Rute penerbangan ke kota-kota Cina kini senyap. Berbagai maskapai tak mau ambil risiko. Kerugian global dunia penerbangan semula diprediksi IATA US$18 miliar, belakangan taksiran itu diperbaiki menjadiantara US$63 miliardanUS$115 miliar.
DAMPAK penyebaran wabah Covid-19 menghantam industri penerbangan dengan telak. Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) memprediksi, maskapai penerbangan di dunia akan merugi US$113 miliar atau setara Rp1.606 triliun, jika penyebaran virus corona baru itu berkelanjutan. “Dalam waktu kurang dari dua bulan, prospek industri penerbangan di sebagian besar dunia telah berubah secara dramatis menjadi lebih buruk,” ujar CEO IATA, Alexandre de Juniac.
Sejumlah maskapai penerbangan Eropa terpaksa menyia-nyiakan ribuan galon bahan bakar untuk melakukan penerbangan tanpa penumpang. Seperti dikutip Okezone.com, hal ini terpaksa dilakukan agar tidak kehilangan slot penerbangan bila pesawat dibiarkan parkir di darat.
Maskapai penerbangan Malaysia, Malindo Air, yang merupakan anggota Lion Air Group, memangkas gaji karyawannya hingga 50 persen. Konsekuensinya, hari kerja karyawan juga disederhanakan menjadi 15 hari dalam bulan. Kebijakan tersebut mau tak mau harus diambil untuk menutupi kekurangan pendapatan.
Dari maskapai lokal, wabah yang total sudah melanda 160 negara itu mulai menggerus pendapatan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Penciutan income terbesar terutama akibat penutupan rute luar negeri. “Dampak terbesar kami berpangkal dari penutupan penerbangan ke Cina, penutupan penerbangan umrah, dan pengurangan jadwal terbang ke Singapura,” kata Irfan Setiaputra, Dirut Garuda Indonesia.
Menurut pengamat penerbangan, Gerry Soejatman, “Saya yakin pasti ada maskapai yang kolaps di Indonesia. Untungnya, mayoritas pasar kita kan domestik. Buat maskapai Indonesia, ekspos dengan penerbangan internasional tidak begitu besar.” Tanpa menyebut angka prediksi kerugian akibat wabah corona, “Sudah pasti ini merugikan penerbangan. Berapa besarnya, belum tahu. Angka globalnya saja direvisi terus. Angka prediksi IATA tadinya US$18 miliar, lalu diubah menjadi antara US$63 dan US$115 miliar. Ini angka yang sangat besar,” katanya.
Pihak Garuda Indonesia, melalui keterbukaan informasi kepada Bursa Efek Indonesia, tengah berupaya meningkatkan kapasitas penerbangan domestik. Yakni menggunakan pesawat lebih besar, yang biasanya digunakan untuk penerbangan internasional. Langkah lainnya, negosiasi untuk memperpanjang periode leasing dan menurunkan beban leasing; dan meningkatkan kinerja usaha lainnya terutama kargo.
Garuda telah menutup sementara seluruh penerbangan ke Cina sejak 5 Februari 2020. Maskapai nasional ini biasanya melayani 30 penerbangan/minggu. Rute-rute penerbangan tersebut berkontribusi sekitar 20 persen dari jumlah penumpang secara internasional, dan 7 persen dari jumlah penumpang Garuda Indonesia Group.
Meski begitu, rute penerbangan dari dan menuju Arab Saudi untuk penumpang pemegang visa, selain umrah dan turis, masih berjalan. Layanan ini juga mengakomodir kepulangan para jemaah umrah.
Garuda Indonesia menyatakan masih melayani 24 penerbangan rute Arab Saudi setiap minggunya. Ada 18 kali penerbangan Jakarta-Jeddah, dan 6 kali Jakarta-Madinah. Sedangkan untuk rute Singapura, Garuda melakukan pengurangan frekuensi penerbangan dari yang sebelumnya 9 kali per hari menjadi 5 sampai 3 kali per hari. Normalnya, penumpang dari dan menuju Singapura sekitar 5,6 juta kursi dari 580 penerbangan per pekan.
Selain dalam rangka antisipasi penyebaran virus Covid-19, pengurangan frekuensi ini juga dilakukan sebagai upaya menyesuaikan supply and demand dari kondisi pasar. Dalam situasi pasar internasional yang redep seperti sekarang, mau tak mau Garuda harus menubah orientasi dan menggarap segmen domestic dengan serius.●(dd)