mematuhi ketentuan kelewat ringan. Skenario teralokasinya 20% dana untuk kredit UMKM bakal sulit menjadi kenyataan.
KEBERADAAN 59 juta unit UMKM (usaha mikro kecil dan menengah) menjanjikan keuntungan yang potensial jika bank mampu menggarapnya. Khususnya melalui jalinan persinggungan, dengan menjauhkan sikap kaku karena regulasi yang dianggap baku. Toh mereka terbukti tangguh dan tahan banting. Sebagian usaha papan bawah ini terbukti mampu bertahan dalam goncangan hebat seperti krisis ekonomi yang menggelembung jadi krisis multidimensi pada 1997-1998.
Berkecimpung di ajang ekonomi akar rumput, mereka dihadang sejumlah tantangan. Satu di antara beberapa persoalan klasik itu terkait dengan suntikan (penambahan) modal usaha. Ini biasanya diperlukan untuk secara perlahan meningkatkan diri dari level kecil menuju strata menengah. Sayangnya, saat berupaya mendapatkan kredit perbankan, mereka terhadang stigma unbankable. Tidak memenuhi persyaratan perbankan.
Kendala UMKM paling umum adalah rendahnya kemampuan menyusun laporan keuangan. Padahal, perbankan amat ketat menerapkan syarat ini. Untuk bisa menyalurkan kredit, bank memerlukan laporan keuangan standar dari para nasabahnya. Berdasarkan laporan keuangan itulah bank dapat mengetahui pendapatan/keuntungan UMKM dalam suatu periode. Data tersebut sekaligus jadi patokan dalam mengukur kelayakan plafon kredit untuk UMKM. Juga sumber-sumber lain yang dapat digunakan untuk membayar pinjaman (dan bunga).
Pada hakikatnya, regulasi cukup meng-cover mereka. Dalam UU. No. 20/ 2008 tentang UMKM, dinyatakan kewajiban kalangan perbankan menyalurkan kredit kepada para pelaku usaha tersebut. Dalam Pasal 7 Ayat 2 disebutkan: bahwa dunia usaha dan masyarakat berperan serta secara aktif membantu menumbuhkan iklim usaha, sebagaimana dimaksud pada Ayat 1. Dalam kaitan ini, bank merupakan salah satu bagian dari dunia usaha.
Ayat 1 Pasal 7 itu menyatakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah menumbuhkan iklim usaha dengan menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang meliputi aspek-aspek pendanaan, sarana dan prasarana, informasi usaha, kemitraan, dan perizinan usaha. Termasuk ke dalamnya, kesempatan berusaha, promosi dagang; dan dukungan kelembagaan.
Namun, UU ini memang tidak bicara bentuk sanksi apa pun kepada para pihak—khususnya perbankan—yang tidak membantu UMKM memperoleh pendanaan. Jika di sana sini terjadi penerapan sanksi hukum, mudah diduga bahwa sanksi tersebut dikenakan kepada kalangan nakal. Pelaku seperti ini mengatasnamakan UMKM dan memanipulasinya untuk kepentingan pribadi alias ngemplang dana.
Sanksi Kelewat Ringan
Sebagai regulator perbankan, pihak Bank Indonesia (BI) telah menerbitkan ketentuan yang pro-UMKM. Yakni Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 17/12/PBI/2015 tentang Perubahan atas PBI No. 14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
Dalam aturan ini dinyatakan bank wajib memberikan kredit atau pembiayaan UMKM (Pasal 2 ayat 1). Ayat selanjutnya menyebutkan, jumlah kredit atau pembiayaan UMKM paling rendah 20%, dihitung berdasarkan rasio kredit atau pembiayaannya terhadap total kredit atau pembiayaan. Ketentuan ini sudah diberlakukan BI secara bertahap sejak 2013. Tidak berlaku serta merta agar perbankan menyiapkan diri dan menyesuaikan dengan keadaan dan kemampuan.
Tahun 2013, bank hanya diwajibkan memasukkan pemberian kredit ini sebagai rencana bisnis. Dua tahun kemudian, 2015, mulai diperintahkan 5% dari total kredit bank dialokasikan untuk UMKM. Besaran porsi ini terus dinaikkan secara bertahap, hingga mencapai angka 20% pada akhir tahun sekarang. Pencapaiannya dihitung setiap tahun dan wajib dilaporkan kepada BI secara online, melalui Laporan Bulanan Bank Umum atau Laporan Stabilitas Moneter dan Sistem Keuangan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Dalam hal suatu bank tidak dapat mencapai penyaluran komposisi kredit bagi UMKM dari total kreditnya, bank itu dijatuhi hukuman menyelenggarakan pelatihan (Pasal 12). Biaya pelatihan ini dihitung berdasarkan persentase tertentu dari selisih antara rasio Pembiayaan UMKM yang wajib dipenuhi dan realisasi pencapaian pada setiap akhir tahun dengan paling banyak Rp10 miliar.
Kegiatan ini juga wajib dilaporkan semua bank kepada BI setiap tanggal 30 September tahun berikutnya. Atas berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh suatu bank (dan kejadian ini justru tidak sedikit), bank tersebut tidak dikenakan sanksi berat. Mereka hanya dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis. Faktor ringannya sanksi ni diduga menjadi ketidakpatuhan bank menjalankan ketentuan kredit bagi UMKM.
Pihak BI hanya menyerahkan pelanggaran ini kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengambil tindakan. OJK juga tidak menyebutkan hukuman apa yang dikenakan kepada bank yang tidak memenuhi aturan tersebut. Jadi, berbagai alasan dilakukan bank-bank untuk serius memenuhi ketentuan kredit bagi UMKM.
Kredit Macet dan Persaingan Ketat
Sampai dengan tahun 2016, bank pelat merah besar sekaliber Bank Mandiri yang berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN) saja belum mampu memenuhi ketentuan rasio kredit bagi UMKM. Boleh dibilang jauh panggang dari api. Apalagi jika dikonfirmasikan dengan bank-bank BUMN lain. Konon pula jika mau ditelisik sampai ke bank-bank swasta, bahkan bank-bank asing yang membuka kantor cabang di sini.
Alokasi kredit terhadap unit usaha grass-root itu tercatat hanya 3,54% pada kuartal I 2017. Semestinya, berdasarkan skema yang disusun pada 2013, awal tahun itu setidaknya porsi pengaluran dana UMKM dari Bank Mandiri sudah 10%. Di akhir 2017 kemarin mestinya sudah mencapai 15%. Lalu, ancang-ancang bisa mencapai 20% pada akhir tahun 2018 ini dapat dikatakan lumayan musykil.
Apa sebab? Mengapa belum bisa melaksanakan aturan BI tersebut? Alasan bank ini tak cukup meyakinkan, bahkan kurang masuk akal. Untuk merealisasikan tahapan 15% pada 2017, misalnya, Mandiri mengaku sedang menangani rasio non performing loan, NPL (kredit bermasalah) UMKM. Dalih senada juga dikemukakan Bank Central Asia. BCA mengaku belum dapat menyalurkan kredit kepada UMKM sesuai aturan BI akibat persaingan ketat antarbank. Mereka konon mesti berebut pemberian kredit dengan 120 bank di Indonesia.
“Pemberian kredit ini lebih sulit dibandingkan pemberian KPR (kredit pemilikan rumah) yang hanya dilakukan 10 bank,” ucap Jahja Setiaatmadja, Presdir PT BCA Tbk. Berpegangan pada argumen itu, BCA hanya dapat mencapai 14% dari total kreditnya bagi UMKM pada 2017. Sebanyak Rp150,02 triliun yang digelontorkan BCA bagi UMKM sampai September 2017. Angka ini naik 2,4% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu Rp146,51 triliun.
Kinerja ini masih jauh dari target pertumbuhan kredit sebesar 8%-9% sampai akhir tahun lalu. Rincian pencapaian tahun tersebut belum diketahui dari pengumumam resmi bank ini. Penyaluran kredit bagi UMKM ini masih kalah dibanding kredit yang dikucurkan untuk korporasi yang mencapai Rp161,5 triliun pada periode yang sama. Angka ini naik 21,2% dibandingkan waktu yang sama tahun sebelumnya.
Namun, nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan kredit untuk konsumer tercatat Rp128,3 triliun sampai September 2017. Dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, terjadi pertumbuhan 20,6%. Angka tersebut bagian dari total kredit BCA sebesar Rp440 triliun sampai bulan kesembilan tahun lalu. Melihat sampai bulan yang sama tahun sebelumnya, naik sebesar 13,9%.
Mari periksa bank lain. Bank Umum Koperasi Indonesia (Bukopin). Dari namanya mestinya pemihakan bank ini sangat kental kemajuan dan pertumbuhan UKM. Sejauh ini, belum diketahui dari pengumuman resmi apakah telah memenuhi ketentuan PBI No. 17/12/PBI/2015. Dalam program strategisnya, Bukopin menyebut pertumbuhan aset yang berkualitas dicapai dengan fokus pada segmen Retail (Mikro, UKM, dan Konsumer).
Di dalam obyektif kegiatan usaha Bukopin diutarakan, pilar Mikro dan UKM merupakan dua dari empat pilar penyaluran kreditnya. Pilar Mikro diakui menjadi pemimpin pasar pada subsegmen Mikro, khususnya untuk kegiatan business to business dan perbankan mikro. Dengan misi berperan aktif dalam mengembangkan UMKM, Bukopin mengemban tantangan menjadi pemain utama dalam perbankan yang melibatkan jutaan pelaku ekonomi yang pasang badan di barisan terdepan.
Satu pilar lainnya adalah Komersial, yang berupaya mempertahankan posisi pasar saat ini. Kredit bagi Mikro dan UKM memang lebih besar ketimbang kredit Konsumer dan Komersial. Bukopin menyalurkan kredit bagi UMKM terbagi atas kredit Mikro dan UKM. Untuk kredit Mikro pencapaian sampai September 2017 adalah Rp11,797 triliun. Dibandingkan periode yang sama tahun lalu, naik dari Rp9,383 triliun. Kredit UKM diraih sebesar Rp31,426 triliun hingga September 2017, naik dari Rp30,910 triliun, dibanding waktu yang sama tahun sebelumnya.
Pengucuran kredit bagi Konsumer hanya sebesar Rp8,243 triliun sampai September 2017 atau naik dibandingkan periode itu pada tahun lalu, dari Rp7,140 triliun. Namun, kredit Komersial mengalami penurunan menjadi Rp22,475 triliun sampai kuartal III 2017 dari Rp25,707 triliun. Tidak disebutkan apa penyebabnya secara pasti apakah memang ini penurunan pada segmen itu atau ada pergeseran bisnis dari Komersial ke sektor lainnya.
Adu Program dan Akuisisi
Bermacam cara dilakukan bank-bank tadi dalam menggarap kredit UMKM untuk memenuhi ketentuan BI. Namun, hal yang penting dicermati, sebagian bank tidak memberikan kredit bagi usaha mikro yang membutuhkan pinjaman di bawah Rp10 juta. Itu diduga akibat biaya administrasi yang mesti dikeluarkan tak proporsional dibanding nilai kredit itu sendiri. Melayani banyak UMKM dengan keuntungan yang minim jelas tidak menarik bagi bank.
BCA mengucurkan kredit bagi UMKM Rp20 juta—Rp100 juta pada awal 2018, dengan menggandeng perusahaan teknologi finansial (tekfin). Perusahaan ini adalah Aman Cermat Cepat (KlikACC). “KlikACC akan memberikan rekomendasi kelayakan pembiayaan melalui program analisa kredit yang terdapat pada platform,” ucap Liston Nainggolan, Vice President Bisnis Komersial dan Small Medium Enterprise PT BCA Tbk.
Penggunaan mitra semacam ini sesuai dengan anjuran OJK, karena tidak semua bank dapat menjangkau UMKM. Penetrasi perusahaan tekfin ACC dianggap lebih fleksibel. Langkah lain yang dilakukan BCA, mengakuisisi Bank Harda Internasional, tapi belum terwujud sampai sekarang. Sebanyak Rp4 triliun telah disiapkan, dengan rincian Rp3 triliun untuk mengakuisisi dua bank kecil dan Rp1 triliun lainnya untuk menyuntik modal anak usaha.
Bank Mandiri menggarap kredit UMKM dengan menurunkan suku bunga kredit menjadi 4,25%. Angka ini di bawah suku bunga Korporasi dan suku bunga Ritel (9,95%). Program lainnya adalah Mandiri Dagang Untung. Soalnya, sampai Oktober 2017, bank ini memiliki 67.365 nasabah UMKM sektor perdagangan atau naik 46,5% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Selain itu, Bank Mandiri juga akan menambah jumlah jaringan Mandiri Mikro Unit. Sedikitnya, 994 cabang mikro, 1.427 unit mikro, dan 652 kios dipunyai bank ini.
Bank Bukopin menempuh strategi bisnis mikro, berfokus pada pengembangan aliansi strategis dengan PT Taspen, PT Asabri dan beberapa pensiunan BUMN. Pengembangan produk perbankan mikro branchless banking berfokus pada peningkatan sinergi dengan Swamitra. Swamitra adalah bentuk kemitraan Bank Bukopin dengan koperasi untuk mengembangkan dan memodernisasi melalui pemanfaatan jaringan teknologi dan dukungan sistem manajemen. Swamitra berfungsi sebagai outlet meeting point yang mampu melayani Kredit Pensiunan, Public Service/PPOB, dan Laku Pandai.●(Mochamad Ade Maulidin-ed)