Pada akhir Februari lalu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS rontok. Faktor global dituding sebagai penyebab utamanya. Namun ada faktor lain yaitu fundamental perekonomian yang dinilai keropos.
Setelah sempat menguat pada awal tahun ini, nilai tukar rupiah pada Februari roboh dihajar dolar AS. Selain dipengaruhi sentimen global dengan adanya kekhawatiran ancaman virus corona (covid-19), fundamental ekonomi yang rapuh juga dinilai menjadi penyebabnya.
Seperti diketahui pada 2 Januari 2020, rupiah berdasarkan data Bloomberg, rupiah ditutup di level Rp13.924 per dolar AS, menguat 0,2% atau 27 poin terhadap 31 Januari 2019. Sementara pada 31 Januari 2020, rupiah ditutup di level Rp13.637,14. Artinya sepanjang Januari 2020, rupiah menguat 2,06% terhadap dolar AS. Hal ini dipengaruhi antara lain oleh adanya kesepakatan damai dalam perdagangan antara AS dan China.
Menurut ekonom senior Rizal Ramli mengatakan, penguatan rupiah yang terjadi sebenarnya bukan ditopang kuatnya fundamental perekonomian tetapi karena adanya doping berupa utang luar negeri. Hal itu diyakini tidak akan bertahan lama.
Sekadar informasi,
data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat jumlah utang pemerintah
hingga akhir Januari 2020 sebesar Rp4.817 triliun. Angka itu meningkat 0,81%
atau Rp39 triliun dibandingkan posisi Desember 2019 sebesar Rp4.778 triliun.
Sebanyak 84,4% utang berasal dari penerbitan surat berharga negara (SBN)
sebesar Rp4.065 triliun. SBN domestik sebesar Rp2.990 triliun dan SBN berbentuk
valuta asing (valas) sebesar Rp1.075 triliun. Sisanya 15,61% berasal dari
pinjaman. Jika dirinci, pinjaman dalam negeri sebesar Rp9,56 triliun dan pinjaman
luar negeri sebesar Rp751,9 triliun.
Dari INDEF yang bersumber dari Kemenku, porsi asing dalam kepemilikan SBN cenderung meningkat dalam lima tahun terakhir. Pada 2014, porsi asing sebesar 38,1% dan di 2019 naik menjadi 39%.
Dari sumber yang sama, pinjaman luar negeri terdiri dari beberapa sumber yaitu bilateral sebesar Rp289,07 triliun, multilateral Rp414,86 triliun, dan bank komersial sebesar Rp38,41 triliun. Peningkatan utang itu berdampak pada posisi rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) yang sebesar 30,21%.
Peningkatan utang itu juga sejalan dengan transaksi finansial Indonesia yang membukukan arus masuk bersih, dengan nilai berfluktuasi. Arus masuk bersih pada 2019 meningkat signifikan dari tahun sebelumnya, hingga mencapai USD36,34 miliar. Ini dikarenakan lebih besarnya arus masuk modal dibanding arus keluar modal finansial. Tercatat, arus modal keluar finansial penduduk Indonesia sebesar USD14,47 miliar, dan arus masuk milik asing sebesar USD50,81 miliar. Akibatnya, beban pembayaran pun menjadi meningkat.
Penilaian Rizal Ramli tentang ketahanan rupiah terkonfirmasi pada Februari dimana pada pekan terakhir rupiah terdepresiasi sebesar 2,21% terhadap dolar AS. Bahkan dalam sepekan itu rupiah terdepresiasi sebesar 4,22%.
Rizal menambahkan, tingginya utang sangat rentan menimbulkan gejolak ekonomi. Apalagi jika nilai dolar AS terus menguat. Ia memberi solusi untuk mengatasi hal tersebut antara lain debt-swap dengan bonds lebih murah dan bertenir panjang, sekuritisasi aset dan menggenjot tax ratio.
Usul tersebut bukan tanpa alasan karena di zaman Pemerintahan Gus Dur saat ia menjabat Menko Perekonomian hal itu bisa dilakkan. Saat itu, utang berkurang sebesar USD4,5 miliar, dan tax ratio naik 11,5%, ekonomi tumbuh dari -3% jadi +4,5%.
Aksi BI Tahan Pelemahan Rupiah
Agar pelemahan rupiah tidak berlanjut yang dapat merugikan perekonomian, Bank Indonesia (BI) telah melakukan sejumlah langkah. “BI melaksanakan upaya stabilisasi pasar, yakni dengan triple intervensi di tiga aspek. Pertama di spot, yaitu menjual valas untuk mengendalikan nilai tukar rupiah. Kedua, kita stabilkan nilai tukar melalui DNDF. Ketiga, intervensi melalui pembelian SBN yang dilepas oleh investor asing,” ujar Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia.
Pelemahan rupiah, kata Perry, tidak sendirian sebagai dampak dari virus corona. Beberapa negara juga mengalami hal sama. Dalam periode yang sama, Won Korea mengalami perlemahan hingga 5,07% secara harian atau year to date (ytd), Sedangkan bath Thailand terdepresiasi sebesar 6,42% dan Dolar Singapura melemah sebesar 3,67%, dan Ringgit Malaysia terdeprediasi 2,91%.
“Virus corona berdampak pada perilaku investor global, terhadap kepemilikan investasi mereka di berbagai negara. Mereka pada saat ini cenderung jual dulu. Kemudian outflow dulu, kemudian kalau kondisinya membaik, kemudian masuk lagi,” ujar Perry.
Dalam rekam jejaknya, fluktuasi rupiah hanya menguntungkan segelintir pihak. Bagi rakyat kebanyakan, terlebih pengusaha di sektor riil, pergerakan yang terlalu volatile membuat iklim usaha menjadi tidak menentu. Oleh karenanya, pemerintah perlu memastikan kestabilan rupiah. (Kur).