JAKARTA—-Ekonom senior Institure for Development of Economics and Finance (INDEF) Didik Rachbini mengungkapkan, RAPBN 2019 dapat dipandang realistis atau populis dengan melihat bagian pemasukan dan pengeluaran belanja negara.
Hingga saat ini terdapat beberapa masalah fiksal yang dihadapi Indonesia, seperti Pada sisi pendapatan terkendala oleh pengembangan pajak yang tersendat, sementara di sisi belanja terjadi pemborosan di lini birokrasi, belanja pusat dan daerah.
“Belanja daerah 80-90 persen habis untuk anggaran rutin sehingga untuk pembagunan tidak bisa didukung oleh anggaran ini,” ujar Didik dalam diskusi publik bertema “RAPBN 2019: Realistis vs Populis” di ITS Tower, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu, (29/8/2018).
Menurut Didik perekonomian negara dijangkiti oleh tiga penyakit, yaitu boros anggaran, politik kekuasaan, dan intelektual yang tidak mengkritisi.
“Boros terjadi, karena adanya peri laku politik kekuasaan pemerintah, birokrasi dan parlemen untuk selalu memaksimalkan budget. Padahal seharusnya pemerintah di dalam pasar, bisa sama persis dengan perilaku pengusaha untuk memaksimalkan keuntungan dalam dimensi yang berbeda,” papar Didik.
Didik mengutip data dari Kementerian Keuangan mengenai realisasi APBN 2017 menyebutkan, postur belanja menurut jenis, belanja pegawai menyita 26,25 persen, sementara belanja barang 21,7 persen. Kondisi hampir serupa terjadi pada 2016 di mana 26,44 persen anggaran dipakai untuk belanja pegawai dan belanja barang 22,5 persen.
Penyakit kedua ialah, terjadinya empire builder, perilaku politik dan partai politik untuk membangun kerajaan kekuasaan di dalam pemerintah, birokrasi dan sistem politik dengan konsekwensi anggaran yang besar.
“Pengeluaran yang populis semakin besar tetapi jauh dari produktivitas sektoral dan nasional,” ucap dia.
Didik juga menyoroti saat ini tidak banyak lagi intelektual yang bicara lantang mengkritisi pemerintah. Padahal nilai tinggi intelektual itu ada pada titik kritisnya. Hal itu terjadi, sebab gencarnya propaganda politik halus yang menggoda intelektual.
Propaganda ini seperti iklan yang biasa, namun ada kejutan di dalamnya sehingga mudah masuk ke pemikiran khalayak. Akan tetapi kejutan itu sebenarnya info yang merusak. Padahal iklan atau propaganda seperti itu sudah dilarang oleh dunia.
“Sangat disayangkan pemimpin dan pejabat negara kita kerap melontarkan propaganda tersebut. Akhirnya melahirkan intelektual yang tertipu oleh data-data dan tergoda sehingga tidak kritis, justru sebaliknya mengupayakan segala cara untuk pembelaan,” pungkas dia (van).