hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Koperasi Tidak Ada Istilah Nasabah, Juga Tak Kenal Gagal Bayar

Ketika ditunjuk untuk memimpin koperasi pegawai di lingkungan Pemda DKI Jakarta pada tahun 1982, ada perasaan galau di hati Hasanuddin Bsy. Makhluk seperti apa koperasi itu, bagaimana cara kerjanya dan mampukah ia melaksanakan tugas yang dibebankan oleh Gubernur DKI Jakarta kala itu, Tjokropranolo. Sebagai abdi negara, tentu tidak ada kata ‘tidak’ apalagi menolak perintah pimpinan tersebut.

“Karir saya lagi bagus dan baru saja menyelesaikan pendidikan birokrasi di Pemda DKI Jakarta, tetapi Gubernur menilai saya kayaknya lebih cocok mimpin koperasi pegawai yang baru berumur dua tahun itu,” kenang Hasanuddin. Ia mengaku  “kecebur” di dunia koperasi yang kala itu lebih dikenal sebagai proyek pemerintah melalui representasi KUD (Koperasi Unit Desa). Kepalang kecebur itulah, Hasanuddin mencoba menyelami lebih jauh seluk beluk perkoperasian.

Pria kelahiran Kota Bumi Lampung ini belajar dari nol lewat berbagai buku bacaan, seminar dan pelatihan-pelatihan. “Saya ikuti semua pendidikan dan pelatihan koperasi, bukannya untuk menjadi ahli ataupun pemikir yang andal, saya hanya ingin menjalankan Koperasi Pegawai Pemda DKI (KPPD) dengan benar, sesuai prinsip dan jati diri koperasi,” ujarnya saat berbincang dengan Irsyad Muchtar dari Majalah Peluang. Berikut petikannya.

Meskipun berada di lingkungan instansi pemerintah, namun KPPD mampu menunjukan kemandiriannya sebagai badan usaha profesional bahkan berhasil masuk jajaran koperasi besar di Indonesia. Anda yang di awalnya merasa ‘kecebur’ justru berhasil mengantar KPPD ke tangga sukses. Bagaimana ceritanya?

Di tahun pertama me-mimpin KPPD saya memang merasa terbuang karena koperasi masih tidak populer kala itu. Tetapi saya coba untuk menikmati tugas itu dengan mengurus KPPD segenap jiwa raga. Alhamdulillah, saya yang tadinya mengira mengurus koperasi itu beban yang tidak ada apa-apanya, ternyata beda. Allah sudah menskenariokan bahwa dunia saya memang di koperasi.

Aset KPPD kini sudah lebih dari Rp300 miliar, sebuah jumlah yang boleh dibilang mumpuni untuk menempatkan KPPD dalam skala usaha ekonomi layak. Apa saja yang Anda lakukan untuk mencapai kinerja unggul itu? 

Kalau kita bicara koperasi, kita harus melihatnya secara utuh. Koperasi itu dunia usaha, dan bicara soal dunia usaha, hal yang utama dan pertama adalah sumber daya manusia (SDM) nya dulu. SDM harus mumpuni dengan ilmu koperasi agar dia mencintai koperasi. Kalau tidak mumpuni, ya tidak bisa. Yang kedua, kalau kita mau usaha, modal itu penting. Saya berprinsip kalau kita dagang sesuatu, apa yang dibutuhkan pasar maka itulah yang kita jual.

Di KPPD, yang dibutuhkan anggota adalah pinjaman uang. Kalau anggota butuh uang, maka saya harus mencari uang sebanyak-banyaknya biar keinginan anggota terpenuhi. Tinggal caranya bagaimana? Cara yang baik dan tidak menjadikan anggota sebagai beban.

Bukankah dengan cara seperti itu, anggota justru menjadi konsumtif?

KPPD memang koperasi konsumen, melayani apa saja kebutuhan anggotanya. Tetapi selera konsumtif itu kita tekan serendah mungkin dengan memberikan pendidikan yang benar tentang koperasi. Dengan begitu anggota semakin cerdas dan dapat mengendalikan tingkat kebutuhan ekonomi mereka. Alhamdulillah, KPPD kini beranggotakan lebih dari 11.000 orang, dan semuanya adalah pegawai di lingkungan Pemda DKI Jakarta sesuai dengan nama koperasi ini. Di KPPD tidak ada nasabah dan juga tidak ada istilah gagal bayar karena uang koperasi dari anggota dan hanya untuk anggota.

Apa syarat harus dipenuhi anggota agar bisa meminjam di koperasi, apa saja batasannya?

Kalau nominal maksimal Rp150 juta dengan tenggang waktu terserah anggota. Tentunya kami melihat kemampuan anggota. Apakah pinjaman itu sesuai kebutuhannya? Yang ada di mindset kami, kalau “keran” ini dibuka, apakah “air” akan balik lagi? Jangan kita mengejar target, tetapi uangnya berceceran ke mana-mana. Ada prinsip kehati-hatian, walaupun jaminannya gaji. 

Melalui pelatihan berkoperasi yang kami lakukan secara periodik, anggota dididik untuk cerdas  memprioritaskan antara keinginan dan kebutuhan mereka. Jangan sampai besar pasak dari pada tiang. Ini kami tekankan karena tidak sedikit anggota yang sudah  pinjam di koperasi, juga pinjam di bank, pinjam di online, pinjam di mana-mana. Nilainya lebih banyak daripada kebutuhannya.

Bagaimana Anda menjaga tingkat partisipasi anggota yang tetap tinggi terhadap koperasi ?

Saya sampaikan berkali-kali dalam setiap rapat anggota, bahwa anggota mempunyai fungsi ganda atau dual identity, sebagai pemilik dan sekaligus pengguna jasa dan usaha koperasi. Tanpa ada partisipasi anggota maka koperasi bakal kolaps. Itu sebabnya selalu saya tekankan kepada anggota untuk memahami tujuh prinsip koperasi yang berlaku secara universal. Jika belakangan ini Anda melihat banyaknya koperasi terutama berbasis simpan pinjam  kolaps karena gagal bayar atau pengurusnya kabur, ini karena minimnya pemahaman terhadap tujuh prinsip koperasi tersebut. Itu sebabnya pendidikan koperasi bagi anggota merupakan fondasi utama bagi sehatnya sebuah usaha koperasi. (Irm)

pasang iklan di sini