Peluang News, Jakarta-Di tengah tekanan ekonomi global dan lonjakan impor produk jadi, sektor industri manufaktur nasional masih menunjukkan tanda-tanda kontraksi. Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada Mei 2025 tercatat di level 47,4, naik tipis dari bulan April yang berada di angka 46,7.
“Survei menunjukkan adanya penurunan pesanan baru di bulan Mei akibat lesunya permintaan, terutama ekspor ke Amerika Serikat karena dampak tarif Trump,” ujar Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arief, dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (2/6).
Febri menjelaskan, hambatan ekspor juga diperburuk oleh keterbatasan kapal pengangkut dan cuaca buruk. “Volume produksi anjlok, sementara harga bahan baku terus naik. Kompetitor bisa efisiensi, kita justru tertekan,” tambahnya.
Meski begitu, laporan S&P Global menyebut pelaku industri tetap percaya diri dan optimis akan pemulihan. Hal ini tercermin dari tren penambahan tenaga kerja yang terus berlangsung selama enam bulan terakhir.
“Sampai triwulan I 2025, ada 359 perusahaan yang sedang membangun fasilitas produksi, dengan serapan tenaga kerja hampir 98 ribu orang,” kata Febri. Ia menegaskan angka ini jauh lebih tinggi dibanding data pemutusan hubungan kerja (PHK) yang beredar di publik.
“Kami empati terhadap PHK dan penutupan pabrik, tapi data ini juga menunjukkan optimisme terhadap masa depan industri nasional,” tegasnya.
Pemerintah, lanjutnya, telah menyiapkan berbagai program untuk pekerja terdampak PHK, seperti pelatihan ulang (upskilling), wirausaha industri baru, hingga relokasi kerja ke perusahaan terdekat.
Febri juga menyampaikan, pemerintah tengah mendorong insentif pajak penghasilan (PPh) 21 sebesar tiga persen bagi sektor padat karya. “Kami harap ini segera keluar agar bisa menopang daya beli dan produktivitas pekerja industri,” ujarnya.
Ia menambahkan, kebijakan afirmatif juga hadir lewat Perpres No. 46 Tahun 2025 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. “Belanja pemerintah wajib memprioritaskan produk manufaktur dalam negeri. Produk impor hanya ada di prioritas kelima,” jelasnya.
Kemenperin juga sedang mereformasi tata cara penghitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) agar lebih sederhana dan murah. Tujuannya, agar makin banyak produk dalam negeri bersertifikat TKDN yang dibeli oleh pemerintah, BUMN, dan BUMD.
Saat ini, ada 14.030 perusahaan dengan produk TKDN yang aktif diserap oleh belanja pemerintah dan BUMN, menyerap sekitar 1,7 juta tenaga kerja. “Kebijakan ini menyelamatkan banyak industri dari risiko penutupan dan PHK,” tutur Febri.
Dalam semangat memperingati Hari Lahir Pancasila, Febri mengajak semua pihak di sektor industri untuk mengutamakan gotong royong. “Jangan ego sektoral. Kita harus bersatu, membangun ekonomi dan menyejahterakan rakyat. Industri manufaktur siap mendukung target pertumbuhan ekonomi 8 persen di tahun 2029 seperti visi Presiden Prabowo,” pungkasnya.
Sementara itu, Ekonom S&P Global Market Intelligence, Usamah Bhatti, menyebut bahwa penurunan PMI Indonesia disebabkan oleh melemahnya permintaan baru selama hampir empat tahun terakhir. “Tapi perusahaan masih percaya diri. Mereka tambah tenaga kerja dan yakin kondisi ini akan segera membaik,” ungkap Usamah.