DEPOK—-Gerbang Sekolah Master terletak di pintu sebuah gang di Jalan Raya Margonda, Depok sepintas tampak sepi ketika saya tiba, Jumat (10/8/2018).
Tetapi baru masuk seratus meter tampak sejumlah boks bekas mobil kontainer disusun bertingkat digunakan untuk sekolah bagi orang-orang yang tidak mampu.
Begitu masuk lebih dalam lagi lebih banyak boks kontainer yang tersusun horisontal, maupun berupa panggung. Sebuah sekolah alternatif untuk anak-anak yang tidak mampu mulai dari tingkat TK hingga SMA. Begitu saya dengar cerita dari teman-teman dan para sopir angkot yang tadi saya tumpangi dalam perjalanan ke tempat ini.
Tapi saya kemari bukan untuk mengamati sekolah ini, namun untuk menemui Deliana, 44 tahun, seorang penjaja makanan jajanan di halaman TK Master. Ibu dari dua anak ini salah seorang dari sekitar 15 orang binaan dari UKM Center Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI di wilayah itu.
“Saya sudah sepuluh tahun jadi binaan. Awalnya saya dibantu Rp500 ribu untuk bisa membuka lapak jual makanan untuk jajanan seperti gorengan, indomie, nasi goreng. Dulu saya jualan dengan cara berkeliling dengan kantong kresek,” tutur perempuan kelahiran 1974 ini.
Deliana kemudian mendapat bantuan PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan) atau CSR dari BUMN yang disalurkan pihak UKM Centre sebesar Rp5 juta untuk mengembangkan usahanya pada 2009. Dengan berjualan itu ia membantu mencari nafkah, sementara suaminya berjualan roti bakar.
“Dulu omzet saya Rp150 ribu, kini Rp400 ribu per hari. Dari jumlah itu sebesar Rp200 ribu disimpan sebagai tabungan. Dari berjualan kami menyekolahkan anak di sebuah Pondokpesantren di Cipayung, Jakarta Timur,” ujar perempuan asal Jambi ini.
Kini pinjaman PKBL sudah lunas. Dia bermaksud meminjam lagi untuk mengembangkan usaha suaminya.
Saya juga menemui Mega, 48 tahun dan Nina, 40 tahun pedagang makanan di sekitar sekolahan itu yang juga mendapatkan bantuan dari UKM Centre. Mega mampu meruap omzet Rp400 per bulan dan bisa menghidupi dua anaknya, begitu juga Nina. Sang suami yang menganggur ikut membantu dagangannya
“Kami mendapat bimbingan secara berkala dari kampus,” kata Mega.
Deliana, Mega dan Nina merupakan para pedagang yang disebut oleh Marketing and Public Relation UKM Centre FEB UI sebagai kelompok ultra mikro. Selain omzet mereka kecil, umumnya binaan dari kelompok ini bukan bankcable (akrab dengan bank).
“Kami membantu mereka yang tidak punya akses seperti ini agar naik kelas,” kata Dewi kepada Peluang beberapa waktu lalu.
Kementerian Keuangan sendiri sejak beberapa tahun lalu mempunayi program penyaluran kredit bagi pelaku usaha sangat kecil atau ultra mikro ini untuk mengatasi ketimpangan. Dengan program ini pemerintah berharap bisa mengatasi pengangguran dan menambah industri rumahan ( Irvan Sjafari).