Peluangnews, Jakarta – Dukungan alat-alat konstruksi dalam pembangunan infrastruktur termasuk gedung-gedung bertingkat di Indonesia, salah satunya yang semakin relevan dengan kondisi sekarang, yakni penggunaan precast.
Kegiatan konstruksi dengan cetakan beton, menjadikan proses pekerjaan dan pemasangannya di lapangan efektif dan efisien.
Baca : Pakar: Sektor Lingkungan Kerap Dikorbankan untuk Pembangunan
“Kita mengacu pada negara yang lebih maju, terutama Singapura, Malaysia, yang sudah massif beralih ke precast. Selain, saya melihat degradasi tenaga kerja sektor konstruksi di Indonesia,” kata Joshua Vidi Sunjata dari Asosiasi Pengusaha dan Pemilik Alat Konstruksi Indonesia (APPAKSI), pada workshop APPAKSI di JIExpo, Kamis (2/11) kemarin.
Beton precast, salah satu jenis beton yang proses pembuatannya dengan cara dicetak di pabrik menjadi panel yang selanjutnya dirakit. Beton menjalani perawatan di lingkungan terkontrol dan dikirimkan menuju lokasi konstruksi. Jasa konstruksi juga melihat harga kayu yang semakin mahal.
“Dulunya, (harga kayu) Rp 2 juta. Sekarang sudah Rp 5 juta. Mau tidak mau, semakin banyak (kontraktor) beralih pada precast,” ujar Joshua Vidi.
Faktor lain terkait dengan penggunaan precast, yakni degradasi tenaga kerja terutama skill (keterampilan), ketersediaan, tingkat kesejahteraan dan lain sebagainya.
Baca juga: Indonesia Makmur Dengan Infrastruktur
Kenaikan upah tenaga kerja atau UMR (upah minimum regional) di berbagai daerah juga salah satu faktor degradasi. Tenaga kerja sektor konstruksi bukannya hilang, melainkan beralih pada sektor pekerjaan lain.
“Kita harus apresiasi (pemerintah) yang sudah menciptakan pemerataan pendidikan, kenaikan upah sehingga mengikis kemiskinan dan pengangguran. tapi (kondisi tersebut) tidak menopang tenaga konstruksi. Hal ini yang mendorong, (kontraktor) semakin beralih pada precast,” ungkap Joshua Vidi.
Beberapa tahun yang lalu, perusahaan kontraktor sering menjemput tenaga kerja dari daerah, termasuk Purwodadi (Jawa Tengah), Ngawi (Jawa Timur). Perusahaan kontraktor menyediakan bus untuk menjemput langsung tenaga kerja dari kedua daerah tersebut. 100 orang berhasil dijemput untuk bekerja di berbagai proyek di Jakarta. Tapi kondisi sekarang, hal tersebut tidak mudah.
Baca juga : Kejagung Periksa SVP Waskita Karya pada Dugaan Korupsi Rp2,5 Triliun
“Tidak ada lagi tenaga kerja dari Purwodadi, Ngawi. Sebagian sudah beralih profesi, misalkan kerja di pabrik di daerah. Tingkat pendidikan, terutama anak-anaknya juga semakin meningkat.
Hal ini berkaitan juga dengan kontribusi (sektor konstruksi) terhadap GDP nasional, (yakni) sekitar 11 persen. Otomatis, sektor konstruksi mengurangi tingkat kemiskinan, pengangguran. Tapi mereka (tenaga kerja) tidak mau lagi masuk ke usaha pertukangan (konstruksi),” tutur Joshua Vidi. (alb)