Kelas rawat inap 1,2 dan 3 yang berlaku saat ini tak ada lagi pada 2026. Gantinya KRIS, fasilitas ruang maksimal 4 tempat tidur berpenyekat, satu kamar mandi, memenuhi standar aksesibilitas, dengan suhu ruangan 20-26⁰ Celcius.
KELAS 1, 2 dan 3 BPJS Kesehatan di rumah-rumah sakit dihapuskan secara bertahap mulai tahun ini. Penggantinya bernama Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Transisi peralihannya dimulai dalam periode 2023-2025. Dalam penerapan KRIS, ruang rawat inap yang disediakan pihak rumah sakit harus sesuai 12 kriteria yang telah ditentukan.
Standar kamar yang kudu dipenuhi oleh Kelas Rawat Inap Standar ini atau KRIS,” ujarnya. Standar ruang rawat inap yang paling signifikan berubah adalah hunian kamar. Semua rumah sakit harus membatasi jumlah tempat tidur di ruang rawat inap hanya sebanyak empat tempat tidur, dengan ruangan AC 20⁰-26⁰ Celcius, dan satu kamar mandi. Semua rumah sakit disamakan.
Meski masih terdapat sedikit catatan, selanjutnya KRIS akan memasuki implementasi. “Uji coba sudah selesai, implementasi dimulai pada tahun 2023 ini. Uji coba dilakukan beberapa tahap, baik di rumah sakit pemerintah maupun swasta. Uji coba tahap satu dilakukan di 4 rumah sakit milik Kemenkes. Rumah sakit tersebut adalah RSUP Tadjuddin Chalid (kelas B), RSUP J Leimena (kelas B), RSUP Surakarta (kelas C), dan RSUP Rivai Abdullah (kelas C).
Uji coba tahap dua dilakukan di rumah sakit milik pemerintah dan milik swasta. Antara lain RSUP Dr. Sardjito milik Kemenkes (kelas A), RSUD Soedarso milik Pemprov (kelas A), RSUD Sidoarjo milik Pemkab (kelas C), RSUD Sultan Syarif Alkadri milik Pemkab (kelas C). Adapun rumah sakit milik swasta terdiri dari RS Sentosa Kopo (kelas A), RS Sentosa Central (kelas A), RS Awal Bros Batam (kelas B), RS Al Islam (kelas B), RS Ananda Babelan (kelas C), dan RS Edelweis (kelas C).
Penerapan KRIS mulai tahun ini secara bertahap hingga 2025. Artinya, kelas rawat inap 1,2 dan 3 yang berlaku saat ini sudah tidak dikenal lagi pada 2026. Bagi masyarakat miskin dan tidak mampu yang terdaftar sebagai Peserta PBI, kata Pps Kepala Humas BPJS Kesehatan, Arif Budiman, iurannya sebesar Rp42.000, yang dibayarkan oleh Pemerintah Pusat dengan kontribusi Pemerintah Daerah sesuai kekuatan fiskal tiap daerah.
Bagi Peserta PPU (Pekerja Penerima Upah) atau pekerja formal, baik penyelenggara negara seperti ASN, TNI, Polri maupun pekerja swasta, besaran iuran sebesar 5% dari upah, dengan rincian 4% dibayarkan oleh pemberi kerja dan 1% oleh pekerja. Untuk perhitungan iuran ini berlaku pula batas bawah yaitu upah minimum kabupaten/kota dan batas atas Rp12 juta.
Kelompok peserta sektor informal yang tidak memiliki penghasilan tetap dikelompokkan sebagai peserta PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) dan BP (Bukan Pekerja). Untuk jenis kepesertaan PBPU dan BP ini, peserta dapat memilih besaran iuran sesuai yang dikehendaki. Kelas 1 sebesar Rp150.000/orang/bulan, kelas 2 sebesar Rp100.000/orang/bulan dan kelas 3 sebesar Rp35.000/orang/bulan.
“Jadi, bagi seseorang yang belum memiliki penghasilan atau sudah tidak berpenghasilan dapat memilih menjadi peserta PBPU dengan pilihan kelas 1, 2 atau 3. Atau, jika masuk dalam kategori masyarakat miskin dan tidak mampu yang terdata dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), dapat masuk menjadi kelompok peserta PBI yang iurannya dibayar pemerintah,” ujar Arif Budiman.(Zian)