hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza
Fokus  

Daulat Pangan Sebatas Angan-Angan

Visi mewujudkan kedaulatan pangan terancam berantakan karena Indonesia dalam skala global dikelompokkan di level rendah untuk urusan keberlanjutan pangan. Selain itu, impor pangan pun masih merajalela.

Sektor pertanian baik pangan, industri pertanian, dan jasa pertanian diyakini akan menjadi pengubah permainan (game changer) paska pandemi Covid-19. Ini cukup beralasan karena setiap manusia pasti butuh makanan. Selain itu, sektor pertanian juga merupakan penyerap tenaga kerja terbesar dalam struktur pasar tenaga kerja nasional yang jumlahnya mencapai 29%.

Di tengah resesi perekonomian sepanjang 2020, sektor pertanian merupakan salah satu sektor usaha yang tumbuh positif selain industri telekomunikasi dan jasa keuangan.  Pertanian, kehutanan, dan  perikanan tumbuh sebesar 2,59% secara tahunan pada kuartal IV  tahun lalu.

Tanaman Pangan mencatatkan pertumbuhan terbesar menacapai 10,47% karena adanya peningkatan luas panen dan produksi padi, jagung, dan ubi kayu serta cuaca yang mendukung. Posisi berikutnya ditempati tanaman Hortikultura tumbuh 7,85 persen didorong oleh kenaikan permintaan buah-buahan dan sayur-sayuran. Sementara tanaman perkebunan tumbuh 1,13% karena adanya peningkatan produksi kelapa sawit.

Sektor pertanian dan urusan kedaulatan pangan merupakan salah satu sektor prioritas nasional dalam janji politik dari Pemerintahan Joko Widodo – Ma’ruf Amin. Dalam visi misinya sewaktu kampanye dua tahun silam, Jokowi menyampaikan bahwa akan melakukan revitalisasi industri pengolahan pascapanen sub-sektor pangan, hortikultura hingga perkebunan. Tujuannya adalah Indonesia dapat berdaulat pangan.

Sambil tetap berharap janji politik itu ditepati, kabar tak sedap, tepatnya peringatan dini disampaikan Rektor IPB Bogor, Arif Satria. Ia menyampaikan bahwa ada masalah serius dalam urusan pangan nasional jika diukur dari data global.

Dari data indeks keberlanjutan pangan yang diterbitkan The Economist Intelligence Unit 2020, peringkat Indonesia berada di bawah Ethiopia dan Zimbabwe. Indonesia menempati peringkat 60, Zimbabwe peringkat 30, Ethiopia peringkat 27, Jepang peringkat 6, dan Prancis di peringkat 1. Padahal semua mengetahui bahwa selama ini negara di benua Afrika itu terkenal dengan kemiskinannya yang akut.

Indeks keberlanjutan pangan menggambarkan pencapaian negara dalam keberlanjutan pangan dan sistem nutrisi, yang dilihat dari tiga aspek, antara lain pertanian berkelanjutan, susut pangan dan limbah, serta aspek gizi.

Dalam hal susut pangan dan limbah pangan, kata Arif, Indonesia menjadi kontributor limbah pangan terbesar kedua di dunia setelah Arab Saudi. Berdasarkan data Barilla Center 2017, Indonesia tercatat menyumbang 300 kilogram limbah pangan per orang per tahun. Adapun Arab Saudi berkontribusi memproduksi 427 kilogram limbah pangan per orang per tahun.

Di samping itu, berdasarkan indeks keamanan pangan global, Indonesia berada di peringkat 62 dari 113 negara, dengan mengantongi skor 63 dari 100. Peringkat keamanan pangan Indonesia pada 2019, tercatat di bawah Vietnam yang peringkat 53 dan Thailand yang di peringkat 51.Peringkat Indonesia itu juga jauh di bawah Malaysia yang menempati peringkat 28.

Pada indeks kelaparan global 2020. Indonesia tercatat meraih skor 19,1, jauh di bawah Thailand, Malaysia, Vietnam, dan Filipina. Tercatat skor Filipina 19; Malaysia 13,3; Vietnam 13,6; dan Thailand 10,2.

Melihat latar belakang Arif yang merupakan akademisi, hendaknya rujukan data global itu dijadikan peringatan dini untuk perubahan yang lebih baik pada masa mendatang demi mewujudkan kedaulatan pangan.

Tantangan untuk mewujudkan kedaulatan pangan itu sangat nyata dengan masih diimpornya beberapa komoditas utama pangan. Ambil contoh, data Kementerian Pertanian, dari periode Januari-September 2020, Indonesia masih mengimpor 911.194 ton jagung atau senilai 233 juta dolar AS. Angka ini lebih rendah dibanding angka impor di periode yang sama di tahun lalu yang mencapai 1.073.331 ton senilai 273 juta dolar AS.


Selain itu, ada impor kedelai sebesar 5.716.252 juta ton atau senilai 2,2 miliar dolar AS.. Angka impor tahun ini lebih tinggi dibandingkan jumlah kedelai impor tahun lalu yang hanya 5.122.424 ton. Kemudian ada impor 136.889 ton singkong seharga 58 juta dolar AS.

Ada pula impor gandum hingga 8.009.807 ton atau senilai 2,1 miliar dolar AS, bawang putih 381.775 ton (376 juta dolar AS), kentang 94.393 ton (85 juta dolar AS), bawang bombai 123.311 ton (senilai 68 juta dolar AS), cabai 28.259 ton (53 juta dolar AS), jeruk 49.623 ton (91 juta dolar AS).

Sebagai negara agraris rasanya ironi melihat angka-angka impor komoditas pertanian tersebut. Jika impor pertanian terus menanjak, kedaulatan pangan lebih merupakan harapan daripada kenyataan. (Kur).

pasang iklan di sini