hayed consulting
hayed consulting
octa vaganza

Coda Imperia, Babak Terakhir Jurnalis Melawan Konspirasi

Ilustrasi-Foto: Istimewa.

Swedia punya seorang jurnalis yang juga novelis bertema tentang investigasi yang dilakukan tokoh utamanya yang berprofesi sebagai jurnalis.  Nama jurnalis itu  Steig Larson, karyanya disebut Trilogi Millenium  masing-masing bertajuk  The Girl with Dragon Tattoo, The Girl with Played The Fire, dan The Girl Kicked The Hornets ‘ Nest.

Plot ceritanya tentang seorang wartawan usia 40 tahunan Mikael Blomkvist, wartawan majalah “Millenium”  memecahkan beberapa kasus kriminal dibantu seorang hacker cewek berusia 24 tahun, Lisbeth Salander.  Kasus yang dipercahkan berskala internasional,konspirasi tingkat tinggi mulai dari gerakan Neo Nazi, human trafficking dan kejahatan kerah putih.  Ketiga novel itu ada benang merahnya dan setiap upaya penyelidikannya membahayakan jiwa tokoh utamanya jurnalis.

Indonesia punya jurnalis dan novelis  yang cukup produktif,  di antaranya karyanya berkaitan dengan investigasi yang dilakukan seorang jurnalis. Nama penulisnya  Akmal Nasery Basral, karyanya yang berkaitan dengan jurnalis itu mulai dari Ilusi Imperia (2005),  Rahasia Imperia (2014) dan kini baru diluncurkan Coda Imperia.  Tokoh utamnya Wikan Larasati, jurnalis usia muda 20 tahunan, masih taraf calon reporter dari majalah Dimensi.  Benang merah novel itu adalah   seorang diva  bernama  Melanie Caprica (MC)  yang manajernya Adel yang ditemukan tewas di tempat terpisah.

Sebelum meninggal  Wikan bertemu MC  di kota kecil Konstanz, Jerman di mana patung Imperia berada. Sosok yang dijadikan patung itu bukan tokoh penting, Imperia seorang pelacur Italia yang hidup di abad 14.  Namun Akmal menjadikannya sebuah simbol,kalau seorang Imperia pada abad itu mampu membuat Kaisar dan Paus dalam genggamannya, maka  seorang “Imperia kontemporer” juga mampu berbuat demikian, hanya saja tokoh dan bentuknya berbeda, namun memberikan dampak.

Dalam dua sekuelnya Wikan sudah nyaris celaka berhadapan dengan konspirasi pencurian artefak, purbakala hingga Mafia Albania, yang bahkan melibat rekannya sesama jurnalis.   Pada sekuel ketiga ia berhadapan lagi dengan kelompok bersaudaraan yang terkait dengan penjarahan tersebut.

Konspirasi yang dihadapi Wikan  pada babak ketiga sangat rumit, mulai dari skala nasional di mana petinggi militer, pengacara, hingga politisi.  Bahkan ceritanya tidak bisa ditebak hingga akhir, apa sebetulnya yang terjadi.

Akmal dalam menjalin ceritanya mengingatkan saya pada penulis Davinci Code, Dan Brown yang mengaitkan sejarah dengan penyelidikan yang dilakukan tokoh utamanya.  Wikan berpertualang mulai dari menejelajahi sejumlah  negara Eropa hingga Labuan Bajo. Dalam Coda Imperia dan juga dua sekuelnya Akmal mengaitkannya dengan Plato, filsuf Yunani bahkan dengan musisi dunia seperti Led Zeppelin.  “Coda” yang dijadikan judul sekuel ketiga tampaknya terinspirasi dari judul album  band Led Zeppelin yang dirilis pada 1982.

Coda Imperia yang setebal 476 halaman  adalah penutup yang paling menegangkan dalam trilogi Akmal. Menamatkan ketiga novel ini membuat saya bergidik, betapa susahnya menegakan integritas seorang jurnalis pada zaman yang justru kebebasan pers semakin terbuka dan globalisasi tidak terelakan. Penulis mempunyai pengetahuan dalam soal sejarah, tempat-tempat di Eropa yang dikunjunginya, yang tidak ditemukan sekadar googling, tetapi seperti memang ada di sana.

Saya mengenal Akmal punya minat besar terhadap musik sewaktu menjadi jurnalis, tidak mengherankan referensinya banyak dan tertuang dalam novel ini.

Satu-satunya kelemahan ialah novel  ini diterbitkan dalam kurun waktu berjauhan, hingga menyulitkan pembaca kapan kejadian di dalam novel ini. Apalagi dalam sepuluh tahun perubahan banyak terjadi (Irvan Sjafari).

 

pasang iklan di sini