PALEMBANG—Beberapa bangunan bersejarah di Kota Palembang difungsikan dengan baik, hingga bisa terpelihara. Salah satunya adalah bangunan yang kini menjadi kantor wali kota Palembang dahulunya merupakan kantor Ledeng.
Bangunanannya bergaya de stijl, abstrak, namun sebetulnya sederhana ditandai dalam horizontal dan vertikal dibangun pada 1928 dan selesai pada 1931. Biayanya konon setara dengan satu ton emas.
Penggagasnya dalah arsitek kondang masa Hindia Belanda Thomas Karsten. Pada akhir 1920-an, dia mendapat tugas mendesain pengembangan Kota Palembang. Arsitek yang mumpuni mengembangkan Semarang dan Bogor ini memiliki visi, pengembangan Palembang berakar pada sejarahnya, yaitu ketika Kesultanan Palembang berdiri yaitu, membangun di tepi Sungai Musi.
Karsten menggagas menyediakan sumber air bersih bagi warga Eropa di pinggiran Musi. Pasalnya kualitas air Sungai Musi buruk.
Inovasinya adalah membuat menara penampung air bersih.Namun yang mewujudkannya ialah Kepala Seksi Dinas Pembangunan Sipil Hindia Belanda, Ir Simon Snuyf. Bangunan ini dirancang tidak sekadar menampung air, namun di bawahnya difungsikan sebagai perkantoran untuk pemerintahan kota.
Tinggi bangunan 35 meter dengan kapasitas air yang bisa ditampung mencapai 1.200 meter kubik. Luas menara dan bangunan 250 meter persegi. Saat Jepang datang, ruang perkantoran dipakai sebagai kantor Syuco-kan (residen).
Pada 1956 digunakan sebagai kantor Wali Kota Palembang hingga sekarang. Gedung ini lokasinya di Jalan Merdeka, 22 Ilir, Bukit Kecil.
Pabrik Es Alwi Assegaf
Bangunan bersejarah yang cukup unik di Kota Palembang terletak di tepi Sungai Musi, tepatnya di Kompleks Kompleks Assegaf, Kelurahaan Tangga, 13 Ulu adalah Pabrik Es Alwi Assegaf. Di dinding bangunan ini berangka 1929 dan 1932. Bangunan ini menjadi saksi bisu sejarah sosial masyarakat, keturunan Arab.
Pabrik Es Alwi dari Sungai Musi-Foto: irvan Sjafari.Ceritanya bermula dari Habib Alwi dari Yaman, ketika usianya baru mencapai 10 tahun mengikuti ayahnya ke Batavia. Sayang, dalam perjalanan, Sang Ayah tercinta meninggal dunia. Saat Habib sebatang kara, sebelum kapal tiba di Batavia, ia turun di Mentok, Bangka.
Di tempat itu bertemu Habib Abdurahman Al Munawar, saudagar kapal yang menjual hasil bumi. Ternyata masih sahabat kakeknya. Pertemuan ini mengubah nasibnya. Alwi kemudian dibawa ke Palembang. Alwi kemudian membangun pabrik es, yang nama awalnya NV Juliana, berobah menjadi namanya pada masa pendudukan Jepang.
Rumah Limas
Pada mata uang Rp10 ribu lama, terdapat sebuah rumah adat yang disebut sebagai Rumah Limas. Rumah itu berada di belakang Museum Balaputera Dewa, Kota Palembang. Rumah panggung ini dibangun pada 1836, mulanya dimiliki seorang Arab bernama Sarip Abdurahman Al Habsi. Pada perkembangannya rumah itu dijual kepada Pangeran Betung.
Pondasi rumah panggung terbuat dari kayu ulen. Pemilihan kayu jenis ini bukan tanpa sebab mengingat kayu ulen mempunyai struktur yang kuat dan tahan air. Sementara bagian rumah yang lain seperti pintu, pagar, dan lantai terbuat dari kayu trambesi tanpa menggunakan satu pun paku.
Di dalam Rumah Limas ini terdapat perabotan dan meubel khasPalembang, mulai dari krusi, lemari, lampu-lampu gantung, hingga tempat tidur. Terdapat ukiran-ukiran berbentuk sulur dan bunga khas Palembang serta relief kehidupan masyarakat Palembang yang dipajang di dinding. Museum Balaputera Dewa dan Rumah Limas ini terletak di Jalan Sriwijaya I (van).