JAKARTA—–Nota Keuangan RAPBN 2020 telah disampaikan Pemerintah kepada DPR pada 16 Agustus lalu mendapatkan catatan kritis peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef). Baik dari sisi penerimaan maupun sisi belanja negara dirancang mengalami peningkatan, sementara dari isi pembiayaan ditargetkan mengalami penurunan.
Pendapatan negara dalam RAPBN 2020 direncanakan sebesar Rp2.221,5 triliun, atau naik sebesar 9,40% dibandingkan Outlook 2019. Kenaikan ini dilakukan melalui kenaikan penerimaan perpajakan sebesar 13,31%, namun dengan penurunan penerimaan negara bukan pajak yang sebesar 7,0%.
Menurut Direktur Esekutif Indef Tauhid Ahmad sejumlah target akan sulit tercapai. Di antaranya adalah penerimaan pajak terlalu optimis. Pasalnya pertumbuhan alamiah penerimaan perpajakan kurang dari 9% per tahun, serta kepatuhan perpajakan yang cenderung turun sejak 2017 yang lalu dari 72,6% (2017) menjadi 67,4% pada 2019.
“Soal pajak seperti pisau bermata dua. Terlalu rendah tidak adil bagi masyarakat, terlalu tinggi memberatkan ekonomi. Targetnya 13, 36 persen. Target terlalu tinggi belum pas dan membebani perekonomian,” ujar Tauhid dalam diskusi “RAPBN 2020: Solusi atas Perlambatan Ekonomi?” di kantor Indef, Senin (19/8/19).
Target yang pas seharusnya dihitung dari pertumbuhan ekonomi. Sekarang pertumbuhan ekonomi 5.05% dengan inflasi 3,1%,. Tauhid menyebut target yang realisti tidak lebih dari 10 persen.
Lanjut Tauhid Dalam RAPBN 2020, Belanja Negara direncanakan akan mencapai Rp 2.528,8 triliun, atau naik sebesar 7,99% dari Outlook 2019. Namun, kenaikan ini diukti pula dengan kenaikan belanja non produktif yakni belanja Non Kementrian/Lembaga (K/L) sebesar 16,8 persen.
“Kami menilai penting untuk melihat kembali alokasi belanja Non K/L yang mengorbankan belanja produktif pada belanja K/L dan transfer ke daerah dan dana desa,” kata Tauhid.
Ungkap dia lagi belanja K/L dalam RAPBN 2020 direncanakan sebesar Rp884,5 triliun atau lebih tinggi dibandingkan Belanja Transfer ke Daerah dan Dana Desa yang sebesar Rp858,8 triliun.
“Proporsi yang Iebih besar belanja K/L dibandingkan belanja Transfer Ke Daerah dan Dana Desa sejak tahun 2017 lalu hingga saat ini menandakan komitmen pemerintah terhadap wilayah pinggiran dan daerah patut dipertanyakan,” tutur Tauhid lagi.
Tauhid menilai kualitas belanja negara memburuk dalam RAPBN 2020. Ini dilihat dari proporsi belanja modal yang cenderung turun. Belanja modal dalam RAPBN 2020 hanya 11,2% atau turun dibandingkan Outlook 2019 yang sebesar 11,4%.
“Ini jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2015 yang mencapai 18,2%. Sebaliknya, proporsi belanja pegawai meningkat menjadi 24,9% pada RAPBN 2020 atau lebih tinggi dibandingkan tahun 2019 yang sebesar 24,6% atau tahun 2015 yang sebesar 23,8%,” imbuh Tauhid lagi (van).