PALEMBANG—Ikon dari Ibu Kota Sumatera Selatan ini Jembatan Ampera, sekaligus menjadi bangunan bersejarah. Jembatan ini menghubungkan bagian hulu dan hilir kota yang sudah berdiri berabad-abad itu. Namun Palembang sebetulnya banyak menyimpan bangunan bersejarah yang terserak, mengungkapkan hibrida kebudayaan dari masyarakat yang telah bermukim di kota Mpek-mpek itu. Berikut beberapa di antaranya.
Masjid Agung Sultan Badaruddin
Salah satu peninggalan Kesultanan Palembang ialah Masjid Agung Sultan Mahmud Badadruddin. Masjid itu awalnya dibangun pada abad ke 17, namun sempat hancur ketika terjadi perang dengan VOC. Pada 1738 Sultan Mahmud Badaruddin membangun kembali masjid ini di lokasi yang sama dan selesai pada 26 Mei 1748.
Dari segi arsitektur masjid ini memadukan tiga budaya sekaligus, yaitu Nusantara, Eropa dan Tiongkok. Unsur Nusantara tampak pada ujung menara masjid berbentuk tumpeng, sementara pintu utamanya mencerminkan pengaruh Eropa, sementara pengaruh Tiongkok terwujud pada atap masjid berbentuk kelenteng.
Di depan masjid terdapat kolam yang bisa digunakan untuk mengambil air wudhu. Adanya kolam ini mengingatkan pada masjid kuno yang berada di Pulau Jawa, serta tempat lain di Nusantara. Masjid ini terletak di Jalan Jenderal Sudirman, 19 Ilir, Bukit Kecil, Kota Palembang.
Benteng Kutobesak
Benteng ini, mungkin hanya sedikit bangunan benteng yang dibangun bukan oleh penjajah Belanda. Benteng Kutobesak, namanya terletak tak jauh dari Jembatan Ampera dibangun oleh Sultan Badaruddin pertama (1724-1758), kemudian dilanjutkan oleh Mahmud Badaruddin II (1776-1803). Benteng ini dibangunselama 17 tahun, yaitu sejak 1780 hingga selesai pada 1797.
Panjang benteng ini mencapai 289 meter, lebar 184 meter, tinggi sekitar 10 meter. Semen perekat bata menggunakan batu kapur yang diambil dari daerah pedalaman Sungai Ogan ditambah dengan putih telur. Pembangunan benteng ini dengan putih telur ini mirip dengan Benteng Otanaha yang dibangun Kerajaan Gorontalo pada abad ke 16.
Pada saat peperangan melawan penjajah Belanda pecah pada 1819, terdapat sebanyak 129 pucuk meriam berada di atas tembok Kuto Besak. Sementara pada peperangan 1821, hanya ada 75 pucuk meriam di atas dinding Kuto Besak dan 30 pucuk di sepanjang tembok sungai.
Bangunan ini kini milik Kodam II Sriwijaya. Pelataran parkirnya hingga tepi Sungai Musi ramai dengan warga Palembang setiap akhir pekan.
Museum Sultan Badaruddin II
Tak jauh dari Benteng Kutobesak terdapat Museum Badaruddin II. Bangunan megah ini berkuran panjang 32 meter, lebar 17 meter.
Pemerintah Kolonial membangunnya sejak 1823 dan selesai pada 1825. Bangunan ini di atas lokasi Benteng Kuto Tengkuruk di mana di dalamnya terdapat Keraton Sultan Badaruddin II sebelum dihancurkan Belanda. Arsitekturnya merupakan paduan aritektur Eropa dan nusantara (indies).
Bangunan ini masa kolonial berfungsi sebagai rumah residen. Bangunan ini baru menjadi museum sejak 1984, di mana terdapat ratusan koleksi arkeologi dan sejarah mulai era Sriwjaya hingga kolonial, koleksi etnografi hingga seni rupa (van).