Peluang News, Jakarta – Harga minyak naik pada hari perdagangan Selasa (9/1), Andrew Fischer, analis dari DCFX mencatat, minyak mentah (WTI) untuk penyerahan Februari diperdagangkan pada USD72,16 per barrel, meningkat 1,96%.
“Para analis meyakini harga minyak mentah memiliki support pada level USD69,28 dan mungkin menghadapi resistensi pada USD74,24,” kata Fischer, dalam keterangannya, Rabu (10/1/2024).
Peningkatan harga minyak ini sejalan dengan kondisi pasar global dan faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi industri minyak.
Fischer melihat ketidakpastian geopolitik dan kenaikan permintaan energi dari beberapa negara besar menjadi faktor pendorong dalam meningkatnya harga minyak saat ini.
Di New York Mercantile Exchange, harga minyak Brent untuk penyerahan Maret juga menunjukkan kenaikan sebesar 1,85%, diperdagangkan pada USD77,53 per barrel.
Perbandingan antara kontrak minyak Brent dan minyak mentah menunjukkan spread sebesar USD5,37 per barrel, menciptakan dinamika yang menarik di pasar minyak global.
Fischer menekankan pergerakan harga hari ini mencerminkan sentimen pasar yang optimistis terhadap prospek industri minyak.
“Namun fluktuasi pasar selalu mungkin terjadi, dan para investor harus tetap waspada terhadap perubahan kondisi pasar yang mendadak,” kata Fischer.
Sementara itu, dalam konteks nilai tukar, Indeks Dolar AS Berjangka menguat sebesar 0,33% dan diperdagangkan pada USD102,26.
Kenaikan ini dapat memengaruhi harga minyak karena adanya hubungan invers atau berkebalikam antara dolar AS dan harga komoditas seperti minyak.
“Pelaku pasar sebaiknya memantau dengan cermat perubahan dalam indeks dolar AS untuk mendapatkan wawasan lebih lanjut tentang potensi pergerakan harga minyak ke depan,” kata Fischer.
Fischer memproyeksikan tren kenaikan harga minyak akan terus berlanjut, tetapi dengan stabilitas yang lebih tinggi, seiring dampak pemotongan harga yang signifikan oleh Arab Saudi terhadap penjualan minyak.
Menurut dia, pemotongan harga besar-besaran yang dilakukan oleh Arab Saudi dapat menimbulkan kekhawatiran terkait permintaan yang masih lesu.
Sebagai negara pengekspor minyak terbesar di dunia, tindakan Arab Saudi memangkas harga ekspor minyaknya ke Asia dan beberapa wilayah Eropa telah menurunkan harga ekspor Asia ke level terendah dalam 27 bulan terakhir.
Fischer juga menyoroti data Reuters yang menunjukkan bahwa produksi minyak dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya (OPEC+) meningkat secara tak terduga pada bulan Desember.
“Meski Arab Saudi dan Rusia melakukan pemangkasan produksi, peningkatan ini sebagian besar diimbangi oleh peningkatan produksi dari anggota lain dalam kelompok produsen,” kata Fischer.
Pertentangan mengenai pemangkasan produksi juga mencuat, terutama dengan keluarnya Angola, anggota OPEC+, dari grup pada bulan Desember 2023.
Hal ini menimbulkan keraguan mengenai sejauh mana kelompok ini dapat terus mendukung harga minyak. Situasi ini dapat menciptakan ketidakpastian dan fluktuasi dalam pergerakan harga minyak ke depan.
“Dengan berbagai faktor tersebut, diperkirakan harga minyak (WTI) akan tetap naik namun dengan tingkat stabilitas yang lebih tinggi, mengingat kondisi pasar global dan dinamika geopolitik yang mempengaruhi industri minyak saat ini,” kata Fischer. (Aji)