
PeluangNews, Jakarta – Koperasi simpan pinjam bermasalah lagi, sejak kemarin puluhan nasabah Koperasi Bahana Lintas Nusantara (BLN) Salatiga, Jawa Tengah mendatangi rumah pribadi Nicholas Nyoto Prasetyo, ketua koperasi tersebut. Mereka menagih pencairan dana yang telah disetorkan. Aksi nasabah itu berlangsung sejak Selasa (30/9/2025) dan berlanjut pada Rabu (1/10/2025). Mereka mencoret-coret dinding rumah dengan kata-kata menuntut pengembalian uang yang mereka simpan di sana.
Hal ini menambah panjang daftar koperasi simpan pinjam (KSP) yang gagal memenuhi kewajiban kepada anggotanya. Seperti KSP Indosurya (Jakarta) – kasus terbesar, gagal bayar hingga Rp14 triliun lebih, dengan ribuan korban. KSP Pracico Inti Sejahtera – gagal bayar simpanan anggota, banyak laporan ke OJK dan kepolisian. KSP Sejahtera Bersama – dana anggota macet hingga triliunan rupiah, proses hukum masih berjalan.
Pengamat perkoperasian, Dewi Tenty, menilai akar persoalan ini bukan sekadar lemahnya pengawasan, melainkan juga citra koperasi yang terdistorsi di mata publik.
“Banyak masyarakat mengidentikkan koperasi hanya dengan KSP. Padahal, koperasi memiliki banyak jenis lain yang justru tenggelam oleh dominasi KSP. Akibatnya, koperasi sering hanya dipandang sebagai tempat berutang saat kesusahan atau sebaliknya menjadi wadah spekulasi bagi investor yang mencari bunga tinggi di luar bank,” jelas Dewi yang dihubungi Peluangnews.id, Kamis (2/10/2025)
Kasus Koperasi BLN: Dari Sipintar ke Sijangkung
Salah satu contoh yang mencolok adalah Koperasi BLN. Polemik muncul saat BLN mengonversi program keanggotaan dari Sipintar dengan bunga 4,17 persen menjadi Sijangkung yang menawarkan imbal hasil 2 persen per bulan. Perubahan ini menimbulkan keresahan anggota.
Para anggota kemudian menuntut pengembalian dana dari berbagai skema, mulai dari arisan, tabungan umrah, investasi emas, dana tur, hingga trading token dan pasar modal. Namun, sistem tokenisasi yang ditawarkan justru memperbesar kebingungan.
Lebih rumit lagi, sebagian dana anggota disebut telah dialihkan untuk membiayai proyek pemerintah bernilai miliaran rupiah. Ketika proyek tersebut mengalami efisiensi anggaran atau bahkan dibatalkan, bagi hasil pun gagal dibayarkan sesuai jadwal.
Manipulasi atas Nama Koperasi
Dewi menilai, permasalahan ini berakar pada praktik manipulatif sejak awal. “KSP dijadikan wadah yang mempertemukan dua kelompok—peminjam dan pendana—dengan motif yang tidak sehat,” ucapnya dengan tegas.
Ada tiga bentuk manipulasi yang ia soroti:
Koperasi hanya dijadikan kendaraan regulasi, karena kemudahan pendirian, permodalan, dan perizinannya.
Masyarakat terjebak pada citra koperasi sebagai ‘soko guru perekonomian’, sehingga kepercayaan ini dimanfaatkan untuk menarik dana.
Prinsip dasar koperasi diabaikan, terutama konsep dual identity—bahwa anggota memiliki hak sekaligus kewajiban—yang justru diganti dengan istilah perbankan seperti nasabah, investasi, dan bagi hasil.
“Seperti yang saya tulis dalam buku saya yang berjudul “Gelombang Pasang KSP di Indonesia.“ Akar dari melencengnya koperasi di Indonesia salah satunya adalah brand image dari koperasi,” ujarnya.
PR Besar: Reposisi Koperasi Indonesia
Menurut Dewi, ada tiga pekerjaan rumah penting yang harus segera dilakukan agar koperasi kembali ke khitahnya:
Meluruskan kembali sejarah koperasi. Koperasi didirikan untuk self-help dan menolong sesama, bukan menjadi lintah darat.
Melakukan rebranding koperasi. Masyarakat perlu disadarkan bahwa koperasi bukan hanya KSP. Bila tetap berbentuk KSP, harus ada batasan jelas mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Mendorong pemerintah menyusun blueprint koperasi nasional. Dengan arah yang jelas, koperasi tidak lagi dipandang sebagai celah spekulasi, melainkan benar-benar menjadi pilar ekonomi kerakyatan. (Aji)