hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Kemenkeu Diminta Kaji Ulang Kebijakan BMAD

Kemenkeu Diminta Kaji Ulang Kebijakan BMAD
ilustrasi toko keramik/dok.@ceramictiles001

Peluang, Jakarta – Pengamat ekonomi Faisal Basri menilai penerapan kebijakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) sebesar 100%-199% terhadap produk keramik asal China terkesan diputuskan secara terburu-buru hanya untuk mengejar waktu sebelum terjadi pergantian Kabinet pada Oktober mendatang.

Oleh karena itu, dia meminta Kementerian Keuangan untuk mengkaji ulang keputusan tersebut.

“Keputusan ini tentu menimbulkan beberapa pertanyaan tentang motif di balik penerapan kebijakan tersebut,” ujarnya baru-baru ini.

Faisal mengatakan bahwa keputusan penerapan BMAD tersebut menjadi catatan bagi Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu.

Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) pada awalnya telah melakukan kajian yang menghasilkan angka BMAD di bawah 40%. Namun kajian ini kemudian ditolak dan pada kajian berikutnya besaran BMAD menjadi jauh lebih tinggi.

Dalam perbincangannya di kanal youtube terbaru Rhenald Kasali, Faisal mengatakan penerapan kebijakan BMAD produk keramik asal China tersebut berdampak langsung pada pasar impor, karena perusahaan umumnya tidak bersedia melakukan impor akibat dari tarif yang tinggi tersebut. Hal itu mengakibatkan terjadinya kelangkaan pasokan impor yang berpotensi menyebabkan kenaikan harga barang di dalam negeri karena ketidakseimbangan suplai dan permintaan.

Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (ASAKI) sebelumnya telah memberikan komitmen untuk tidak menaikan harga keramik di pasar. Tetapi, keputusan untuk menaikkan harga sepertinya tidak dapat terelakkan karena terjadi penurunan pasokan di pasar.

Faisal menambahkan jika Tiongkok melakukan retaliasi, dampak negative yang akan terjadi tidak hanya akan dirasakan oleh industri keramik saja, namun juga industri lain seperti sawit, batu bara, kertas, hingga nikel.

Dia mengatakan permasalahan utama yang dihadapi industri keramik dalam negeri bukanlah impor produk porselen. Menurutnya, perlu dikaji lebih lanjut untuk mengetahui penyebab banyaknya perusahaan yang bangkrut. Hal semacam itu menurut dia tidak bisa semata dilihat hanya sebagai dampak dari kebijakan impor.

“Yang perlu diingat juga adalah terkait dengan dampak dari pandemi COVID-19, dimana bisnis yang pada saat Pandemi COVID-19 juga terpukul kemudian mengalami recovery.

Di Indonesia, industri keramik lebih banyak berfokus pada produksi keramik merah, yang tidak terkena dampak impor secara langsung. “Yang dipermasalahkan porselen padahal produksi Indonesia keramik tanah merah. Ini tidak ada impor, namun persaingan dalam negeri yang cukup banyak ada 20-30. Tapi yang disalahkan keramik impor,” ujar Faisal.

“Analisis KADI perlu diperkuat untuk menghindari pengusaha yang bisa menjustifikasi data yang tidak akurat untuk keuntungan pribadi.” (Aji)

Baca Juga: Kemenkeu Akan Terbitkan Aturan Bea Masuk Anti Dumping untuk Lindungi Industri Dalam Negeri

pasang iklan di sini