hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Berita  

Kompas.Com, Jaga Integritas Media atau Pendukung Aguan?

Menteri ATR/BPN Nusron Akui Terbitkan 263 SHGB di pagar laut Tangerang
Ilustrasi: Proyek pagar laut/dok.X

PeluangNews, Jakarta – Kompas.com jadi sorotan. Sebuah artikel berjudul “Bertangan Midas, Aguan Menghidupkan Proyek Mangkrak dan Membangun Rumah Rakyat”, tayang Jumat, 8 Agustus 2015.

“Berita” ini tanpa label iklan, advertorial atau sponsored. Padahal, jika dibaca jernih, konten itu bukanlah berita dalam arti jurnalistik. Patut diduga ini adalah iklan terselubung. Isinya puja-puji terhadap Aguan dan memoles citra proyek-proyeknya yang ambisius.

Jika betul iklan terselubung, pelanggaran serius. Pedoman Media Siber yang dikeluarkan Dewan Pers jelas mengatur: konten iklan harus dipisahkan tegas dari berita. Media online wajib memberi penandaan yang jelas. Ini soal integritas. Tujuannya agar pembaca tidak terkecoh.

Firewall antara redaksi dan bagian bisnis harus dijaga. Apalagi media sekelas Kompas (Grup) yang selama puluhan tahun mengklaim tagline gagah, Amanat Hati Nurani Rakyat. Tagline ini jadi salah satu yang paling ikonik dan konsisten diasosiasikan dengan Harian Kompas sejak awal berdirinya pada 28 Juni 1965. Ia mencerminkan komitmen Kompas untuk menyuarakan kebenaran, integritas, dan kepentingan publik, serta kedekatannya dengan rakyat.

Memasuki 2024, Kompas memperkenalkan #MultimediaMencerahkan.
Slogan ini mencerminkan semangat Kompas untuk tetap relevan di era digital dengan menghadirkan jurnalisme berkualitas di berbagai platform. Slogan ini menekankan nilai-nilai seperti wawasan, ketulusan, keberanian, dan keberdayaan masyarakat untuk menjadi lebih bijaksana.

Ada juga Penunjuk Arah

Meski bukan tagline resmi dalam bentuk slogan pendek, konsep “penunjuk arah” telah jadi identitas inti Kompas sejak awal berdirinya, sebagaimana tercermin dalam nama “Kompas” pada 1965. Konsep ini sering disebut dalam berbagai konteks untuk menggambarkan peran Kompas sebagai panduan moral dan intelektual bagi masyarakat Indonesia.

Lalu dengan seabreg slogan keren dan gagah itu, bagaimana mungkin Kompas menurunkan artikel banjir pujian bagi Aguan? Publik terperangah. Apa iya Kompas tidak tahu sepak terjang Aguan? Apa betul Kompas tidak tahu kezaliman luar biasa Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) kepada warga Kabupaten Tangerang? Bukankah, paling tidak dalam tiga tahun terakhir, kita dijejali begitu banyak informasi seputar kejahatan Aguan dan PIK 2-nya?

Banyak laporan menunjukkan, lahan rakyat diambil dengan harga sangat murah, Rp30 ribu sampai Rp50 ribu per meter. Lalu dijual kembali dengan harga fantastis, Rp30 juta hingga Rp60 juta/m². Pemilik yang menolak melepas lahannya dihadapkan pada kriminalisasi. Nama-nama seperti Charlie Chandra dan Haji Fuad jadi contoh nyata. Mereka korban persekongkolan Aguan, BPN dan aparat polisi. Mereka diadili, bahkan dipenjara. Jaksa Penuntut Umum (JPU) baru saja menuntut Charlie dengan hukuman penjara 5 tahun. Keterlaluan!

Tak berhenti di situ. PIK 2 juga mengurug sawah, tambak, jalan, bahkan alur sungai, walau pembebasan lahannya belum lunas atau malah belum dibayar sama sekali. Ada pula kisah pagar laut yang menutup akses masyarakat pesisir. Rakyat kehilangan mata pencaharian. Rakyat tercerabut dari kehidupannya.

Semua ini bukan cerita bisik-bisik. Liputan tentang gugatan Rp612 triliun terhadap Jokowi dan Aguan, tudingan korupsi PSN PIK 2, dan pembatalan sertifikat di zona pagar laut, pernah muncul di Kompas sendiri maupun media arus utama lain. Bahkan wartawan Kompas kerap hadir meliput di sidang-sidang perkara itu.

Lalu mengapa kini Kompas seolah menjadi corong pencitraan sang Taipan? Apakah integritas jurnalistik bisa dibarter dengan pemasukan iklan? Apakah firewall redaksi sudah bobol oleh godaan uang, yang besar?

Media memegang amanah besar: menjadi pilar demokrasi, penegak kebenaran, dan pembela rakyat kecil. Kode Etik Jurnalistik menegaskan: wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional untuk memenuhi hak masyarakat memperoleh informasi yang benar. Informasi yang menyaru sebagai berita, padahal iklan, jelas mencederai hak publik.

Dampaknya bukan sekadar kredibilitas Kompas yang tercoreng. Ini soal kepercayaan publik terhadap media arus utama. Sekali publik merasa dibohongi, keretakan itu sulit dipulihkan. Masyarakat akan makin skeptis. Apalagi di era banjir informasi, saat batas antara fakta, opini, dan propaganda makin kabur.

Kita semua tahu, bisnis media memang sulit. Iklan adalah sumber napas. Tapi ketika demi iklan media menutup mata terhadap rekam jejak pelanggaran yang justru pernah ia laporkan sendiri, itu artinya media telah meninggalkan misi sucinya. Ia tak lagi berpihak pada kebenaran. Ia sudah takluk pada kepentingan ekonomi.

Kompas masih punya kesempatan memperbaiki diri. Klarifikasi terbuka. Permintaan maaf kepada pembaca. Juga komitmen mempertegas batas antara iklan dan berita adalah langkah awal. Lebih dari itu, Kompas harus kembali menghidupkan idealismenya: seperti berbagai jargonnya yang gagah dan memabukkan itu.

Media tanpa integritas hanyalah papan pengumuman bagi mereka yang punya uang dan kuasa. Dan ketika media memilih diam atau malah memoles wajah para penindas rakyat, sejarah akan mencatatnya sebagai pengkhianatan terhadap nurani bangsa.[]

[Edy Mulyadi, Wartawan Senior, tinggal di Jakarta]

pasang iklan di sini