Pontianak, Peluang News- Berada di pojok negeri, memang tidak mudah bagi Koperasi Perkebunan (Kopbun) Tampun Juah, Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, mengembangkan usahanya. Lambannya informasi, infrastruktur dan kebijakan kurang memihak menjadi sejumlah faktor yang membuat koperasi ini kurang produktif.

Beranggotakan para petani sawit, sudah barang tentu komoditas ini menjadi tumpuan harapan dari Kopbun Tampun Juah. Maka, tidak heran jika terjadi kenaikan ataupun penurunan harga komoditas sawit bakal berpengaruh pada ekonomi para anggota yang kini berjumlah 1.084 orang.
Saat berbincang dengan peluangnews.id akhir Februari lalu di Pontianak, Kalbar, Ketua Kopbun Tampun Juah, Zambruddin Wilson, mengatakan keberadaan koperasi sangat membantu anggota mengatasi masalah ekonomi rumah tangganya.

“ Saat harga sawit turun, atau terjadi produksi rendah, ekonomi anggota pun ikut turun.
Dalam keadaan demikian mereka sangat berharap dapat pinjaman dari koperasi,” ujar Wilson. Ia didampingi Sekrtaris Pengurus, Romulus Robert Tyener, Bendahara Usman dan Ketua Pengawas, Belesius Cenggan.
Sejak berdiri pada 2009, Koperasi Tampun Juah menjadi penghubung antara anggotanya yang nota bene petani sawit dengan perusahaan perkebunan sawit. Dalam kondisi normal, satu anggota bisa menyetor sebanyak 1,6 ton sawit per bulan kepada perusahaan. Namun karena banyaknya pencurian, anggota hanya bisa setor sebanyak 800 kwintal.
Lantaran terjadinya penurunan pendapatan anggota, pengurus berupaya mencari terobosan usaha, antara lain mengembangkan usaha simpan pinjam (USP). Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan anggota. Sampai dengan sekarang, seluruh modalnya berasal dari simpanan pokok dan simpanan wajib anggota.
Untuk menjalankan USP selama ini mengandalkan modal dari internal anggota. Namun dalam perjalanannya terkendala modal sehingga usaha simpan pinjam ibarat jalan di tempat.
Menurut Wilson, koperasinya selama ini hanya mampu memutar dana sebesar Rp 30 juta sebulan dan sangat tidak memadai dengan pengajuan pinjaman anggota.
“Untuk memenuhi pinjaman anggota, kami butuh suntikan modal sekitar Rp 6 miliar sampai dengan Rp7 miliar perbulan,” ungkapnya. Dana sebesar itu, sebagian akan dialokasikan untuk pengembangan usaha lainnya, seperti Saprotan yang memang sangat dibutuhkan masyarakat sekitar.
Salah satu upaya yang ditempuh adalah mengajukan pinjaman dana bergulir kepada LPDB-KUMKM. Komunikasi sudah dilakukan oleh pengurus dengan pihak LPDB yang meminta adanya agunan berupa sertifikat tanah perkebunan. Untuk persyaratan tersebut saat ini sedang diupayakan oleh pengurus.
Wilson menambahkan, persyaratan jaminan ini menjadi masalah pelik. Sebab hampir seluruh sertifikat tanah sudah diserahkan ke pihak perusahaan untuk membuka lahan perkebunan sawit yang sekarang mereka kelola. Wilson berharap ada terobosan kebijakan untuk mengatasi hal tersebut.
” Jangan sampai kami dilirik negeri jiran, “pungkas Wilson yang wilayah kerjanya memang berbatasan dengan Malaysia. (Kur)