hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Industri Musik RI Perlu Didukung agar Dampak Ekonominya Maksimal

Peluangnews, Jakarta – Industri musik di Indonesia kembali bergeliat paska pandemi covid-19. Pelonggaran mobilitas masyarakat turut mengerek laju pertumbuhan industri kreatif tersebut melalui gelaran konser di berbagai wilayah. Potensi ekonomi yang diraup dari kegiatan itu terbilang cukup besar.

Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) Mohamad Dian Revindo menilai, dukungan untuk perkembangan industri musik di Tanah Air diperlukan agar dampak ekonomi yang timbul menjadi lebih optimal.

Dukungan pertama yang dapat dilakukan pemerintah ialah dari sisi hulu. “Pengambilan tindakan tegas terhadap pembajakan yang masih marak diperlukan agar kreativitas pencipta serta investasi di bidang musik dapat terpacu dan terlindungi, terutama melalui fasilitasi dan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI),” ungkap Dian, yang dikutip dari releasenya, pada Minggu (4/6/2023).

Kedua, peningkatan akses permodalan untuk industri musik juga perlu dipertimbangkan. Skema permodalan khusus diperlukan mengingat valuasi nilai ekonomi dari industri musik lebih sulit dibandingkan kegiatan ekonomi lain pada umumnya.

Ketiga, pemberian kemudahan dan insentif untuk penyelenggaraan festival musik juga diperlukan untuk meningkatkan citra dan variasi atraksi di kawasan pariwisata. Keempat, pemerintah juga perlu tegas menindak penyelenggaraan pergelaran yang terbukti tidak berjalan kondusif, seperti terjadinya kerusuhan atau pelanggaran etika.

“Bagaimanapun, festival musik juga memiliki potensi dampak negatif yang perlu dikendalikan, misalnya perbenturan antara kultur lokal dengan perilaku penonton selama festival berlangsung,” kata Revindo.

“Perlu dipastikan pergelaran musik tidak berbenturan jadwal dengan agenda penting dalam budaya lokal, dan dapat dipertimbangkan juga penyelenggaraan pergelaran yang berjarak dari pusat keramaian dan pemukiman penduduk,” lanjutnya.

Kelima, standardisasi kapasitas promotor dan penyelenggaraan acara juga patut dipertimbangkan untuk menjaga kualitas penyelenggaraan pergelaran musik di Indonesia.

Dari catatan LPEM, industri musik global diperkirakan kembali tumbuh dan diperkirakan bernilai US$65 miliar pada 2023. Pada 2020, pandemi covid-19 yang diikuti dengan pembatasan sosial di berbagai negara telah mengakibatkan penurunan bisnis live music senilai US$30 miliar secara global.

Seiring dengan berakhirnya pandemi global dan pelonggaran mobilitas di berbagai negara, industri musik global telah kembali bangkit. Pada 2022, diperkirakan industri musik berbasis rekaman mencatat pendapatan senilai US$26,6 miliar.

Nilai tersebut naik 9% dari tahun sebelumnya, dan menyambung catatan pertumbuhan positif selama delapan tahun berturut-turut. Sekitar 67% dari nilai ini disumbangkan oleh pendapatan musik streaming yang ditandai dengan 10,3% pertumbuhan subscription.

Namun demikian, Revindo menilai, pesatnya pertumbuhan bisnis musik streaming tetap belum bisa menggantikan gelaran konser. Pada 2020 lalu tercatat bisnis ini hanya mampu menjual 13,4 juta tiket secara global, atau turun nyaris 80% akibat pandemi. Pada tahun 2022, bisnis live music diperkirakan telah mulai bangkit, dan akan meningkat pesat pada 2023 karena adanya pent-up demand.

Bisnis live music juga mulai mendapatkan kembali momentumnya di Indonesia pasca pandemi. Sepanjang 2022, terdapat beberapa konser musik yang cukup besar seperti PestaPora, We The Fest, Soundrenaline, Synchronize Fest, Hammersonic Festival, Djakarta Warehouse Project 2022, belum termasuk berbagai konser individu dan konser yang bersifat lebih lokal.

Salah satu agenda konser yang menyedot perhatian publik adalah band asal Inggris, Coldplay, yang direncanakan akan digelar 15 November mendatang. Pada pertengahan Mei lalu terjadi perburuan tiket (ticket war), di mana sekitar 50 ribu tiket dijual dengan mekanisme online.

Meskipun dijual dengan harga cukup mahal, berkisar Rp800 ribu hingga Rp11 juta, tetapi terdapat sekitar 3,2 juta orang yang diperkirakan ikut memperebutkan tiket ini. Situasi ini diperparah dengan munculnya para reseller atau calo dan jasa titip yang menggunakan berbagai cara dan teknologi untuk memenangkan perebutan tiket tersebut.

Sebelum pandemi, penyelenggaraan konser dan pertunjukan live di Amerika Serikat sepanjang tahun 2019 diestimasikan memberikan dampak ekonomi senilai US$132,6 miliar, menciptakan lapangan kerja sebanyak 913 ribu pekerjaan dengan pendapatan tenaga kerja terkait sekitar US$42,2 miliar. Dampak langsung yang berasal dari pengeluaran operasional venue konser hingga pengeluaran penonton nonlokal (dari luar kota maupun luar negeri).

Selain pengeluaran untuk tiket, penonton nonlokal juga diperkirakan akan melakukan pengeluaran on-site dan off-site lainnya. Pengeluaran on-site untuk merchandise dan biaya parkir, sedangkan pengeluaran off-site untuk penginapan, transportasi, makanan dan minuman, pembelian di toko-toko lokal, kunjungan ke tempat hiburan lainnya. Industri ini di Amerika Serikat mampu menciptakan tambahan penerimaan pajak pusat senilai US$9,3 miliar dan pajak daerah senilai US$8,3 miliar sepanjang tahun 2019.

“Di Indonesia, penyelenggaraan acara musik sendiri juga telah dikenai pajak. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2015, pergelaran musik internasional dikenai pajak 15% per tiket,” terang Revindo.

Menurutnya, pajak hiburan diperkirakan menyumbang 1,65% penerimaan pajak daerah. Pertengahan tahun 2023, misalnya, pemerintah daerah di Indonesia telah membukukan penerimaan Rp640,8 miliar dari pajak hiburan, meningkat 68,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Di DKI Jakarta, pajak hiburan dari aktivitas di Kecamatan Tanah Abang, termasuk Senayan dan Gelora Bung Karno pada Januari 2023 sudah mencapai Rp29 miliar.

Selain berdampak positif terhadap perekonomian, penyelenggaraan festival musik di beberapa negara juga telah berdampak positif terhadap popularitas dan branding kota penyelenggara dalam taraf nasional maupun internasional. (Ajie)

pasang iklan di sini