30 Agustus malam, antrian kendaraan bermotor mengular di sejumlah SPBU Pertamina. Rumor akan terjadi kenaikan harga BBM pada 1 September 2022 adalah pemicunya. Rupanya banyak warga yang terkena prank, karena sampai hari tersebut berganti, harga BBM belum jadi naik. Namun masyarakat tidak serta merta plong, pemerintah akhirnya merealisasi kenaikan BBM yang diumumkan langsung oleh Presiden Djoko Widodo, di tengah suasana libur, Sabtu 3 September lalu.
BBM memang isu panas di negeri ini. Kenaikan harga BBM merupakan topik sensitif yang mudah digoreng dan memang menimbulkan efek domino ke banyak sektor lainnya. Dulu, di era orde baru, Menteri Penerangan saat itu, Harmoko, selalu membungkus pengumuman kenaikan harga BBM dengan kata ‘penyesuaian’ sebagai upaya eufimisme.
Desas desus rencana kenaikan harga BBM kali ini memang telah santer beredar sebelumnya. Presiden Joko Widodo sendiri berkali-kali mengatakan bahwa beban subsidi energi Indonesia di APBN yang mencapai angka Rp502 triliun sudah sangat tinggi.
“Angka subsidi kita untuk energi memang terlalu besar. Cari negara yang subsidinya sampai Rp502 triliun, karena kita harus menahan harga Pertalite, gas, listrik, termasuk Pertamax, gede sekali. Tapi apakah angka Rp502 triliun ini masih terus kuat bisa kita pertahankan? Ya kalau bisa ya alhamdulilah, baik. Artinya rakyat tidak terbebani, Tapi kalau memang APBN tidak kuat bagaimana?” begitu bernyataan Presiden seusai pertemuan dengan Pimpinan Lembaga Tinggi Negara, di Istana Kepresidenan, pertengahan Agustus lalu.
Tentu banyak yang menerjemahkan statemen kepala negara itu sebagai sinyal bahwa pemerintah akan segera menaikkan harga BBM. Sinyal tersebut akhirnya jadi kenyataan, ketika Sabtu 3 September pukul 14.30 lalu, Presiden Djoko Widodo mengumumkan kenaikan BBM, mulai dari Pertalite, Solar, dan Pertamax. “Saat ini pemerintah membuat keputusan dalam situasi yang sulit. Ini adalah pilihan terakhir pemerintah yaitu mengalihkan subsidi BBM sehingga harga beberapa jenis BBM akan mengalami penyesuaian,” ujarnya.
Selanjutnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif menjabarkan penyesuaian harga BBM terbaru dimana harga Pertalite menjadi Rp10.000 per liter dari sebelumnya Rp7.650. Solar subsidi Rp6.800 per liter dari sebelumnya Rp5.150 dan Pertamax Rp14.500 per liter dari sebelumnya Rp12.500.
Sebagai justifikasi terhadap kenaikan harga BBBM tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, anggaran subsidi dan kompensasi energi bakal membengkak sebesar Rp198 triliun, jika tidak ada kenaikan harga BBM Pertalite dan Solar. Saat ini anggaran subsidi dan kompensasi energi untuk 2022 dipatok sebesar Rp502,4 triliun. Angka itu sudah membengkak Rp349,9 triliun dari anggaran semula sebesar Rp152,1 triliun guna menahan kenaikan harga energi di masyarakat.
Krisis energi yang konon dipicu oleh perang Rusia-Ukraina memang cukup memusingkan banyak negara. Apalagi kondisi itu terjadi pada saat pemulihan pascapandemi baru dimulai.
Maka tak heran, sebagian masyarakat mengeluhkan momentum kenaikan harga BBM saat ini tidaklah tepat. Bagaimanapun, kenaikan harga BBM tentu akan memicu kenaikan harga dan mendorong laju inflasi.
Menariknya, komunikasi tentang rencana kenaikan harga BBM selalu dikaitkan dengan kebijakan subsidi energi yang sebagian dianggap salah sasaran.
Oleh karena itu, sebelum harga BBM naik, Pemerintah telah lebih dulu menyalurkan Bantuan Langsung Tunai yang dibagikan ke warga tidak mampu sebagai bantuan subsidi tepat sasaran. Ini merupakan kompensasi atas kenaikan harga BBM. Besaran BLT yang dibagikan pemerintah sebesar Rp600.000,- .
Pemerintah pun mengklaim telah memutakhirkan data masyarakat yang berhak menerima bantuan tersebut. Penyaluran BLT dilakukan dengan tiga cara. Pertama, mengambil di kantor pos terdekat bagi penerima manfaat yang berdomisili dalam radius sekitar 500 meter dari kantor pos. Kedua, menyalurkan melalui komunitas, seperti RT/RW, kelurahan dan kecamatan. Ketiga, diantar langsung ke setiap rumah bagi kalangan disabilitas, orang tua, dan warga yang bermukim di wilayah 3 T (Terdepan, Tertinggal, Terluar).
Suku Bunga
Bersamaan dengan rencana kenaikan harga BBM yang tinggal menunggu waktu itu, pada akhir Agustus Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia juga memutuskan kenaikan suku bunga BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 3,75%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 3,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 4,50%.
Menurut Gubernur BI Perry Warjiyo, keputusan untuk menaikkan suku bunga tersebut merupakan langkah untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) nonsubsidi dan inflasi volatile food.
Keputusan itu juga diambil untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, di tengah pertumbuhan ekonomi domestik yang semakin kuat.
Di satu sisi, kenaikan suku bunga ini diyakini berdampak positif untuk meredam laju inflasi dan menjaga nilai tukar Rupiah. Tetapi, tentu saja, di sisi lain, kebijakan ini juga berdampak pada naiknya beban biaya bunga yang harus ditanggung pelaku usaha dan masyarakat.
Terkait dengan ancaman inflasi, Menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono, kenaikan harga BBM memang akan berdampak terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
“Akibat kenaikan BBM, karena BBM digunakan untuk konsumsi hampir seluruh sektor, maka inflasi kita di 17,11%. Jadi pentingnya mengendalikan harga energi menjadi catatan dari kita supaya tidak memberikan efek kepada inflasi,” ujarnya.
Margo mengingatkan agar pemerintah, baik pusat maupun daerah berhati-hati terhadap inflasi. Pasalnya, tingginya inflasi dapat berpengaruh terhadap konsumsi rumah tangga, yang merupakan penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini, dimana 56 persen disumbang oleh konsumsi rumah tangga.
Mengendalikan Inflasi
Pemerintah menyadari ancaman kenaikan inflasi cukup serius bagi Indonesia. 31 Agustus lalu, Menteri Dalam Negeri menggelar rapat koordinasi dengan seluruh pemerintah daerah untuk ikut membantu mengendalikan laju inflasi di wilayahnya masing-masing.
Mendagri Muhammad Tito Karnavian mengatakan diperlukan gerakan secara sinergis antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Pemda) agar inflasi tidak berdampak pada sektor lainnya.
Dampak inflasi memang sangat serius. Mulai dari krisis sosial, peningkatan pengangguran, dan kemiskinan, hingga krisis keamanan dan krisis politik.
“Kita tidak menginginkan efek domino tersebut terjadi karena bila terjadi krisis sosial, keamanan, dan politik itu akan membuat negara menjadi mundur, bukan menjadi maju,” ujarnya.
Untuk mengendalikan laju inflasi, Menko Perekonomian Airlangga Hartanto merilis delapan arahan pemerintah pusat untuk dijalankan pemerintah daerah.
Pertama, memperluas kerja sama antar daerah yang surplus dan defisit untuk menjaga ketersediaan suplai komoditas. Kedua, pemda harus rutin melakukan operasi pasar untuk memastikan keterjangkauan harga dengan melibatkan berbagai stakeholder. Ketiga, memanfaatkan platform perdagangan digital untuk memperlancar distribusi.
Keempat, pemda perlu memberikan subsidi ongkos angkut sebagai dukungan untuk memperlancar distribusi. Kelima, mempercepat program tanaman pangan di pekarangan masing-masing. Keenam, pemda diminta untuk membuat neraca komoditas untuk 10 produk pangan strategis yang dimiliki wilayah masing-masing.
Ketujuh, pemda diminta untuk bekerja sama dengan badan pangan untuk memperkuat sarana dan prasarana penyimpanan hasil pertanian, seperti pengadaan cold storage untuk daerah sentra produksi. Kedelapan, pemda diminta untuk mengoptimalkan belanja yang ada di pos Dana Transfer Umum (DTU) untuk meredam harga pangan.
Agaknya kita memang akan harus menghadapi situasi ekonomi yang kurang bersahabat. Maka, tak ada pilihan lain kecuali lebih cermat mengelola keuangan dan melihat prospek usaha. Tetapi, seperti kata orang bijak, krisis akan selalu hadir bersamaan dengan peluang. Tinggal bagaimana kita dapat melihat peluang tersebut. (Trd)