hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Berita  

Pengamat: Perkoperasian Indonesia Istimewa, tapi Lemah dalam Kontribusi Ekonomi

Pengamat: Perkoperasian Indonesia Istimewa, tapi Lemah dalam Kontribusi Ekonomi
Pengamat Koperasi, Dr. Dewi Tenty Septi Artiany/dok.peluangnews

Peluang News, Jakarta – Pengamat koperasi Dr. Dewi Tenty Septi Artiany menilai bahwa regulasi perkoperasian di Indonesia sudah sangat istimewa, sesuai dengan sila ke-5 Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945. Namun, meskipun Indonesia memiliki jumlah koperasi terbanyak di dunia, kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih jauh tertinggal dibandingkan negara lain.

Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Baleg DPR RI, Kamis (20/2/2025), Dewi mengungkapkan bahwa pertumbuhan koperasi di Indonesia lebih banyak dari sisi kuantitas, bukan kualitas. Akibatnya, banyak koperasi yang pasif dan tidak berkontribusi maksimal bagi perekonomian nasional.

“Di Kenya, 50% PDB berasal dari koperasi. Sementara di Indonesia, kontribusi koperasi terhadap PDB hanya 5,1%. Kita hanya unggul dari segi jumlah, tetapi belum mampu menjadikan koperasi sebagai sokoguru ekonomi nasional,” ujarnya.

Revisi UU Perkoperasian Tanpa Arah, Blueprint Tidak Jelas

Dalam kesempatan tersebut, Dewi juga menyoroti revisi Undang-Undang Perkoperasian yang dilakukan tanpa arah yang jelas. Ia menilai bahwa tidak adanya blueprint membuat perumusan regulasi koperasi di Indonesia selalu mengalami hambatan.

“Harus ada komitmen kuat dari Presiden untuk menyusun kebijakan yang jelas dalam membangun koperasi. Tanpa arah yang jelas, revisi UU Perkoperasian hanya akan berujung pada kebuntuan,” tegasnya.

Ia juga menyoroti bahwa kontribusi koperasi terhadap PDB lebih banyak berasal dari Koperasi Simpan Pinjam (KSP), padahal koperasi yang ideal untuk berkembang adalah Koperasi Produksi dan Konsumsi.

“Jika Bung Hatta masih ada, mungkin beliau akan menangis. Koperasi yang seharusnya tumbuh subur di Indonesia justru tidak berkembang sebagaimana mestinya. Seharusnya koperasi konsumsi dan produksi menjadi pilar utama, terutama dalam mendukung program makan siang gratis pemerintah,” tutur pengamat koperasi Dewi Tenty.

Koperasi di Indonesia Masih Dipandang Sebagai Lembaga Charity

Dewi menekankan bahwa di Indonesia, koperasi masih dipandang sekadar sebagai lembaga sosial (charity). Contohnya, koperasi karyawan hanya berfungsi sebagai penyedia konsumsi, bukan sebagai entitas bisnis yang kuat.

“Di Korea, koperasi membuat suku cadang mobil. Di Indonesia, koperasi hanya menjadi pelengkap. Ini perlu diubah agar koperasi bisa menjadi kekuatan ekonomi,” tambahnya.

Ia juga menegaskan perlunya rebranding koperasi agar masyarakat tertarik untuk menabung dan berbelanja di koperasi, bukan hanya menjadikannya tempat untuk meminjam uang.

“Saat ini, koperasi hanya menjadi tempat meminjam, tetapi orang-orang tetap belanja di mal dan kafe. Seharusnya koperasi bisa menjadi ekosistem yang menyediakan semua kebutuhan masyarakat,” jelasnya.

Permodalan dan Sanksi Pidana untuk Koperasi Bermasalah

Dewi juga menyoroti struktur permodalan koperasi, terutama setelah adanya UU Cipta Kerja yang mengubah regulasi terkait modal koperasi. Menurutnya, perlu ada fleksibilitas dalam simpanan pokok dan simpanan wajib, serta peluang bagi koperasi multi-pihak untuk mendapatkan suntikan modal dari berbagai sumber.

Tak hanya itu, ia juga menegaskan pentingnya sanksi pidana bagi koperasi yang terlibat dalam penipuan.

“Ada koperasi yang merugikan hingga ratusan triliun rupiah. Jika ada unsur penipuan dan penggelapan, harus ada sanksi pidana untuk melindungi anggota koperasi,” ujarnya.

Dewi juga mengkritik fenomena koperasi yang hanya dijadikan kedok untuk mendapatkan proyek. “Sering kali koperasi hanya digunakan untuk menyiasati aturan dalam pengadaan proyek. Ini harus dibenahi karena merusak citra koperasi,” tegasnya.

Koperasi Butuh Blueprint yang Jelas

Di akhir diskusi, Dewi menekankan bahwa tanpa blueprint yang jelas, koperasi di Indonesia akan terus mengalami kebingungan arah. “Blueprint ini yang akan menentukan ke mana koperasi akan berkembang. Jika tujuannya sudah jelas, tinggal mengelola dan membangun ekosistemnya,” pungkasnya.

RDPU ini menghadirkan berbagai pengamat dan pelaku koperasi untuk memberikan masukan dalam revisi keempat UU Perkoperasian No. 25 Tahun 1992. Harapannya, regulasi yang baru akan mampu memperkuat koperasi sebagai pilar utama ekonomi nasional. (Aji)

pasang iklan di sini
octa forex broker