Asosiasi Fintech sepakat untuk membatasi beban biaya tambahan untuk konsumen dan akan membentuk komite etik untuk mengatur perilaku anggotanya.
Perusahaan financial technology (fintech) digadang-gadang menjadi solusi ampuh untuk menggenjot akses masyarakat ke lembaga keuangan. Layanan fintech dinilai lebih cepat, fleksibel, dan mudah digunakan dibanding layanan dari lembaga keuangan lain seperti perbankan dan koperasi. Apalagi ditunjang dengan perubahan perilaku masyarakat yang semakin digital, fintech menjadi harapan baru.
Sekadar informasi, ada empat model bisnis fintech yaitu peer to peer (p2p) lending atau pinjaman online, payment, insurance technology (insurtech) dan kategori well management seperti crowdfunding. Namun yang menggeliat di Indonesia baru dua model yaitu pinjaman online dan payment seperti Paytrend, Ovo, dan Gopay.
Di usianya yang baru seumur jagung, fintech model pinjaman online sudah diadang masalah yang cukup serius. Ratusan konsumen mereka mengadu ke LBH Jakarta atas perlakuan yang diterima. Konsumen merasa diintimidasi dan dilecehkan oleh perusahaan fintech, baik yang terdaftar resmi di OJK maupun yang ilegal karena telat membayar angsuran. Konsumen juga merasa nilai dendanya selangit dan tidak transparan.
Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) merespons pengaduan konsumen tersebut. Wakil Ketua Umum AFPI Sunu Widyatmoko mengatakan, fintech yang bermasalah adalah yang ilegal atau tak terdaftar di OJK. “Yang diadukan adalah fintech ilegal, sebab kami tidak pernah menerima komplain atas anggota kami, baik di AFPI maupun di Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech),” ujar Sunu.
Sampai saat ini, LBH Jakarta sendiri tidak pernah merilis nama-nama perusahaan pinjaman online yang diadukan oleh konsumen. Asosiasi mengklaim datanya diperoleh dari hasil pengecekan di lapangan. Apalagi seluruh anggota Asosiasi telah menyepakati tata cara penagihan yang wajar.
Selama ini, Asosiasi mengacu pada sertifikasi ISO/ICE 27001 terkait sistem manajemen penanganan informasi sesuai dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 4 Tahun 2016. Sertifikasi ini merupakan bagian dari manajemen risiko sekaligus menjaga keamanan data kepada setiap layanan yang diberikan kepada konsumen.
Meski bersikukuh menolak fintech resmi yang berbuat nakal, namun Asosiasi mengakui aduan konsumen tersebut dapat merusak citra industri yang tengah dibangun. Oleh karenanya, Aftech dan AFPI sebagai dua asosiasi fintech di Indonesia segera melakukan pembenahan.
Saat ini, Aftech sedang mematangkan peran komite etik untuk memastikan perlindungan data konsumen. Ketua Harian Aftech, Kuseryansyah mengatakan pihaknya terus melakukan advokasi dan pembicaraan dengan seluruh anggota terkait isu-isu perlindungan konsumen dan penanganan komplain konsumen. “Komite etik ini dalam proses dibuat, namun belum diresmikan. Nantinya komite akan menindak pelanggaran etik yang dilakukan anggota,” kata Kuseryansyah.
Sebenarnya Aftech telah memiliki aturan main yang disepakati anggota. Misalnya, melarang seluruh pelaku usaha pinjaman online untuk mengakses data buku telepon yang ada di ponsel pintar konsumen. Selain itu, melarang fintech untuk mengakses data gambar di galeri ponsel pintar pengguna. Bahkan, dalam pelaksanaannya OJK turut serta mengawasi hal ini dengan pemeriksaan sistem secara berkala.
Sementara AFPI mengubah aturan main mengenai batas maksimal beban biaya tambahan atas pinjaman konsumen. Anggota AFPI tidak boleh memberikan beban biaya tambahan melebihi 100% dari nilai pokok atau prinsipal. Tujuannya agar beban biaya pinjaman fintech tidak memberatkan dan untuk jaminan perlindungan bagi konsumen.
Selain itu, waktu penagihan akan terhenti pada hari ke-90 dari tanggal jatuh tempo pembayaran. Artinya, ketika peminjam tidak bisa mengembalikan pinjaman sampai 90 hari setelah tanggal jatuh tempo, maka besaran beban biaya tambahannya terhenti sampai di situ. Dalam praktiknya, sudah ada beberapa anggota yang menghentikan biaya-biaya tambahan setelah melewati hari ke-30.
Terkait dengan besaran suku bunga yang dianggap konsumen terlalu tinggi, Asosiasi menyerahkan sepenuhnya kepada anggota alias tidak mengaturnya. Sebab, hal itu menjadi urusan dapur masing-masing. Secara umum penentuan suku bunga pinjaman ditentukan dari penilaian (assessment), penggolongan (grading), hingga risiko. Apalagi aturan OJK tidak mengatur tentang besaran suku bunga. Artinya, tidak ada pelanggaran regulasi meski pun suku bunga pinjaman tergolong tinggi.
Seperti diketahui, dalam POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi hanya menitikberatkan aturan untuk fintech dari sisi perizinan, mekanisme peminjaman, pengawasan, hingga mitigasi risiko.
Pembenahan internal yang tengah dilakukan pelaku usaha fintech jauh lebih produktif daripada berkutat pada status legal atau ilegal yang melakukan tindakan nakal. Dengan perbaikan tersebut, diharapkan kepercayaan konsumen akan meningkat dan industri dapat tumbuh. (Kur).