checkup-dokter keuangan
checkup-dokter keuangan
octa vaganza
Fokus  

Jalan Panjang Pendirian LPS Koperasi

Ada tiga pilar yang diperlukan untuk menuju sistem penjaminan koperasi yaitu sistem pengaturan, tata kelola koperasi, dan sistem pengawasan. LPS Koperasi bisa dengan bantuan intervensi negara atau melalui asosiasi yang diinisiasi oleh internal gerakan koperasi.

Koperasi merupakan lembaga ekonomi yang memiliki sejarah panjang dalam dinamika sejarah ekonomi, sosial dan politik di Indonesia. Peran koperasi tidak bisa diabaikan dalam pencapaian pembangunan maupun penguatan inklusi keuangan. Namun sayangnya, dibanding entitas korporasi dan BUMN, koperasi masih tertinggal dalam ukuran aset maupun kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi.

Salah satu tantangan yang dihadapi adalah tingkat kepercayaan masyarakat. Secara umum publik lebih percaya lembaga perbankan dibanding koperasi. Tengok saja jumlah simpanan di masing-masing lembaga, ibarat bumi dan langit. Salah satu sebab tingginya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan adalah adanya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Halim Alamsyah, Ketua Dewan Komisioner LPS, tidak menampik kehadiran LPS yang didirikan pada 2004 itu berdampak positif pada bank umum dan bank perkreditan rakyat (BPR). Sesuai dengan fungsinya, LPS menjamin simpanan nasabah penyimpan. ‘Kehadiran LPS menumbuhkan kepercayaan pada industri perbankan karena simpanan nasabah dalam batas tertentu dijamin oleh LPS,” ujar Halim.

Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS, fungsinya adalah menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannnya. Tugas LPS adalah merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan; melaksanakan penjaminan simpanan; merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan; dan merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik. Melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik.

Best practices sistem penjaminan di industri perbankan sebenarnya bisa diadopsi oleh gerakan koperasi untuk menumbuhkan public trust. Namun hingga kini belum ada payung hukum yang mengatur LPS untuk koperasi. Para pegiat koperasi sendiri sebenarnya sudah mewacanakan pentingnya kehadiran LPS koperasi. Namun hingga kini, belum ada upaya yang terstruktur, sistematis, dan masif untuk mendirikan LPS koperasi.

Dalam pandangan Halim, sebelum sampai pada tahap penjaminan, setidaknya ada tiga pilar yang perlu diperhatikan pegiat koperasi.  Pertama, sistem pengaturan untuk memastikan usaha koperasi dapat berkelanjutan. Saat ini, dengan jumlah koperasi yang mencapai ribuan dan tersebar hingga pelosok negeri, sudahkah sistem pengaturan yang ada berjalan secara efektif.

Kedua, mekanisme bisnis di koperasi, termasuk forum pengambilan keputusan. Apakah sistem yang sudah  ada sekarang mencerminkan tata kelola yang baik. Selain itu, demokratisasi di koperasi yang selama ini diagung-agungkan apakah efektif dengan tuntutan dunia bisnis zaman now.

Ketiga terkait dengan sistem pengawasan. Selama ini apakah pengawasan koperasi sudah berjalan secara optimal di tengah masih banyaknya koperasi abal-abal yang merugikan nama baik  gerakan koperasi.

Para pengelola dan pegiat koperasi perlu menilai sejauh mana efektivitas ketiga pilar tersebut dijalankan untuk menumbuhkan public trust terhadap koperasi. Inilah titik tolak untuk memastikan sistem penjaminan koperasi nantinya dapat berjalan dengan baik.

Halim menambahkan, ada dua solusi untuk mempercepat berlangsungnya sistem penjaminan untuk anggota koperasi. Pertama adalah perjuangan secara vertikal dengan meminta peran negara untuk membentuk lembaga penjaminan koperasi. Modelnya bisa meniru Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC), sejenis LPS di Amerika Serikat yang fokus mengawasi dan menjamin simpanan nasabah bank-bank kecil. “Praktik FDIC cocok untuk pengawasan dan penjaminan koperasi, tinggal disesuaikan saja dengan kondisi di Indonesia,” ujar Halim.

Sekadar informasi FDIC yang dinaungi Undang-Undang Perbankan AS tahun 1933  lahir sebagai reaksi atas krisis tahun 1930-an yang terkenal sebagai Great Depression  di AS. FDIC bersifat independen dimana preminya didanai oleh bank-bank peserta penjaminan. FDIC menjamin tabungan, cek dan rekening deposito lainnya dan tidak menjamin saham, obligasi, atau reksadana meski ditawarkan melalui bank peserta.

Sama seperti FDIC, LPS pun lahir karena adanya krisis. Seperti diketahui, kelahiran LPS dilatari oleh krisis moneter 1998 yang berakibat pada likuidasi 16 bank. Akibatnya terjadi distrust di masyarakat. Berkaca dari sejarah pembentukan LPS yang melibatkan peran negara, prosesnya cukup berliku. Setidaknya butuh waktu 6 tahun sejak krisis moneter untuk lahirnya UU LPS pada 2004.

Untuk mengatasi krisis, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan diantaranya memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat (blanket guarantee). Hal ini ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.

Dalam perkembangannya, blanket guarantee dikhawatirkan dapat menyebabkan timbulnya moral hazard baik dari sisi pengelola bank maupun masyarakat. Oleh karenanya, program penjaminan tanpa batas itu perlu digantikan dengan sistem penjaminan yang terbatas.  Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengamanatkan pembentukan LPS sebagai pelaksana penjaminan dana masyarakat. Sejalan dengan amanat UU Perbankan tersebut, pada 22 September 2004, disahkan UU Nomor 24 tentang LPS yang berlaku efektif sejak 22 September 2005.

Selain melibatkan negara yang bersifat vertikal, sistem penjaminan dapat pula dilakukan secara horisontal. Cukup melalui asosiasi yang dibentuk dari koperasi sendiri. Model penjaminan bisa mengacu pada praktik seperti di perbankan. Cara ini dinilai Halim lebih cepat terealisasi asalkan tumbuh kesadaran kolektif  di koperasi. “Asosiasi koperasi dapat pula melaksanakan sistem penjaminan. Premi penjaminan nantinya dari koperasi, oleh koperasi dan untuk koperasi,” ujar Halim.

Pembentukan LPS Koperasi sangat tergantung dari komitmen para pengurus koperasi atau decision maker-nya. Apakah mau bersatu untuk menumbuhkan industri koperasi yang terpercaya melalui sistem penjaminan simpanan anggota atau tetap mempertahankan ego karena merasa koperasinya yang terbesar. (drajat).