Oleh: Bambang Sadono*
KETIKA pemerintah memutuskan untuk memberikan izin pertambangan pada organisasi keagamaan disambut dengan pro dan kontra. Banyak yang keberatan dengan tiga alasan. Pertama ormas keagamaan tidak mempunyai kecakapan teknis yang memadai untuk mengelola tambang. Kedua tidak mempunyai organisasi dan manajemen yang cukup profesional untuk menangani bisnis pertambangan. Ketiga tidak mempunyai cukup modal untuk membiayai bisnis tambang yang membutuhkan dana besar.
Dari wacana tersebut beberapa hal yang terlewatkan, dan uniknya juga tidak banyak muncul pada wacana pencerahan para akademisi, yang melihat gagasan konsesi pertambangan pada ormas keagamaan ini dengan penuh kecurigaan. Seolah terlupakan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyebut bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara, dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Lepas dari curiga atau tidak curiga pada agenda politik di balik pemberian izin pertambangan untuk ormas keagamaan, bisa muncul pertanyaan kritis. Siapa yang lebih berhak mengelola pertambangan masyarakat Indonesia, apakah organisasi kemasyarakatan sebesar Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan sebagainya, atau individu yang muncul dengan nama korporasi besar. Apakah masyarakat adat Kalimantan tidak lebih berhak mengelola tambang, dari perusahaan perorangan, atau korporasi multinasional.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) menyambut baik gagasan pemerintah, Organisasi keagamaan tidak hanya bertanggungjawab pada kesejahteraan batin dan kepentingan akhirat, juga kemakmuran lahir dan kecukupan hidup di dunia. Namun spontan yang terfikir NU punya ahli yang memadai, dan segera membentuk perusahaan untuk menangani tambang.
Seakan akan, tidak hanya semangat besar Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang dilupakan, tetapi ayat 1 dari pasal yang sama, “perekonomian disusun sebagai usaha bersama, dengan azas kekeluargaan” juga sudah jauh dari bayangan. Di manakah koperasi sebagai organisasi ekonomi yang paling sejiwa dengan pasal tersebut disembunyikan, bahkan juga oleh pemerintah.
Sebenarnya dalam Peraturan Pemerintah nomor 96/2021 yang diubah dengan PP 25/2024, dalam Pasal 9 disebut Izin Usaha Pertambangan (IUP) bisa diajukan oleh badan usaha, koperasi, atau perusahaan perseorangan. Namun yang dijelaskan kemudian pada ayat selanjutnya hanya yang menyangkut badan usaha, koperasi sudah tidak di singgung lagi. Dalam praktek juga tidak banyak terdengar koperasi yang mengelola tambang, apalagi pertambangan besar. Bahkan yang lebih menjadi wacana publik adalah tambang ilegal dengan berbagai dinamika dan dampaknya.
Modal Muhammadiyah
Kekhawatiran tersedianya tenaga ahli secara teknis pertambangan maupun manajemen juga tidak masuk akal. Walaupun NU menyebut akan membuatkan perusahaan, bukan menyiapkan koperasi. Termasuk pemerintah sendiri tidak pernah menyarankan koperasi, walaupun regulasi memungkinkan, sebagai lembaga yang layak mengelola tambang, yang besar sekalipun.
Ketika banyak yang meragukan kemampuan organisasi kemasyarakatan mengelola tambang, muncul berita besar Muhammadiyah akan menarik dananya sekitar Rp 13 trilyun, dari Bank Syariah Indonesia (BSI). Apalagi yang akan didustakan dari kemampuan organisasi kemasyarakatan (baca keagamaan) dalam mengelola kegiatan bisnis dan sosial.
Muhammadiyah sendiri setelah banyak memberdayakan masyarakat di bidang sosial dan pendidikan, juga akan memperkuat dari sudut ekonomi. Rasanya koperasi merupakan lembaga perekonomian atau bisnis yang paling tepat untuk mewadahi kegiatan yang sejalan dengan misi organisasi kemasyarakatan seperti Muhammadiyah atau organisasi keagamaan yang lain.
Di satu sisi pemerintah, dengan segala kemungkinan motivasinya, mulai membuka kemungkinan memanfaatkan hasil tambang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, justru banyak yang meragukannya. Apakah tidak lebih baik mendukung gagasan dasar yang sesuai konstitusi ini, kemudian menutup berbagai celah yang menghalangi keterlibatan masyarakat seluas luasnya untuk ikut memanfaatkan potensi sumber daya alam ini.
Di sisi lain pemerintah didorong dan didukung makin banyak membuat kebijakan dan regulasi yang mengarah pada perwujudan sila kelima Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mampukah koperasi untuk mengemban fungsi sebagai sokoguru persekonomian nasional ?
Faktanya ada koperasi di Indonesia, yang total asetnya mencapai sekitar Rp 10 trilyun. Misalnya koperasi simpan pinjam, Kospin Jasa Pekalongan.
Asesori Konstitusional
Koperasi di Indonesia masih mempunyai pijakan yang tegas secara konstitusional. Masih disebut sebut sebagai landasan dalam regulasi perundang-undangan. Masih digunakan sebagai retorika dalam wacana politik. Tetapi pemihakannya dalam praktek, antara ada dan tiada.
Ribuan koperasi pertanian dan perikanan bangkrut, apa yang dilakukan pemerintah. Koperasi Unit Desa, dipangkas keikutsertaannya menjadi distributor pupuk subsidi, hingga masalah pupuk menjadi masalah terbesar petani saat ini. KUD juga ditinggalkan dalam program pengadaan pangan, hingga swasembada beras tak terjadi sejak 1984, dan impor terus menghantui setiap tahun.
Sebagai koperasi produksi dilemahkan, sebagai koperasi konsumsi tidak diberi peran yang selayaknya. Bahkan terkesan koperasi harus bersaing bebas dengan usaha swasta, bahkan badan usaha milik negara atau daerah. Di sisi lain, koperasi sebagai usaha bersama dan kekeluargaan mempunyai misi sosial yang kental.
Apakah ini semua yang menyebabkan kesejahteraan rakyat makin jauh dari raihan. Kemiskinan menjadi hantu yang tak berkesudahan, walaupun digelontor dengan berbagai skema bantuan. Rakyat tidak diberdayakan, hanya dibelaskasihani.
Akankah koperasi di Indonesia, tinggal sebagai asesori konstitusional ? Ada usulan pemihakan yang kongkret, seperti yang diusulkan Prof. Dr. Maizar Rahman, ketua umum Yayasan Proklamator Bung Hatta. Misalnya dengan moratorium pengelolaan kebun sawit oleh pengusaha besar, apalagi asing. Digantikan dengan koperasi petani sawit yang didukung dan difasilitasi pemerintah.
Dibawa Ke Mana?
Akan dibawa ke mana koperasi kita ? Kalau sampai saat ini kondisinya antara ada dan tiada, ke depan akan seperti apa ? Pernah semangat koperasi diwujudkan di dunia pendidikan, sehingga pelajaran ekonomi selalu dalam satu paket Ekonomi dan Koperasi.
Banyak Akademi Koperasi yang gulung tikar, berubahan menjadi sekolah tinggi ekonomi. Tanpa embel-embel koperasi lagi. Sementara tren dunia tetap saja, koperasi berkembang di banyak negara. Baik di sektor produksi, konsumsi, maupun perbankan.
Apa misi pemerintah dengan mempertahankan kementerian koperasi. Apakah hanya sebagai pembenar teori bahwa koperasi adalah bentuk lembaga ekonomi yang orientasinya pada kesejahteraan bersama, bukan kemakmuran kelompok, apalagi perseorangan.
Apakah peta jalannya jelas regulasi dan kebijakan koperasi benar benar menuju cita cita proklamasi yang termaktub dalam pembukaan konstitusi. Kalau ya, mengapa prakteknya undang-undang koperasi terkesan tidak serius diurus pemerintah dan DPR RI.
Akankah kita membiarkan kesenjangan yang makin menjauh antara teori ideal tentang koperasi, dan prakteknya dalam ekonomi Indonesia yang makin menguat rasa kapitalistiknya.
*) mantan Sekjen PWI Pusat, mantan anggota DPR RI dan DPD RI, serta host Kanal Inspirasi untuk Bangsa.