BANDUNG—–Kawasan Binong Jati, Kota Bandung sejak 1970-an sudah dikenal menjadi setra perajin rajut. Sebagian besar warga di wilayah yang terdiri dari 10 RW ini terjun menjadi ke dunia rajutan. Dalam perjalanannya para perajin ini menghadapi berbagai krisis dan hanya sebagian mampu bertahan.
Eka Jaya Rahmat terpanggil hatinya untuk melanjutkan usaha keluarganya yang kandas karena berbagai masalah menyangkut keuangan, seperti terlilit utang bank. Pada 2012 alumni sebuah sekolah tinggi ekonomi di Bandung ini mendirikan CV Eka Jaya Mandiri dengan modal dasar hanya Rp15 juta.
Pria kelahiran 1990 ini menyadari ia harus meluaskan usahanya tidak lagi dengan cara tradisional, karena jumlah SDM yang pandai merajut juga semakin berkurang. Dia menggandeng beberapa mitra seperti Jasaraharja, Jasa Marga, Pindad, dan Angkasa Pura sebagai pemberi modal.
Dia juga menggandeng salah satu penyuplai bahan baku di Kota Bandung juga bekerja sama dengan Inkubator Bisnis Kadin Bandung dan Universitas Pasundan Bandung. Hasilnya sejak 2015, usaha hanya mempunyai aset sekitar Rp178 juta melesat menjadi Rp500 juta-an pada 2019 ini.
“Tetapi itu termasuk rumah produksi dan mesin rajut yang dijalankan dengan komputer. Hasilnya produksi meningkat, satu hari mesin ini menghasilkan 100 piece produksi seperti sal atau kupluk,” ungkap Eka ketika dihubungi Peluang, Rabu (21/8/19).
Omzet usahanya berkisar Rp100 juta per bulan. CV Eka Jaya juga sudah beberapa kali ekspor ke negeri jiran produk merchandise seperti sal atau kupluk. Namun belum besar, baru sekitar seribuan pieces. Itu pun tidak setiap bulan.
“Kini kami melakukan pemasaran secara daring. Kami juga dibantu distributor untuk disalurkan ke sentra seperti Tanah Abang,Jakarta dan Surabaya. Walaupun penjualan ke sentra itu sudah berkurang. Kalau dulu bisa 80 persen, kini hanya 30 persen dan itu dibantu penjualan daring,” tutur Eka.
Eka tidak mau sendirian. Dia juga mendorong para perajin di kampungnya untuk bangkit kembali. Di antaranya mendirikan Kampung Rajut sebagai destinasi wisata beberapa tahun lalu dan dia didaulat menjadi Kepala Kampungnya.
Wisatawan yang datang tidak hanya bisa melihat sendiri hasil rajutan, tetapi juga bisa menemukan homestay alias warga menyediakan kamar di rumahnya untuk tempat menginap dengan tarif hanya Rp70 ribu per malam.
“Awalnya hanya satu bus per bulan yang berkunjung, kini setiap minggu ada bus berkunjung. Jumlah perajin yang di bawah koordinasi saya ada 400-an. Namun jumlah perajin seluruhnya ribuan,” ungkap Eka.
Sebagai catatan hngga 2017 sentra rajut Binong Jati memproduksi 980.000 lusin produk rajut per tahun dan sebagian dipasarkan ke beberapa kota besar di Indonesia. Sentra Rajut Binong Jati telah memiliki lebih dari 2.000 tenaga kerja (Irvan Sjafari).