Evolusi digital telah mengubah wajah industri perbankan. Bagi pelaku usaha perbankan, adopsi teknologi digital menjadi syarat mutlak untuk lolos dari jebakan disrupsi. Bagi nasabah, tuntutanya adalah bagaimana dapat memanfaatkan beragam fitur yang tersedia di layanan perbankan digital secara cerdas dan semaksimal mungkin.
Teknologi perbankan digital saat ini sudah bukan lagi untuk sekadar gagah-gagahan dan sebagai kemasan branding bagi bank, tetapi sudah menjadi fitur mandatory. Bagi bank yang tidak siap, proses seleksi alam sudah menanti di depan mata.
Tak heran, berbagai tawaran yang datang dari bank untuk memanfaatkan teknologi perbankan digital terus membanjir. Ada Jenius dari BTPN, Jago dari Bank Jago, Digibank dari Bank DBS, Livin’ dari Bank Mandiri, Wokee dari Bank KB Bukopin, Motion dari Bank MNC, Blu dari BCA digital, One, Nyala dari OCBC NISP. Sebagian merupakan inovasi digital dari bank konvensional. Sebagian lagi memang merupakan bank digital yang dilahirkan sesuai dengan POJK No 12 tahun 2021 tentang Bank Umum. Beleid itu meregulasi proses adopsi dan transformasi bank digital. Bank Jago, Bank Neo Commerce, Allo Bank, merupakan sebagian dari bank yang berstatus sebagai bank digital.
Sebagian bank harus melakukan rebranding untuk membangun posisioning sebagai bank digital, seperti Jenius dengan BTPN. Namun, sebagian bank lain yang sudah memiliki posisioning kuat sebagai bank digital, seperti CIMB Niaga, tampak tidak terlalu agresif membangun brand baru untuk bisnis digitalnya.
Jadi, mana sebetulnya yang dimaksud dengan bank digital? OCBC NISP mendefinisikan digital bank sebagai kegiatan perbankan yang seluruhnya dilakukan secara digital atau melalui internet. Mulai dari awal pembukaan rekening tabungan hingga penutupan dapat dilakukan secara online tanpa harus pergi ke kantor bank terkait.
Jika kita merujuk pada peraturan OJK nomor 12/PJOK.03/2021, digital bank adalah layanan perbankan elektronik yang ditujukan untuk memaksimalkan pemanfaatan data nasabah sebagai upaya memberikan pelayanan lebih cepat, mudah, sesuai kebutuhan dan dapat dilakukan nasabah secara mandiri dengan tetap memperhatikan unsur keamanannya.
Era digital banking membuat kompetisi menjadi semakin terbuka. Aplikasi yang memiliki user experience paling baik, fitur paling canggih dan ekosistem paling luas akan lebih berpotensi dilirik konsumen. Menariknya, persaingan tidak cuma dengan sesama bank, tetapi juga dengan penyedia jasa fintech seperti Gopay, Ovo, Dana, dan berbagai startup fintech yang semakin menjamur kehadirannya.
Terus Meningkat
Konvergensi teknologi digital dan teknologi seluler memang telah merevolusi dunia perbankan. Tetapi, pembatasan sosial yang diterapkan pada saat pandemi Covid-19 benar-benar mempercepat adopsi teknologi perbankan digital secara massif di seluruh lapisan masyarakat.
Data Bank Indonesia mengungkapkan pada Januari 2022, nilai transaksi uang elektronik (UE) tumbuh 66,65% yoy mencapai Rp34,6 triliun. Nilai transaksi digital banking meningkat 62,82% (yoy) menjadi Rp 4.314,3 triliun.
Bank Sentral memproyeksikan uang elektronik meningkat 17,13% (yoy) hingga mencapai Rp 357,7 triliun untuk tahun 2022. Bank sentral juga memprediksi transaksi digital banking tumbuh 24,83% (yoy) atau mencapai Rp49.733,8 triliun untuk tahun 2022.
Transaksi ekonomi dan keuangan digital berkembang pesat seiring meningkatnya akseptasi dan preferensi masyarakat dalam berbelanja daring, perluasan dan kemudahan sistem pembayaran digital, serta akselerasi digital banking.
Sejalan dengan itu, transaksi QRIS juga terus meningkat sesuai akseptasi masyarakat, secara nominal tumbuh sebesar 290% secara year-on-year, sedangkan secara volume melonjak 326% (yoy).
Hingga saat ini, layanan perbankan digital tampaknya juga paling banyak dimanfaatkan untuk transaksi ke aplikasi pembayaran digital seperti Dana dan Ovo. Studi Markplus yang dilansir OJK, selama pandemi, sebanyak 81% transaksi perbankan digital digunakan untuk top up e-Wallet, kemudian transfer uang (78%), pembayaran rutin seperti untuk listrik dan PDAM (55%), kemudian top up pulsa, telepon, token listrik sebanyak 53% (lihat ilustrasi).
Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi, kemampuan layanan digital banking juga terus meningkat. Fase awal digital banking adalah dalam bentuk layanan SMS banking, phone banking, lalu meningkat ke mobile banking dan internet banking. Saat ini, semua layanan tersebut dapat dilayani melalui aplikasi di ponsel pintar pada platform Android maupun IOS.
Fitur yang disediakan juga semakin beragam, mulai dari Transfer dana, Informasi saldo, mutasi rekening, informasi nilai tukar, Pembayaran tagihan (kartu kredit, telepon, ponsel, listrik), Pembelian (isi ulang pulsa telepon, tiket pesawat, saham) dan beragam fitur layanan finansial lainnya.
Tentu tak berhenti di situ, pengembangan fitur produk dan layanan digital banking masih akan terus dilakukan. Dalam proses tersebut, kompetisi dan kolaborasi antara bank dengan fintech boleh jadi juga akan terus terjadi.
Sebagai regulator, OJK juga tampak tak mau tertinggal dari pesatnya evolusi teknologi dengan mendorong transformasi perbankan nasional menuju perbankan digital. Sejak tahun 2020 OJK telah menerbitkan Cetak Biru Transformasi Perbankan Digital tahun 2020-2025.
OJK berpandangan bahwa transformasi digital menuntut perbankan untuk mengubah pola pengelolaan dan operasional yang dilakukan. Pergeseran dari konsep traditional bank ke future bank mendorong Bank antara lain untuk menyesuaikan strategi bisnis, melakukan penataan ulang jaringan distribusi, mendorong transaksi perbankan melalui digital channel (mobile app dan internet) termasuk penggunaan perangkat perbankan elektronik terkini, dalam upaya peningkatan customer experience (end-to-end digital solution).
Pemanfaatan Layanan
Perkembangan perbankan digital memang telah mengubah lansekap industri perbankan. Dalam hal ini, bank akan menjadi super app yang menyediakan berbagai fitur keuangan. Setiap data yang ada di sistem akan saling terhubung, dan penggunaan mata uang digital akan semakin sering di masa mendatang.
Dengan digitalisasi, boleh jadi bank akan mengurangi jumlah kantor fisiknya dan semakin jarang nasabah datang ke bank. Tetapi, pada tahun 2030, keberadaan bank diperkirakan akan semakin terintegrasi dengan kehidupan manusia secara individual untuk membantu menyelesaikan berbagai kebutuhan finansial, mulai dari menabung, meminjam, investasi, transaksi belanja, dan beragam kebutuhan lainnya.
Namun, dengan pola seperti itu, pendapatan utama bank akan bersumber dari fee based income. Padahal. Sampai saat ini bank di Tanah Air masih mengandalkan pendapatan terbesarnya dari net interest income. Apakah digital banking akan mengubah model bisnis perbankan? Seperti apa implementasi digital banking di segmen korporasi? Kita masih terus mencermati ke arah mana pengembangan fitur digital banking.
Satu hal yang pasti, sebagai nasabah, baik nasabah perorangan ataupun komersial/korporasi, kita harus lebih cerdas memanfaatkan keberadaan produk dan layanan digital banking untuk memudahkan aktivitas keseharian ataupun untuk menjalankan bisnis. Yang paling penting adalah nasabah harus semakin cermat dan cerdas dalam memilih bank, layanan maupun produk yang tepat untuk meningkatkan produktivitasnya. Mulai dari untuk mendukung kebutuhan investasi dan perencanaan keuangan, membantu pengelolaan kewirausahaan, kegiatan operasional perusahaan, dan berbagai jenis kebutuhan layanan keuangan lainnya.
Kalau tidak, nasabah hanya akan menjadi target pasar saja tanpa bisa ikut menikmati kecanggihan teknologi. (trd)