hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Koperasi Seperti Mati Suri, Perlu Perbaikan Tata Kelola Manajemen

Bandung (Peluang) : Seminar kebangkitan Koperasi diharapkan memberikan rekomendasi untuk perbaikan perkoperasian di bumi pertiwi ini.

Perkumpulan Bumi Alumni (PBA) bekerja sama dengan Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran (Unpad), Lembaga Bantuan Hukum Pusat Studi Bumi Alumni (PSBA), Club Discussion Notaris Kelompencapir dan Kelompok Studi Hukum FH Unpad mengadakan seminar bertema “Kebangkitan Koperasi Indonesia : Transformasi Koperasi Indonesia Menuju Indonesia Emas 2045″, di Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, Jumat (16/2022).

Dalam sambutannya, Ketua Umum PBA, Ary Zulfikar menyampaikan  permasalahan yang dihadapi koperasi, di antaranya tentang  tata kelola, gulung tikar bahkan digugat pailit. 

Selain itu, menurutnya, ada juga praktek pseudo banking, dengan melakukan  penghimpunan, investasi dan simpan pinjam, memanfaatkan tidak adanya pengawasan yang ketat dari otoritas. 

“Permasalahan tersebut yang mendorong adanya seminar ini untuk mendiskusikan dan evaluasi bersama agar koperasi di Indonesia dapat berjalan dengan benar, dan tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari,” kata Ary. 

Ary berharap seminar ini bisa memberikan rekomendasi kepada pemegang kebijakan.

Berikutnya, Dekan Fakultas Hukum Unpad, Idris dalam sambutannya mengingatkan peran koperasi sangat penting bagi perekonomian nasional. Namun dalam implementasinya masih jauh dari yang diharapkan.

“Koperasi seperti mati suri, antara ada dan tiada. Mudah-mudahan seminar ini bisa memberikan rekomendasi atau masukan untuk memperbaiki perkoperasian di Indonesia,” ungkap Idris.

Pada kesempatan ini, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) selaku keynote speaker mengatakan, masih adanya persepsi koperasi adalah entitas ekomoni yang kuno ketinggalan zaman. 

Namun demikian menurut Bamsoet, persepsi tersebut tidak sepenuhnya benar, karena justru eksistensi koperasi berkembang di negara kapitalis. 

“Bahkan berdasarkan data tahun 2017, diketahui 100 dari 300 koperasi terbaik itu ada di Amerika Serikat, yang merupakan negara kapitalisme dunia,” tegas Bamsoet. 

Terkait kondisi koperasi di Indonesia, Bamsoet menilai tata kelolanya masih belum sesuai dengan semangat koperasi. Hal ini karena dalam prakteknya banyak yang menyalahgunakan dengan kedok investasi, pengumpulan dana dan lainnya.

Selain itu, muncul masalah gugatan pailit, sehingga keberadaan koperasi seperti terpinggirkan.

“Saya optimis, jika koperasi dikelola dengan benar, dan pemerintah memberikan dukungan. Koperasi di Indonesia bisa bangkit dan menjadi tulang punggung perekonomian nasional,” ucap Bamsoet.

Pengawali seminar ini, tampil pembicara Ahmad Zabadi, Deputi Perkoperasian Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KemenKopUKM).

Dalam paparannya, Zabadi mengatakan, koperasi di Indonesia terus berkembang. Tercatat  total koperasi saat ini 127.846 unit dengan jumlah anggota mencapai 27.100.372 orang. 

Namun demikian, Zabadi mengakui bahwa muncul berbagai masalah terkait Koperasi Simpan Pinjam (KSP) yang digugat pailit oleh anggotanya, karena praktek pengelolaan yang tidak benar.

KemenKopUKM menurutnya, telah membentuk Satgas untuk membantu menangani koperasi yang bermasalah tersebut.

“Upaya yang sedang kami dilakukan adalah melakukan revisi Undang-Undang (UU) Perkoperasian. Ini untuk membentuk ekosistem perkoperasian di Indonesia,” kata Zabadi.

Revisi UU Perkoperasian tidak lepas dari adanya UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) alias Omnibus Law, yang hampir mendegradasi peran KemenKopUKM dalam pengawasan koperasi.

 “Koperasi di Indonesia harus diawasi oleh lembaga yang memiliki otoritas. Seperti halnya sektor keuangan dan perbankan yang diawasi oleh OJK, dan simpanan uangnya dijamin oleh LPS, ekosistemnya berlapis-lapis. Sistem inilah yang ingin kita kembangkan di perkoperasian,” ungkap Zabadi.

Dengan telah disahkannya UU PPSK, maka Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan KemenKopUKM berbagi peran. 

Yakni KSP yang memiliki modal mayoritas dari luar anggota dan melayani simpan pinjam di luar anggota di awasi oleh OJK. Sedangkan KSP yang hanya melayani anggota, pengawasannya ada di KemenKopUKM.

Pembicara selanjutnya, pakar ekonomi Susi Dwi Harijanti. Ia menilai metode Omnibus Law dalam menyusun UU kurang tepat. Karena masing-masing UU ada yang memiliki relevansi dan tidak.

Pada seminar itu, Susi pun mempertanyakan pengawasan KSP dalam ranah OJK. “Bagaimana dengan koperasi yang bergerak di luar simpan pinjam? Pengaturan harus sesuai dengan hukum koperasi yang terdapat dalam pasal 33 ayat (1) UUD 45,” tegas Susi.

Rizal Ramli, pakar ekonomi yang merupakan mantan menteri Koordinator Bidang Kemaritiman mengatakan, permasalahan koperasi saat ini bukan semata-mata soal aturan. 

Ia pun menyampaikan saran agar KemenKopUKM bersikap tegas meminta koperasi-koperasi memperbaiki manajemennya. 

“Semua koperasi untuk menunjukkan transparansi kepada publik. Caranya menyampaikan laporan keuangan secara terbuka dan berkala agar anggota dan masyarakat umum tahu,” kata Rizal. 

Selain itu menurut Rizal, harus ada preferensi dalam membuat kebijakan. Yakni KemenKopUKM harus menetapkan target secara terukur mengenai perkembangan koperasi.

Kemudian pembicara berikutnya adalah Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Unpad, Isis Ikhwansyah menyoroti pengawasan terhadap koperasi dalam UU yang dinilainya sangat lemah.

Salah satunya menurut Isis, yaitu KSP bukan digolongkan sebagai lembaga keuangan dengan KSP tidak dibawah pengawasan OJK. 

“Secara sistem hukumnya ada di bawah KemenKopUKM dan termasuk dalam kategori usaha bersama ekonomi kerakyatan,” ujarnya.

Pengawasan koperasi diserahkan kepada anggota dan Rapat Anggaran Tahunan (RAT) menjadi sarana keterbukaan antara pengurus dan anggota. “Dengan pemahaman bahwa koperasi berbeda dengan lembaga keuangan seperti bank, maka tidak tepat jika pengawasan koperasi diserahkan kepada OJK,” jelas Isis.

Hal lain yang menjadi perhatiannya, adalah adanya permasalahan pailit yang dialami oleh koperasi. Sesuai dengan UU No 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, antara lain mengatur tentang penyelesaian hukum antara kreditor dengan debitor dalam hal jika ada sengketa, khususnya terkait kewajiban utang-piutang. 

Namun Isis menyayangkan karena banyak dari anggota koperasi yang tidak mengedepankan rasa memiliki terhadap koperasi masing-masing.

“Anggota koperasi seolah merasa seperti nasabah yang mempunyai rekening simpanan bank. Karena itu, saya mendorong agar ada pengawasan khusus dari adanya koperasi ini,” kata Isis.

Sementara pembicara Dewi Tenty Septi Artiany, Notaris dan Pengamat Perkoperasian juga mengatakan, banyak  penyalahgunaan yang dilakukan oleh oknum yang memanfaatkan lembaga koperasi.

“Bentuknya sangat beragam, ada rentenir berkedok KSP, bank gelap berkedok KSP, fintech berkedok KSP. Koperasi sebagai cangkang, dan pinjam meminjam lembaga koperasi untuk suatu kegiatan,” kata Dewi dalam paparannya pada seminar tersebut.

Terkait dengan banyaknya koperasi membutuhkan pengawasan khusus guna memastikan tata kelola koperasi sebagaimana tujuan awal yang diatur dalam UU No 25 tahun 1992 tentang perkoperasian.

Dewi menyatakan bahwa sebagaimana disyaratkan dalam ILO, yakni koperasi adalah organisasi bisnis yang diawasi dan dikendalikan secara demokratis dan mandiri.

Kepala Bidang Hubungan Antar Lembaga PBA ini mengingatkan sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 9 tahun1995 tentang Perkoperasian, bahwa pembinaan dan pengawasan KSP dilakukan oleh KemenKopUKM.

“Di mana KSP wajib memberikan laporan secara berkala dan tahunan kepada Menteri Koperasi dan UKM. Serta idealnya pembinaan dan pengawasan adalah seiring dan sejalan apa yang dibina itu yang diawasi,” tandas Dewi.

pasang iklan di sini